Beautifulove

By DayDreamProject10

181K 28.1K 13.8K

°Tentang gadis biasa saja yang menginginkan hal luar biasa.° --- Namanya Yona. Gadis penuh rahasia yang menda... More

0 :: Prolog.
1 :: Yona Faresta Ivory.
2 :: Dave.
3 :: Memulai.
4 :: Mengikat.
5 :: Melunak.
6 :: Menjadi.
7 :: Mengetahui.
8 :: Melekat.
9 :: Menguat.
10 :: Menenangkan.
11 :: Menyenangkan.
12 :: Melawan.
13 :: Mengungkapkan.
14 :: Memalukan.
15 :: Melelahkan.
16 : Mengecewakan.
17 :: Melegakan.
18 :: Menjanjikan.
19 :: Mengacaukan.
20 :: Menyembunyikan.
21 :: Mengertikan.
22 :: Mengejutkan.
23 :: Menegaskan.
24 :: Mengupayakan.
25 :: Meresahkan.
26 :: Menyesalkan.
27 :: Membahagiakan.
28 :: Menggelisahkan.
29 :: Menjengkelkan.
30 :: Menyedihkan.
32 :: Menghentikan.
33 :: Mengalihkan.
34 :: Menyudutkan.

31 :: Merencanakan.

1.1K 243 258
By DayDreamProject10

Kembali lagi dengan Beautifulove! Seneng enggak karena akhirnya up?😭 wkwkw

Sebenarnya post dari kemarin sesuai perjanjian, tapi karena ada halangan jadi diundur. Maap yak udah diphp-in :(

Sebagai tebusan, sengaja part kali ini puanjaaang bgtttt dr biasanya. Jangan lupa vote dan spam komen, juseyooo :(

#QnATime!

*Tipe orang yang kepikiran mulu kalau ada masalah, atau bodo amat?*

*Masalah terbesar yang pernah kamu alami?*

*Terakhir kali galau kapan? Karena apa?*

*Pada puasaaa nggak nihhh?*

BTW, MASIH SEMANGAT GA SIH BACA BEAUTIFULOVE?! 😭😭😭


(Reaksi Dave saat baca part ini)


****


"Ada rasa yang terselip di dalam sini. Tersembunyi. Malu untuk mengakui. Rasa yang tercipta hanya untukmu. Iya untukmu ... Yang kuharap nyata."


🍃🍃🍃🍃🍃




Yona menyerah. Benar-benar menyerah kali ini.

Yona tidak akan lagi menaruh harap. Tidak akan lagi berupaya menginginkan apapun itu. Karena meski sekuat tenaga ia berusaha meraih, semesta tidak akan pernah membiarkannya merasa memiliki.

Kini, ia hanya punya dirinya sendiri.

Tersenyum kecil, Yona menunduk. Dari awal, ia merasa berjuang seorang diri bukanlah masalah. Ia bisa melakukan itu. Bertahan, hingga di waktu untuk berakhirnya telah tiba.

Mengambil napas banyak-banyak, Yona mengeratkan jaket yang ia pakai. Meski bengkak pada matanya belum juga reda, namun Yona harus ke sekolah. Ia tidak boleh meninggalkan latihan cheers sama sekali. Waktu perlombaan kian di depan mata. Salah satu alasan yang mendorong Yona untuk segera melupakan segalanya.

Parkiran masih sepi ketika Yona menginjakkan kaki di sekolah. Bahkan Pak Yanto baru saja tiba membuka gerbang. Meski belum ada murid yang datang, namun Yona tidak takut. Ia justru berjalan santai sembari memperbaiki letak kaca mata hitamnya. Menyembunyikan jejak tangis hebat di dalam sana.

Melangkah menelusuri koridor, Yona mendadak menghela napasnya kasar. Sedari tadi, ia terus merasa ada seseorang yang mengamati dan mengikutinya hingga ke sekolah. Yona berhenti, lalu berbalik cepat. Ketika tidak menemukan apapun, ia mendengkus. Siapapun itu yang mencoba mengerjainya, Yona pastikan tidak akan berbentuk lagi jika sampai ketahuan.

Yona melanjutkan jalan. Berupaya tidak peduli. Namun, saat kembali merasakan langkah seseorang di belakang, ia buru-buru berbalik. Untuk kesekian kali sejak keluar dari rumah, Yona tidak juga mendapati orang iseng itu.

Suasana hati Yona sedang tidak baik. Namun selalu saja ada yang membuatnya lebih memburuk lagi.

Yona berdecak, ia tidak punya tenaga untuk meladeni. Mempecepat langkahnya menuju kelas, gadis itu akhirnya mengumpat ketika langkah lain ikut mengejar.

"Sialan! Keluar lo sebelum gue bunuh sekarang juga!" teriak Yona emosi, menggelegar memecah keheningan. Beberapa saat ia menunggu, namun orang itu tidak juga menampakkan diri.

Meremas rambutnya kesal, Yona berteriak lagi. "Oke! Terserah lo, Sialan! Awas aja lo kalau sampai ketahuan! Gue nggak akan biarin lo bernyawa di detik itu juga!"

Menghentakkan kakinya jengkel, Yona kali ini benar-benar masa bodo. Ia tidak peduli jika yang mengikutinya adalah manusia jahat, atau bahkan ternyata itu hantu. Yona tidak takut. Ia terus berjalan cepat. Namun beberapa saat kemudian, ia pun sadar dan seketika berbalik untuk berteriak lebih kuat.

"DAVE, KELUAR LO!"

Dan benar saja, itu adalah Dave.

Dada Yona naik-turun saking kesalnya. Wajah gadis itu memerah menahan amarah saat Dave keluar dari persembunyian dengan kepala menunduk takut. Yona mengusap wajahnya kasar. Lalu tertawa setengah tidak percaya.

Bagaimana bisa ia baru menyadari jika satu-satunya orang yang berani melakukan itu padanya hanyalah Dave seorang?!

Dave memang punya nyali yang sangat besar.

Yona tidak langsung berbicara. Ia diam menatap Dave yang terus menunduk. Lelaki itu meremas jemarinya gelisah. Bersiap-bersiap diamuk oleh Yona. Namun, setelah waktu berjalan beberapa saat, Yona tidak juga bersuara membuat Dave akhirnya mengangkat pandang. Mata mereka bertemu meski terhalang kaca hitam itu. Yona menghembuskan napasnya kasar. Lalu kemudian berjalan pergi meninggalkan Dave begitu saja.

"Yona!" panggil Dave refleks.

Berpura-pura tuli, Yona terus berjalan. Ia tidak mau menghadapi Dave. Lelaki itu kembali memanggil, namun Yona tidak menghiraukan. Ketika telah sampai di depan pintu kelas, Yona masih saja berjalan. Ia melupakan niatnya. Dan terus melangkah menghindari Dave yang masih setia mengejar.

"Yona, dengarkan saya dulu," pinta Dave berhasil mencapai tangan Yona. Baru ingin menarik gadis itu berhenti, justru ia yang ditarik balik oleh Yona. Sekali sentakan, tangan Dave seketika dipelintir kuat.

Tentu Dave langsung mengerang kesakitan. Yona tersenyum miring. "Gue udah peringatin tadi. Lo ketahuan, lo bakal mati di tangan gue," ujarnya tanpa rasa kasian. Ia menendang kaki Dave hingga berlutut di lantai.

"Yona, sa-saya—" Tidak membiarkan Dave berbicara banyak, Yona melepaskan serangannya cepat. Tubuh Dave seketika terjatuh ke lantai. Rintihan kesakitan lelaki itu memenuhi telinga Yona.

"Jangan ganggu gue lagi!" ucapnya dingin, lalu melangkah menjauh. Suara rintihan Dave terus terdengar, membuat Yona mengepalkan tangan menahan diri. Ia menggeleng, mengusir pemikirannya untuk berbalik.

Saat Dave tidak lagi bersuara, Yona memelankan langkah. Perasaan bersalah mulai menguasai gadis itu. Ia menggigit bibirnya cemas. Seharusnya Dave tidak kenapa-kenapa karena tenaganya tidak sekuat itu hingga Dave bisa terluka. Namun pada akhirnya Yona tetap menoleh memastikan. Ketika masih menemukan Dave meringkuk kesakitan di lantai, Yona seketika berlari cepat menghampiri.

"Dave, lo kenapa?!" tanya Yona panik. Di detik itu juga ia baru menyadari jika suhu tubuh Dave meningkat. "Dave, lo sakit? Kenapa enggak bilang dari awal?!"

Dave meremas dadanya yang sesak. Ia merasa seluruh badannya ingin remuk. Membuka matanya pelan memandangi Yona, Dave tersenyum tipis ingin mengatakan jika dirinya baik-baik saja.

Di balik kaca hitam itu, mata Yona sudah berkaca-kaca penuh sesal. "Dave, maafin gue. Gue salah. Maafin gue."

Dave sangat lemah untuk berbicara. Yona sudah menangis dan mencoba mengangkatnya bangkit. "Lo bertahan bentar. Kita ke UKS sekarang. Lo jangan pingsan!"

Karena kekuatan Yona tidak lagi seperti dulu, ia kesusahan memapah Dave berdiri. "Gue bilang jangan pingsan! Tetap buka mata lo, oke?!"

Lelaki itu hanya berdehem pelan membalas, tubuhnya lemas tidak sanggup melangkah baik. Sedangkan Yona mati-matian membatu Dave agar segera sampai ke UKS. Jarak yang lumayan jauh membuat gadis itu mulai kehabisan tenaga. Yona menguatkan diri. Meski tubuhnya ikut bergetar tak sanggup lagi namun Yona terus berusaha. Tidak ada satupun orang yang bisa membantunya.

Napas Yona perlahan memberat. Bobot tubuh Dave yang lebih darinya membuat gadis itu hampir menyerah. Namun untung saja pintu UKS mulai terlihat. Yona merangkul Dave erat dan mempercepat langkah.

Ketika berhasil sampai, Yona buru-buru membuka pintu UKS. Sejenak ia bersyukur karena Bu Dinar lupa menguncinya. Membaringkan tubuh Dave di atas ranjang, Yona lekas membuka kancing seragam atas lelaki itu yang terlihat mencekik.

Dave tiba-tiba kembali merintih, mengundang kepanikan Yona lagi. Ia menyentuh kening Dave yang panas. "Lo demam. Jangan banyak gerak dulu. Lo ini udah tau nggak enak badan, ngapain pake ke sekolah segala?!"

"Jangan bilang lo enggak tidur lagi semalaman?! Lo beneran mau mati sebelum gue?!" Bukannya mengambil tindakan agar Dave berhenti kesakitan, Yona justru mengomeli Dave kesal.

Meremas rambutnya pusing harus bagaimana, Yona tidak tahu apapun soal ini. Dave makin meringkuk menahan sakit. Wajah lelaki itu sampai memerah. "Dave, mana yang sakit? Kepala lo? Badan lo? Jangan bilang lo patah tulang karena tadi?! Mana yang patah?!"

Mendengar pertanyaan beruntun Yona, Dave mendesis pusing. Gadis itu berjalan bolak-balik mencoba berpikir apa yang harus ia lakukan. Melirik jam dinding, masih beberapa menit lagi murid-murid akan mulai berdatangan. "Lo tahan bentar, ya? Gue telpon Bu Dinar dulu biar beliau cepat-cepat ke sekolah. Atau kita ke rumah sakit aja sekarang? Yaudah, ayo. Gue bantu keluar."

Yona bergerak ingin membangunkan Dave. Namun, Dave menggeleng. "Tidak perlu, Yona. S-saya baik-baik saja," jawabnya susah payah.

"Baik-baik gimana kalau lo kesakitan seperti ini?! Lo lagi demam! Badan lo panas banget, Dave! Ayo, kita pergi! Nanti kalau lo mati di sini gimana?!" Yona membangunkan Dave lagi. Namun Dave terus menolak.

"Tidak apa-apa, Yona. Kamu tenang saja," balas Dave membuat Yona melepaskan pegangannya kesal. Untung saja kepala Dave tidak terbentur.

"Yaudah, terserah lo! Lo kesakitan aja terus seperti ini! Kalau lo mau mati di sini gue juga nggak peduli! Dasar keras kepala, sinting!" umpat Yona terbawa emosi. Ia sangat khawatir namun Dave justru menolak tawarannya.

"Gue cuma enggak mau lo kenapa-kenapa! Kalau lo kenapa-kenapa terus gue gimana?! Gue nggak bakal punya siapa-siapa lagi, Dave! Gue cuma punya lo doang!" bentaknya dengan nada bergetar. Dave membuka matanya mendengar itu.

Berdecak kuat, Dave sangat menyebalkan. Yona berjalan menjauh mengambil tasnya yang tadi di lempar ke sofa UKS. Ingin menghubungi Bu Dinar.

"Yona ...," panggil Dave pelan. Namun Yona tidak mau menoleh.

Membelakangi lelaki itu, kenapa Dave tidak pernah mengerti maksudnya? Dave selalu saja mengabaikan hal yang ingin ia sampaikan? Dave memang manusia kaku yang tidak punya rasa peka sama sekali!

"Yona, maafkan saya ...." Dave berucap kembali. Yona tidak peduli. Ia sibuk mendengarkan baik-baik ucapan Bu Dinar yang memberikan petunjuk untuk menolong Dave.

Setelah selesai, Yona bangkit mengambil perlengkapan dan obat-obatan. Bu Dinar akan segera ke sekolah namun Yona harus menangani Dave lebih dulu agar lelaki itu merasa lebih baik.

"Bangun bentar, lo minum dulu. Bu Dinar udah di perjalanan," ucapnya membantu Dave duduk. Namun saat bergerak lelaki itu mendadak mengerang kesakitan. "Pelan-pelan. Lo lagi sakit jangan banyak gaya!" Yona mengomel lagi meski Dave tidak melakukan apapun.

Dave menurut saja. Kepalanya terlalu pusing untuk merespon. Ia meneguk air putih itu hingga tak tersisa. "Lo udah sarapan nggak? Jangan bilang belum?!" tanya Yona. Dave menundukkan kepalanya, menjawab.

"Lo ini?!" geram Yona menatap Dave marah. "Enggak tidur semalaman sampai bawah mata lo hitam! Terus nggak sarapan lagi?! Lo sebenarnya kenapa, sih, Dave?! Kalau lo sakit gini siapa yang repot?! Gue doang!"

"Udah tau orang tua lo lagi nggak ada. Malah banyak tingkah! Bandel banget, sih, lo jadi manusia!" Perasaan Yona sedang berantakan, hingga tanpa sadar ia terus membentak Dave yang pasrah. Rasa khawatir yang membesar membuat gadis itu kehilangan kontrol.

Menghela napasnya kasar untuk kesekian kali. Yona lupa jika untuk menghadapi Dave perlu kesabaran yang besar. Memandangi Dave sesaat, Yona membaringkan lelaki itu. "Lo tunggu di sini bentar. Gue mau beli makanan dulu buat lo. Diam, ya?! Jangan banyak tingkah," pamitnya memperbaiki selimut Dave. Yona pun melangkah pergi setelah menutup tirai bilik keseluruhan.

Dave diam menunggu Yona. Ia terus meremas dadanya yang sesak. Setiap kali jatuh sakit, seluruh badan Dave terasa diremas kuat. Ia seketika tidak berdaya. Semua kesakitan langsung menyerangnya serempak. Jika kemarin ia hanya bisa menahan itu karena tidak mempunyai tempat berbagi, namun sekarang ia telah memiliki Yona. Dave tidak perlu lagi kesakitan sendirian.

Meski Yona terus mengomelinya, namun Dave menikmati. Ia bahkan rela jika terus kesakitan. Karena jika begitu Yona akan selalu memperhatikannya. Dave tahu di balik kekesalan Yona, gadis itu sangat khawatir. Dave mengulum bibir tersenyum tipis. Cukup begini, ia sudah sangat bahagia.

Setelah menanti beberapa menit, Yona sudah datang membawa makanan untuk Dave. Ia buru-buru mendekati Dave dan membuka bubur ayam yang dibeli. Membangunkan Dave lagi, Yona menyuapi lelaki itu hati-hati.

"Lo harus makan yang banyak. Beli ini susah. Kantin baru buka. Untung aja ada yang jual ini di sekitar sekolah," ujar Yona mengusap ujung bibir Dave yang terkena bubur. Dave membisu. Ia hanya menatap Yona baik-baik yang penuh peluh. Bahkan napas gadis itu memburu seperti habis berlari jauh. Menjulurkan tangannya ke kening Yona, Dave menyeka keringat gadis itu. Mata mereka kembali beradu, membuat dada Dave kian berdetak cepat. Perasaannya sangat penuh saat ini. Sesak di dadanya seketika dikuasi oleh rasa yang mendebarkan.

Lagi-lagi, Yona berhasil membuat Dave jatuh lebih dalam menyayangi gadis itu.

"Terima kasih, Yona," ungkap Dave penuh perasaan. Yona tidak bergerak, matanya tidak lepas dari Dave.

Namun di detik kemudian, Yona seketika menunduk menyembunyi matanya yang memerah. Dalam hati, ia ingin sekali mengungkapkan jika dirinya  begitu takut jika Dave kenapa-kenapa. Ia tidak mau Dave terluka sedikit pun. Yona mau Dave terus baik-baik saja selamanya.

"Saya akan segera membaik, Yona. Kamu tidak perlu khawatir." Dave bersuara lagi. Menyadarkan dirinya, Yona hanya mengangguk merespon sembari mengerjap menyingkirkan rasa pedih itu.

Berdehem pelan, Yona kembali menyuapi Dave. Tepat di saat makanan lelaki itu telah habis, pintu UKS tiba-tiba terbuka menampilkan Bu Dinar yang datang. Cepat-cepat, ia melangkah mendekat. "Maaf, ya, Ibu lama. Jadi keadaan kamu sekarang gimana, Dave? Udah membaik?" tanya Bu Dinar memeriksa suhu tubuh Dave. Panasnya belum reda. Namun lelaki itu sudah merasa lebih baik dibanding tadi.

Dave menganggukkan kepalanya sekali, menjawab. Bu Dinar menghela napasnya lega. Ia kira keadaan Dave sangat parah sesuai penjelasan Yona tadi. Namun ternyata Dave hanya demam biasa. Tertawa kecil, Bu Dinar mengambil obat untuk Dave.

"Dave nggak apa-apa, Yona. Dia cuma kurang enak badan. Ibu pikir tadi Dave kenapa-kenapa karena kamu panik banget. Kamu tenang aja, setelah minum obat Dave akan membaik lagi," jelas Bu Dinar. Yona menggaruk lehernya salah tingkah. Sepertinya ia sudah sangat berlebihan.

"Oh, gitu. Maaf, ya, Bu. Udah bikin Bu Dinar buru-buru kemari. Aku cuma bingung harus gimana."

"Nggak apa-apa. Ibu juga kebetulan udah siap berangkat," balasnya tersenyum geli. "Dave, kamu minum obat ini dulu. Terus istirahat setelah itu."

Yona mengambil alih obat yang diberikan Bu Dinar. Ia menuntun Dave meminum obatnya. Lalu memperbaiki posisi lelaki itu agar lebih nyaman, dan menyelimutinya hingga ke dada. Bu Dinar yang menyaksikan kembali tersenyum. Yona benar-benar merawat Dave dengan baik.

"Sekarang lo tidur. Gue bakal jagain lo di sini," perintah Yona setelahnya. Dave menggeleng.

"Saya sudah membaik. Yona. Kamu ke kelas saja," ujar Dave diangguki oleh Bu Dinar.

"Dave benar. Nanti kamu ketinggalan pelajaran. Biar Ibu yang jaga. Kamu tenang aja."

Yona menggeleng, menolak. "Nggak apa-apa, Bu.  Aku bakal minta izin ke temen kelas. Aku aja yang jagain Dave. Bu Dinar pasti punya banyak kerjaan juga, 'kan? Lagian mata pelajaran sekarang matematika. Sama aja aku masuk atau enggak. Aku tetap nggak akan paham," jawabnya beralasan.

Bu Dinar terkekeh. "Yaudah. Tapi ini yang terakhir, ya?" Yona mengangguk cepat. "Kalau gitu Ibu ke ruangan dulu. Kalau ada apa-apa panggil Ibu aja."

"Iya, Bu," jawab Yona mengangguk mengerti. Setelah Bu Dinar pergi, ia manatap Dave yang belum menutup mata.

"Ngapain belum tidur? Lo nggak denger tadi Bu Dinar ngomong apa? Tidur cepetan!" Dave tersenyum kecil lalu memejamkan mata. Yona mendadak tersentak kaget karena lelaki itu tiba-tiba menggapai tangannya untuk digenggam erat. Tidak menolak, Yona kali ini membiarkan Dave melakukan itu sesuka hati.

Mendenger napas Dave yang teratur, Yona merasa Dave sudah terlelap. Memandangi tangan mereka yang saling berkaitan, ia tersenyum. Setiap kali Dave membungkus tangannya seperti ini, membuat gadis itu selalu merasa aman. Berbalik menatap Dave, Yona tanpa sadar mengelus rambut lelaki itu pelan.

"Cepat sembuh, Dave," ucapnya penuh perasaan. Yona tersenyum lagi.

"Gue salah. Gue pikir gue udah nggak punya siapa-siapa lagi. Gue lupa kalau ternyata gue masih punya lo."

"Gue beneran nggak butuh apa-apa lagi. Gue ... cuma butuh lo doang. Gue minta maaf sama ucapan gue kemarin. Gue emang nggak tau diri." Yona menunduk merasa bersalah. Sudah berkali-kali ia menyakiti Dave. Namun lelaki itu terus saja bersedia berpijak di sisinya.

"Kalau nanti gue tiba-tiba nyuruh lo pergi dari hidup gue, gue mohon lo jangan pernah dengerin itu. Gue mohon ...," pintanya mengeratkan genggaman. Yona mungkin akan mengatakannya. Namun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sama sekali tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.

Karena Yona telah terlanjur jatuh. Jatuh pada hal yang selalu ia hindari selama ini. Meski sekuat apapun dirinya menolak, Yona tetap saja kalah dan dibuat tak berdaya.

Tanpa Yona ketahui, Dave sebenarnya belum terlelap dan mendengarkan semuanya.



🍃🍃🍃🍃🍃



Selain memiliki nyali yang besar, Dave juga ternyata diam-diam menyimpan sisi keanak-anakan.

Dave yang dikenal kaku tidak berlaku lagi bagi Yona. Dave sudah berubah banyak. Dari menjadi cerewet, lalu sekarang menjadi manja. Sedari tadi, lelaki itu tidak mau ditinggal oleh Yona. Membuat Yona pusing sekaligus emosi. Meskipun begitu, ia tetap berusaha sabar dan menuruti ucapan Dave.

Setiap kali Yona bergerak dari tempat, Dave akan tiba-tiba bangun mengawasi. Bahkan ketika Yona ingin ke toilet, Dave menawarkan diri ingin menemani. Sepertinya, Dave benar-benar telah kehilangan kewarasan karena jatuh sakit.

Jika saja Dave tidak sakit karenanya, mungkin Yona sudah menghabisi lelaki itu dari tadi.

Melirik jam tangannya, bel istirahat kedua telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Yona harus ke lapangan indoor sekarang, bersiap-siap latihan singkat. Namun Dave justru menggenggam tangannya erat. Menahan Yona untuk pergi.

"Dave, gue cuma bentar, kok. Gue harus pergi sekarang. Yang lain udah nunggu," bujuk Yona kesekian kali.

"Tetapi saya masih merasa kesakitan, Yona. Bagaimana jika nanti terjadi sesuatu pada saya lalu kamu tidak ada di sini?" balas Dave berpura-pura terlihat lemah.

Yona berdecak. Kesabarannya sudah di ujung tanduk. "Lo cuma demam biasa, Dave! Lo juga udah minum obat. Tenang aja. Lo nggak bakal kenapa-kenapa."

"Tetapi soal umur tidak ada yang tahu, Yona ...."

Melengos takjub, Yona tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Dave. Dikasih hati, malah sekarang minta jantung. Yona menyesal sudah memanjakan Dave hari ini.

"Kamu boleh pergi jika saya ikut. Saya sudah mengizinkanmu dari tadi. Tetapi kamu menolak. Lalu saya harus bagaimana?" Dave bersuara kembali, membuat Yona menoleh cepat dengan mata melotot tidak percaya.

Kenapa justru Dave yang bersikap tidak berdaya saat ini? Seharusnya dirinya!

"Oke!" putus Yona berdiri dari kursi. "Lo boleh ikut. Tapi ingat, gue nggak bakal peduli kalau lo kenapa-kenapa di sana! Itu mau lo. Jadi terserah lo!"

Yona sudah membuang-buang waktu untuk berdebat tidak berguna bersama Dave. Sekarang ia pasrah. Yona tidak sanggup lagi. Dave seketika bangun dari kasur. Meski rasa pusing pada kepalanya belum menghilang sepenuhnya, namun hal itu tidak masalah. Yang terpenting ia tidak jauh-jauh dari Yona.

Memperhatikan Dave sembari menghela napas, lelaki itu benar-benar ingin ikut padahal kondisinya belum pulih total. Setelah izin dengan Bu Dinar, Yona duluan keluar dari UKS meninggalkan Dave yang seketika mengejar.

Seperti ucapannya tadi, Yona tidak menghiraukan Dave dan langsung bergabung latihan. Dave sudah duduk tenang di kursi penonton. Meski lelaki itu terlihat baik-baik saja, namun perhatian Yona tetap terbagi mengawasi Dave.

"Attetion, please!" seru Bu Emile membuat Yona kembali fokus.

"Seperti yang kalian tahu, perlombaan cheers sebentar lagi. Perlombaan ini sangat penting buat kita. Jadi Ibu harap kalian tetap mempertahankan skill kalian masing-masing. Jaga kesehatan. Jaga berat badan. Dan jika masih ada problem, selesaikan sekarang juga. Ibu nggak mau ada hambatan apapun yang akan merusak usaha kita selama ini. Understand?"

"Yes, Coach!" balas anggota cheers serempak.

"Yona, as a leader. Jaga stamina. Jaga kesehatan. Istirahat yang baik. Kamu kapten di sini. So, your role is really important. I don't want any mistakes before that day comes. Understand?"

"Yes, Coach!  I'm promise, I'll do my best," jawab Yona yakin.

"I don't need a promise. Just show me later!" Bu Emile membalas tegas. Wanita blasteran Jerman itu bersiap-siap pergi. "Okay, Girls. Kalian lanjutkan kembali latihan hari ini.  Ada rapat para guru jadi Ibu harus pergi. Yona, hasil latihan nanti lapor ke Ibu sepulang sekolah."

"Yes, Coach!"

"See you tomorrow. Fighting, Girls!" pamit Bu Emile.

Setelah Bu Emile pergi, Yona memimpin sepenuhnya latihan cheers saat ini. Tidak ada yang salah. Semua berjalan lancar. Namun saat tidak sengaja memperhatikan Devina, Yona masih saja merasa tidak aman. Menggelengkan kepalanya, ia mencoba mengusir pikiran negatif tentang gadis itu.

Devina sudah meminta maaf dengan tulus, dan Yona yakin jika Devina tidak akan berbuat hal buruk lagi. Masalah antara mereka telah usai. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

"Yon!" Mega menyenggol. "Lo sama Devina beneran udah damai? Serius lo?"

Yona melirik Devina sekali, lalu mengangguk. "Kenapa emang? Lo masih mau liat gue sama dia berseteru lagi? Udah capek gue, Meg. Jadi gue maafin aja."

"Seriusan lo?! Semudah itu?! Setelah semua yang dia lakuin ke lo?! Nggak waras, nih, anak. Kalau gue nggak bakal mau!" ujar Mega greget sendiri. Yona tertawa kecil.

"Nggak mudah sebenarnya. Tapi gue berusaha. Lo nggak liat aja dia minta maaf gimana. Berlutut di depan gue sambil nangis. Gue kaget banget hari itu. Lo tau sendiri, 'kan, dari dulu Devina jaga harga dirinya banget? Kalau beneran dia nggak tulus, mana mau dia merendah seperti itu? Nggak akan. Dia beneran minta maaf dan ngaku kalah. Terus dia jelasin juga alasan dia ngelakuin itu. Devina tertekan. Jadi nekat."

"Iya juga, sih. Jadi lo beneran percaya sama dia? Takutnya nanti dia kembali berulah. Lo hati-hati, deh."

"Lo tenang aja. Gue masih perhatiin dia, kok," balas Yona menepuk bahu Mega. Bertepatan setelah itu, bel selanjutnya menggema. Anggota cheers yang lain seketika berhamburan untuk istirahat.

"Oke, Guys. Latihan hari ini beres. Besok jangan lupa kita latihan lagi seperti biasa," seru Yona. Baru saja ia ingin melangkah mengambil air minumnya, Devina tiba-tiba datang menyerahkan sebotol minuman dingin untuk Yona.

"Buat lo." Devina tersenyum pada Yona yang tertegun.

"Lo tenang aja. Nggak ada racunnya, kok, ini. Lo nggak usah takut," candanya yang justru direspon kikuk oleh Yona. Meski sedikit tidak yakin, namun Yona tetap mangambil minuman itu.

"Tiba-tiba banget?" balas Yona. Anggota cheers yang menyaksikan tingkah tak tertuga Devina mulai berbisik-bisik.

Devina mengangguk. "Gue cuma berniat memperbaiki hubungan kita, kok. Mungkin tingkah gue nggak bisa dipercaya, tapi gue mau lo tau kalau gue beneran tulus ingin memulai pertemanan yang baik sama lo."

Yona memandangi Devina sejenak. Lalu
mengangguk mengerti. "Oke. Makasih, ya," ujarnya kemudian meninggalkan Devina.

Devina memperhatikan Yona yang membawa minuman pemberiannya. Ia tersenyum kecil. Yona memang begitu mudah untuk dikelabui. Devina tidak tahan lagi melihat wajah gadis itu. Ia ingin cepat-cepat menyingkirkan Yona bagaimana pun caranya. Mengepalkan tangan menahan amarah, Devina hanya perlu sabar sejenak. Setelah Yona meminumnya, cukup perlu beberapa jam hingga Yona akan terkubur selama-lamanya.

Ia menanti detik-detik Yona membuka botol itu. Devina menyeringai menyaksikan Yona yang hendak meminum. Namun, belum sempat Yona meneguknya, Beby yang baru datang dari toilet tiba-tiba menyenggol gadis itu jahil. Alhasil pengangan Yona pada minuman itu terlepas dan seketika tertumpah ke lantai.

Devina spontan berdiri dari tempat dengan wajah memerah. Matanya melotot lebar. Ia tidak sadar lagi jika tangannya lecet karena kepalan yang penuh amarah. Rencana awal yang Devina susun begitu mudahnya gagal karena tingkah ceroboh Beby.

Napas Devina memburu. Ia ingin sekali menerjang Beby karena membuat keinginannya berantakan. Berusaha kuat menahan diri, ia tidak boleh bertindak gegabah hingga menciptakan kecurigaan.

Tubuh Devina sampai bergetar karena menahan emosi yang besar. Cinta yang duduk di samping gadis itu menyadari.  Dengan refleks ia melirik Yona yang sibuk mengomeli Beby. Cinta menggigit bibirnya cemas. Apakah rencana gila Devina benar-benar sudah dimulai?

Cinta mengusap bahunya, menenangkan diri dari rasa takut karena Devina. Ia bisa merasakan aura menyeramkan gadis itu. Devina telah kehilangan akal sehatnya saat ini.

Dan benar saja. Meski telah melakukan hal yang mengerikan, Devina masih bisa tersikap santai menghampiri Yona dengan senyuman manis.

"Kenapa, Yon?" tanya Devina. Ia menatap minuman pemberiannya tertumpah hingga setengah ke lantai.

"Ngapain lo ke sini? Sana lo jauh-jauh!" usir Beby langsung.

"Gue nggak ngomong sama lo!" balas Devina mengetatkan rahang, terbawa emosi.

"Apa, sih, kalian berdua? Berantem lagi gue laporin beneran, ya!" Yona menengahi. "Nggak apa-apa, Dev. Sori, minuman lo tumpah. Tapi makasih banget untuk niat lo. Beby nggak sengaja."

Devina berdecak kesal. Ia tidak meladeni Beby yang mengolok-ngoloknya. "Nggak apa-apa, Yon. Entar gue beliin lagi, ya?"

"Nggak usah sok baik lo! Gue tau pasti lo rencanain sesuatu, 'kan? Udah gue bilang lo jangan percaya sama iblis ini, Yon!" tuding Beby asal. Devina tiba-tiba bergerak maju ingin menghajar Beby namun Yona dan Mega langsung menahan.

"Beb! Jaga omongan lo. Kita satu tim. Jangan bikin masalah!" Beby melengos kesal mendengar ucapan Yona.

"Tapi bisa aja gue bener, Yon. Lo harus hati-hati sama dia!"

"Oke. Gue ngerti. Gue mohon lo tenang dulu. Devina nggak ngapain-ngapain," ujar Yona menenangkan Beby.

"Dev, sori, ya. Beby nggak bermaksud ngomong seperti itu, kok." Devina tersenyum tipis merespon Yona.

"Nggak apa-apa, Yon. Gue maklumin aja. Gue emang udah jahat banget sama lo. Jadi wajar Beby ngomong gitu."

Yona tersenyum merasa bersalah pada Devina. "Sebagai ganti minuman lo yang tumpah, gimana kalau gue traktir lo makan di kantin? Kebetulan juga semua kelas lagi kosong karena rapat guru," tawar Devina.

Yona belum menjawab namun Devina tiba-tiba berseru mengajak yang lain. "Guys, sebagai tanda permintaan maaf tulus gue ke Yona, dan niat baik memperbaiki hubungan kita semua. Gimana kalau kita istirahat bareng di kantin? Gue yang traktir hari ini. Kalian bebas mau makan apa aja."

Beberapa saat anggota lain kompak diam berpikir. Melihat Yona menganggukkan kepalanya setuju membuat yang lain ikut setuju. Devina tersenyum lebar. "Yaudah, ayo. Kita ke kantin sekarang!" ajaknya semangat.

"Kalian semua duluan aja. Nanti gue nyusul," ucap Yona lalu berjalan menghampiri Dave yang berdiri menunggunya. Lelaki itu menatapnya khawatir.

Yona berdecak. "Lo ngapain berdiri? Nanti kepala lo pusing lagi!"

"Kalian bertengkar lagi? Seharusnya saya melarang kamu untuk latihan hari ini. Dia belum bisa dipercaya sepenuhnya, Yona," ujar Dave langsung.

"Bukan gue. Tapi Devina sama Beby. Udah, lo tenang aja. Gue mau makan bareng di kantin. Lo mau ikut atau gue antar balik ke UKS?"

"Benarkah? Saya ikut jika begitu." Dave membalas cepat. Ia tidak boleh meninggalkan Yona sendiri bersama Devina.

"Seriusan? Tapi nggak ada cowoknya, lho? Lo doang?" tanya Yona tidak yakin. Namun Dave mengangguk tidak mempermasalahkan.

"Oke. Tapi lo jangan genit-genit!" Yona melotot garang. Memperingati Dave yang mengangguk cepat.

"Yakin? Tapi gimana nanti kalau lo—" Belum selesai Yona berucap, Dave lebih dulu menarik tangan gadis itu menuju kantin.

"Saya baik-baik saja, Yona. Kamu tidak usah khawatir," balasnya.

Yona mendengkus pasrah. Ketika telah tiba, anggota cheers lantas memandangi mereka kompak yang datang bersama. "Dev, nggak apa-apa 'kan, nambah satu orang lagi? Dave pengen gabung."

Beby yang terpaksa ikut karena diseret Mega lebih dulu mengangguk setuju dengan mata berbinar. Melihat itu, Yona seketika menendang kaki Beby agar sadar diri. Gadis itu hanya menyengir lebar pada Yona.

"Boleh. Nggak apa-apa, kok," balas Devina tersenyum ramah.

Yona dan Dave duduk di antara mereka. Meski satu-satunya lelaki di sini, namun Dave tidak merasa canggung. Kehadiran Dave lantas membuat anggota cheers bersorak senang dalam hati, dan mengambil kesempatan melirik-lirik lelaki itu. Namun tidak bertahan lama karena Yona seketika melempar tatapan penuh peringatan.

"Udah pesen?" tanya Yona.

"Belum. Kalian mau pesan apa? Biar gue yang pesanin," tanya Devina menawarkan diri.

"Gue yang seperti biasa," jawab Yona lebih dulu. "Kalau Dave jus buah aja. Dia nggak boleh makan sembarangan dulu hari ini. Lagi enggak enak badan."

Mendengar itu, Beby dan Mega kompak bersautan menggoda Yona. Disusul oleh anggota lain. Berdecak kesal, Yona melotot menyuruh mereka diam.

"Oke. Jadi pesanannya disamain semua, ya? Kecuali Dave. Gue pesan dulu," pamit Devina setelah mendapatkan jawaban. Ia berjalan menjauh.

"Saya ingin ke toilet sebentar, Yona. Tidak akan lama," izin Dave pada Yona.

"Lo nggak apa-apa sendiri?" tanya Yona menatap Dave khawatir.

Dave mengangguk dan tersenyum kecil. Yona terus memperhatikan Dave yang berjalan pergi. Seharusnya lelaki itu istirahat saja di UKS. "Santai, Yon. Cowok lo nggak bakal kenapa-kenapa, kok." Yona kembali menoleh saat Cinta bersuara jahil.

"Iya, tuh. Khawatir banget muka lo," tambah Mega tertawa.

"Apaan, sih, lo berdua? Diem lo!" jengkelnya.

"Jadi kapan, Yon, kita semua dapat PJ? Tunggu anniversary setahun kalian dulu?" Vivi ikut-ikutan mengerjai. Anggota cheers yang lain tertawa-tawa.

"Nah, iya, tuh! Kapan? Pokoknya harus meriah nanti. Nggak mau tau!" sela Beby menyenggol Yona.

"Siapa yang jadian?! Kagak ada! Ngaco lo semua!" balas Yona sebal.

"Lo sama Dave, lah! Siapa lagi? Ayo dong, Yon. Kebetulan gue lagi butuh gratisan," bujuk Beby memeluk Yona dari samping. Dengan cepat Yona melepaskan diri.

"Gila lo semua! Gue nggak jadian sama Dave! Yakali! Udah berapa kali gue bilang kita cuma temen, nggak lebih!" bantah Yona, membuat mereka semua berdecak kecewa.

"Yaudah, terserah lo. Kita liat aja nanti sampai kapan lo bertahan ngelak hubungan lo sama Dave!" kesal Mega.

"Udah gue bilangin masih nggak percaya juga. Bodo, ah!" Yona membuang pandang. Tidak mau lagi meladeni omongan gila mereka.

"Ada apa, nih?" tanya Devina yang baru datang. Meski anggota cheers masih tidak terlalu menanggapinya, gadis itu tetap bersikap percaya diri seperti biasa.

Yona menggeleng, merespon. "Btw, makasih, lho, Dev. Udah traktir kita semua."

"Santai, Yon. Ini nggak ada apa-apanya. Lo udah sering traktir kita semua. Jadi sekali-kali kita yang gantian traktir lo." Devina tersenyum manis, menjawab. Yona mengangguk memandangi Devina yang telah berubah pesat setelah hari itu. Mengusir segala kecurigaan yang masih memenuhi otaknya, Yona semakin yakin jika sekarang ia tidak perlu khawatir berkepanjangan lagi.

Pertepatan dengan kembalinya Dave dari toilet, pesanan mereka telah tiba. Untuk pertama kalinya, Yona benar-benar menikmati makananya tanpa beban apapun. Ia bisa leluasa mengobrol santai dengan tawa lepas penuh kebahagiaan. Melupakan segalanya yang selama ini terus menekan.

Mereka semua larut dalam topik pembicaraan yang asik. Hingga tanpa sadar telah menghabiskan banyak waktu, dan bel pulang pun berbunyi membubarkan acara mereka. Anggota lain sudah pamit pulang duluan. Sedangkan Yona harus ke UKS mengambil tasnya dan Dave. Ia menyuruh lelaki itu untuk menunggu di parkiran saja. Saat keluar dari UKS, Yona tiba-tiba mendapati Devina yang berdiri menunggu.

"Lo ngapain, Dev?" tanya Yona langsung.

Devina sontak berbalik, tak lupa dengan senyuman. "Lo udah beres? Gue mau tawarin lo pulang bareng gue. Mau nggak?"

Yona mengernyit, bingung. Semua tindakan Devina hari ini terlalu tiba-tiba. "Lo tenang aja. Gue bakal jaga rahasia lo, kok. Gue yakin, lo pasti punya alasan pribadi tentang itu."

Raut wajah Yona mendadak berubah. Ia hampir lupa jika Devina tahu segalanya. "Nggak usah, Dev. Makasih. Gue nggak mau ngrepotin," tolaknya halus.

"Nggak ngerepotin sama sekali! Gue tawarin lo pulang bareng biar kita punya waktu ngobrol-ngobrol lagi. Dengan begitu hubungan kita bisa cepat membaik dan nggak canggung seperti ini," ujar Devina menggapai tangan Yona. "Gue tau lo belum percaya sama gue. Tapi gue mohon lo kasih gue kesempatan untuk menyakinkan lo kalau gue beneran tulus minta maaf, Yon."

Yona terdiam. Devina menatapnya memohon. Ia melepaskan genggaman gadis itu pelan. "Gue tau, kok. Gue percaya sama lo."

Devina seketika tersenyum lebar. "Makasih, Yon. Gue janji nggak akan ngulangin itu lagi. Dan gue janji nggak akan ngomong apa-apa soal rahasia lo. Gue janji!"

"Oke. Gue pegang janji lo," balas Yona tersenyum. "Tapi gue tetap nggak bisa. Gue pulang bareng Dave. Lain kali aja gimana?"

"Lo setiap saat bareng Dave terus. Lo emang nggak bosen? Sekali doang hari ini lo bareng gue. Please ...."  bujuknya. Namun Yona menggeleng.

"Besok-besok 'kan bisa? Dave lagi sakit. Gue nggak bisa tinggalin dia," tolak Yona. Ia memeriksa ponselnya yang bergetar, mendapatkan panggilan dari Dave.

"Dave udah nunggu. Gue duluan, ya," pamit Yona melangkah meninggalkan Devina. Tidak membiarkan, Devina mengejar Yona.

"Yon, gue maunya hari ini. Ayo dong. Sekali doang. Terus lo bisa bareng Dave sepuas lo. Gue baru pertama kali mohon-mohon sama lo seperti ini. Masa lo tega, sih?" Devina cemberut. Ia terus membujuk Yona.

Menutup panggilan Dave, Yona menoleh. "Sori, Dev. Kalau Dave nggak sakit gue juga mau pulang bareng lo. Tapi sekarang nggak bisa."

"Dave udah baik-baik aja, Yon. Dia pasti nggak apa-apa pulang sendiri. Pulang bareng gue, ya? Oke?" Yona Menghela napasnya lelah. Devina terus saja mendesaknya tanpa henti. Membuatnya bingung harus bagaimana.

"Yon, mau, ya? Sekali doang ...." Devina memegang lengannya merengek. Yona menggeleng menolak lagi. Hingga Devina bergerutu sebal padanya.

Dari kejauhan, Dave bisa melihat Yona yang sedang bersama Devina. Buru-buru Dave mendekat dan langsung menarik Yona agar menjauh dari gadis itu. Yona tentu tersentak kaget dengan tindakan Dave yang tiba-tiba. Dave menatap Devina tajam penuh peringatan.

"Dave, lo ngapain, sih?" protes Yona ingin melepaskan tangan Dave. Namun lelaki itu justru menariknya berlindung di belakang.

Devina melengos kesal. Namun kembali tersenyum menghadapi Dave. "Santai. Gue nggak ngapain-ngapain Yona, kok."

Dave semakin menajamkan tatapannya, membuat Devina bergerak gugup. "G-gue cuma tawarin Yona pulang bareng gue. Serius, gue nggak ada niat lain," jelasnya. Namun Dave seolah tidak mendengarkan.

"Dave, lepas!" Yona memberontak. Dave terpaksa melepaskan gadis itu. "Devina bener. Dia nggak ngelakuin apa-apa. Lo nggak usah berlebihan," kesalnya. Ia kembali mendekati Devina.

"Sori, ya. Gue beneran nggak bisa hari ini. Besok kita pulang bareng, deh. Gue janji," ujar Yona. Devina mengangguk mengerti dan tersenyum paksa.

"Sepertinya lo beneran nggak bisa. Sori juga gue udah paksa-paksa lo tadi." Devina melirik-lirik Dave yang terus memandanginya tajam. Ia tidak tahu mengapa Dave memperlakukannya seperti ini. Padahal, ia tidak berbuat apapun pada Yona.

"Gue duluan kalau gitu. Lo hati-hati," pamit Yona tersenyum. Ia berbalik menyuruh Dave bergerak. "Ayo. Panas, nih. Nanti lo pusing lagi." Karena Dave tidak merespon, Yona menarik lelaki itu mendekati mobilnya.

Devina diam memperhatikan. Senyuman ramah tadi mendadak lenyap digantikan rahang yang mengerat kuat. Ia mengepalkan tangannya, dengan mata memerah penuh amarah. Ketika Yona memasuki mobil Dave, Devina mengambil ponselnya menghubungi seseorang yang ia tugaskan untuk mengamati Yona sejak gadis itu turun di DHS.

"Ganti rencana. Lo ikutin mobil putih yang akan keluar sekarang. Tabrak mereka sampai mati. Mengerti?" perintahnya dingin lalu mematikan ponsel.

Devina tersenyum miring. Yona benar-benar memiliki banyak keberuntungan hingga lolos dari kedua rencananya. Namun kali ini, ia yakin rencana cadangannya akan berhasil. Devina sudah tidak sabar mendengar kabar duka tentang Yona.

Melirik mobil Dave sekali lagi yang akan hancur, Devina bersorak senang. Ia akan tidur nyenyak setelah ini. Berjalan menghampiri mobilnya, kegembiraan Devina harus berhenti ketika mendapati Dave yang tiba-tiba turun dan melangkah mendekat.

Tubuh Devina mendadak kaku, ia tidak bisa bergerak. "Dave, lo—"

"Jangan pernah berani menyakiti Yona lagi!" ucap Dave cepat, tak terduga.

"Yona mungkin bisa tertipu dengan topengmu. Tetapi saya tidak. Saya tahu segalanya." Devina membatu mendengar itu. "Kamu menyakitinya, kamu berurusan dengan saya!"

Menyadarkan diri diri situasi ini, Devina berusaha tenang. Ia mengernyit bingung. Berpura-pura tidak mengerti. "Maksud lo apa? Secara tiba-tiba ngomong gini? Gue nggak ngerti," elaknya.

Meski Dave tidak berekspresi sama sekali, namun tatapan lelaki itu begitu menusuk. "Saya tahu semuanya. Jangan berpura-pura. Hari ini kamu ingin mencelakai Yona. Jika kamu melakukan itu, maka hidupmu tidak akan pernah tenang setelahnya."

Devina masih bisa tergelak. Padahal jantungnya kini berdetak kuat. Tubuhnya bergetar pelan, merasa terancam. "Sekali lo ngomong sama gue tiba-tiba ngaco gini, ya? Mending lo nggak usah ngomong, deh."

Namun saat Dave berbicara lagi, sukses membuat Devina benar-benar bungkam. "Melukai kaki Yona dengan sengaja hingga dia absen latihan! Menguncikan Yona di toilet hingga dia pingsan! Merencanakan hal besar hari ini ingin menyingkirkan Yona! Dan beberapa waktu lalu kamu pun pernah melakukan itu untuk pertama kalinya tetapi gagal!"

"Tidak perlu mengelak. Saya miliki semua buktinya. Jika kamu tidak percaya, maka lakukan. Tetapi setelah itu, kamu akan mendekam di penjara seumur hidup."

Sebelum berbalik pergi, Dave mengikis jarak dengan Devina yang tersudut. Mata gadis itu berkaca-kaca penuh ketakutan. Devina bergetar hebat. Ia menunduk tak memiliki nyali lagi.

"Berhenti di sini. Jangan melalukan apapun. Saya peringati," ujar Dave penuh ancaman. Devina seketika mundur cepat hingga tersungkur jatuh. 

Tidak memperdulikan, Dave berjalan menjauh. Lelaki itu mengepalkan tangannya, menahan diri.

Mempercepat langkahnya karena Yona terus memanggil, bibir Dave seketika tersenyum lebar. Dave berjanji.  Siapapun itu yang ingin menyakiti Yona, ia akan membalas lebih berkali-kali lipat setelahnya.

Bahkan jika nyawanya adalah taruhan, Dave akan tetap berjuang melindungi Yona. Sebagaimana dengan tujuannya selama ini.



🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃


5777 words, done!!! Nyaris 6rb 😭😭😭 apakah kalian baik-baik saja kawan? Mual nggak? 😭😭😭😭😭

Part terpanjang di Beautifulove. Kuharap kalian mengerti kekilapanku😭

Badai sudah di depan mata, udah bersiap menerjang nggak kawan-kawan? 😭😭😭😭😭

Baru permulaan aja sudah sepanjang ini, kalian bayangkan sendiri ajalah tragisnya bakal seperti apa (:

Apa yang kamu rasakan setelah baca ini? Coba sampaikan. JANGAN KACANGIN AKU😭

Oh iya, marhaban ya ramadhan ya kawan walau telat udah hampir lebaran pulak xixixi. Smg puasa kita ga bolong2 kek perasaan doi🙏🏿

Yauda. Jangan lupa spam komennya atuhh. Akutu butuh nambahin semangat😭😭😭😭

Oke, see u when i see u❤ 

Continue Reading

You'll Also Like

548K 44.4K 46
Rifki yang masuk pesantren, gara-gara kepergok lagi nonton film humu sama emak dia. Akhirnya Rifki pasrah di masukin ke pesantren, tapi kok malah?.. ...
216K 20.2K 72
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.
163K 18.6K 69
Ini Hanya karya imajinasi author sendiri, ini adalah cerita tentang bagaimana kerandoman keluarga TNF saat sedang gabut atau saat sedang serius, and...
7.3M 387K 45
⚠️FOLLOW DULU SEBELUM BACA! ⚠️Rawan Typo! ⚠️Mengandung adegan romans✅ ⚠️Ringan tapi bikin naik darah✅ Neandra Adsila gadis cantik yang berasal dari d...