Beautifulove

By DayDreamProject10

181K 28.1K 13.8K

°Tentang gadis biasa saja yang menginginkan hal luar biasa.° --- Namanya Yona. Gadis penuh rahasia yang menda... More

0 :: Prolog.
1 :: Yona Faresta Ivory.
2 :: Dave.
3 :: Memulai.
4 :: Mengikat.
5 :: Melunak.
6 :: Menjadi.
7 :: Mengetahui.
8 :: Melekat.
9 :: Menguat.
10 :: Menenangkan.
11 :: Menyenangkan.
12 :: Melawan.
13 :: Mengungkapkan.
14 :: Memalukan.
15 :: Melelahkan.
16 : Mengecewakan.
17 :: Melegakan.
18 :: Menjanjikan.
19 :: Mengacaukan.
20 :: Menyembunyikan.
21 :: Mengertikan.
22 :: Mengejutkan.
23 :: Menegaskan.
24 :: Mengupayakan.
25 :: Meresahkan.
26 :: Menyesalkan.
27 :: Membahagiakan.
29 :: Menjengkelkan.
30 :: Menyedihkan.
31 :: Merencanakan.
32 :: Menghentikan.
33 :: Mengalihkan.
34 :: Menyudutkan.

28 :: Menggelisahkan.

1.6K 321 423
By DayDreamProject10

Udah part 28 aja, nih. Kalian pernah merasa bosan nggak baca Beautifulove? Apalagi dengan jadwal update yang keteteran? Coba kasih alasan kamu kenapa masih setia baca? Aku butuh sedikit kekuatan untuk tetap melanjutkan cerita ini. Jujur aja, sekarang aku lagi insyekur, mood down parah. ehehe🙂

Jangan lupa bantu share cerita Beautifulove ke teman-temanmu ya biar bisa baper bareng-bareng❤ Yuk, bantu Dave dan Yona biar dapat teman lebih banyak lagi❤

Tak bosan-bosan aku mengingatkan vote dahulu sebelum baca, dan tinggalkan komen juga sebanyak-banyaknya😆❤ Aku cuma pengen liat respon kalian saat menikmati cerita ini❤

#QnATime!

*Punya phobia nggak? Apa?*

*Jumlah teman yang benar-benar temen kamu ada berapa?*

*Punya musuh?*

*Hal yang paling nggak kamu sukai apa, sih?*

*Menurut kamu sendiri. Kamu itu karakternya seperti apa?*


"Semua akan baik-baik saja. Omong kosong yang selalu kuyakinkan meski diri ini tidak pernah baik-baik saja."

🍃🍃🍃🍃🍃





"Gimana? Lo udah dapat kelemahan Yona, nggak?"

Devina tidak tahu, sampai kapan Cinta terus berusaha mendekatinya dan mendesaknya untuk segera bertindak. Gadis itu benar-benar sangat menganggu. Menghela napasnya kesal, Devina menoleh sekilas. Ia tidak mau menjawab. Devina masih malas meladeni Cinta.

"Lo harus bergerak cepat. Perlombaan cheers bentar lagi. Gue tahu lo nggak mau biarin Yona ikut di perlombaan itu." Cinta berbicara lagi. Kali ini, Devina menoleh sepenuhnya.

Berdecih merespon, Devina kembali menyeruput minuman yang tadi dipesan. Awalnya, ia tidak terlalu percaya dengan segala ucapan Cinta. Namun sejak hari itu, Cinta semakin terang-terangan mengajaknya untuk bekerja sama.

"Lo nggak usah sok tau!"

"Ayolah, Dev. Kita ini beneran partner yang klop! Gue mengerti banget apa yang lo inginkan. Tanpa lo ngomong, gue udah tau semuanya. Jelaslah, lo nggak mau Yona ikut di perlombaan itu. Karena kalau dia ikut terus kita menang, Yona bakal makin di atas. Dan itu bakal ngeselin banget, sih. Iya, nggak?"

Devina melengos. "Lo nggak usah ikut campur. Ini urusan gue."

"Dev, lo masih nggak percaya juga sama gue?" tanya Cinta sebal. "Ah, gue ngerti, sih. Perlakuan gue ke Yona emang natural banget. Jadi nggak heran-heran banget banyak yang ngira hubungan gue sama Yona sebaik itu," lanjutnya tertawa kecil.

"Gue cuma memanfaatkan dia doang. Masa iya, gue terang-terangan nunjukin rasa nggak suka gue ke dia? Ya kali. Yang ada gue berakhir seperti lo." Tanpa Cinta sangka, Devina seketika menggebrak meja itu hingga suasana kantin yang riuh berubah hening sejenak. Cinta mengerjapkan matanya masih kaget atas tindakan Devina yang tiba-tiba. Gadis itu menatapnya tajam.

"Udah berapa kali gue bilang lo nggak usah ikut campur! Gue bakal ngelakuin ini sendiri! Mending lo pergi dari sini!" sentak Devina muak, mengundang bisik-bisik beragam dari semua pasang mata yang menyaksikan mereka berdua. Cinta justru tersenyum miring merespon. 

"Dev, seharusnya lo bersyukur gue ada di sini yang siap bantuin lo. Kemarin-kemarin semuanya lo lakuin sendiri, 'kan? Terus apa hasilnya? Lo nggak pernah berhasil." Devina bungkam, Cinta mengatakan hal yang benar.

"Tujuan kita sama. Terus apalagi yang lo raguin? Gue cuma udah muak liat Yona sok berkuasa. Gue bener-bener udah nggak tahan lagi liat muka dia yang angkuh itu. Gue cuma pengen liat dia di bawah kita! Itu doang yang gue mau," jelas Cinta gregetan. Devina tidak berbicara lagi. Selama berhari-hari ini, ia terus mencoba meyakinkan Devina, namun gadis itu sangat sulit untuk percaya padanya.

"Gue siap lakuin apapun buat lo. Cuma lo satu-satunya yang bisa wujudkan apa yang gue mau selama ini. Kita bakal sama-sama untung."

Belum menjawab, Devina terdiam memikirkan. Ini adalah rencana besarnya. Ia tidak ingin mempercayai siapapun yang mungkin akan menghancurkan usahanya itu. Meski Cinta terlihat sangat menyakinkan, namun Devina tidak boleh gegabah. Karena jika ia gagal lagi, maka semua kesempatan itu akan hilang.

"Lo jangan terlalu banyak makan waktu. Lo bisa kalah cepat dan Yona bisa aja nyadar terus langsung singkirin lo sebelum lo bertindak." Karena Devina tidak juga menjawab, Cinta mengerlingkan matanya jengkel. Di detik yang sama, ia melihat Yona berjalan masuk ke kantin bersama Dave dengan tawa kecil menghiasi bibirnya.

"See? Sampai kapan lo mau biarin Yona tertawa seperti itu? Liat Yona bahagia seakan punya segalanya bener-bener nyebelin di mata gue!" dengkusnya. Cinta menatap sinis pada Yona yang duduk manis menunggu Dave memesankan makanan.

Saat satu ide cemerlang muncul di otak Cinta, ia seketika menepuk lengan Devina semangat. "Gimana kalau lo rebut Dave aja dari Yona? Dave punya segalanya. Gue yakin Yona pasti sakit hati banget. Terus pelan-pelan kita hancurin dia lagi biar dia gagal ikut di perlombaan?!"

"Gue udah berpikir untuk percaya sama lo, tapi karena usulan konyol lo ini gue jadi berubah pikiran," ucap Devina akhirnya. Ia lantas beranjak pergi dari kantin, namun Cinta sontak menariknya untuk duduk kembali.

"Oke. Oke. Nggak jadi. Gue cuma berusaha ngasih lo ide. Kalau lo nggak setuju, oke yaudah." Cepat-cepat Cinta menenangkan. Devina menepis tangannya kasar. Meski begitu, ia masih memberikan gadis itu kesempatan berbicara sejenak. "Gue cuma berpikir kalau Dave putus sama Yona, Yona bakal hancur. Lo bisa liat sendiri kalau Dave berarti bagi dia. Kalau enggak, mana mau Yona sedeket itu sama cowok? Cuma Dave satu-satunya, 'kan, yang masih bertahan sama Yona? Gue kira awalnya mereka enggak akan sedeket ini."

"Denger, ya, Cin. Usulan itu bakal bikin semuanya ribet! Gue nggak mau pakai cara menyeleneh seperti itu! Gue cuma mau Yona menghilang selama-lamanya!"

Untung saja, suasana kantin tak seramai beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang duduk di dekat mereka hingga hanya Cinta yang mendengarkan. Melihat mata Devina yang memerah penuh amarah lantas membuatnya tertegun. Nyali Cinta pupus sepenuhnya. Ucapan Devina benar-benar terasa ingin melenyapkan Yona di muka bumi ini.

"Gue bakal bikin Yona menghilang! Gue bakal bikin dia nggak pernah menampakkan diri lagi! Yona nggak bakal pernah menghantui hidup gue lagi!" Cinta masih kaget mendengar itu. Ia bergerak kaku. Cinta bisa yakin jika keinginan Devina bukan hal biasa lagi.

"Dev ... maksud lo gimana? Lo mau bu—"

"Gue nggak akan ngelakuin hal lain kecuali itu. Kali ini gue nggak akan pernah biarin Yona lolos," sela Devina cepat. Seakan pertanyaan Cinta tadi dijawab telak.

"Kalau lo beneran mau gue percaya sama lo, kasih gue sesuatu yang penting tentang Yona. Kalau lo berhasil, gue bakal bersedia." Setelah berucap, Devina melenggang pergi dari kantin. Meninggalkan Cinta yang lantas menggeram frustasi.

Jika benar keinginan Devina adalah itu, bagaimana bisa ia membantu mewujudkan?!

Cinta mengacak rambutnya bimbang. Meski benar ia tidak menyukai Yona, namun ia masih memiliki jiwa yang waras. Keinginan Devina sudah terlewat batas!

Melirik Yona yang tertawa-tawa di sana, Cinta tidak bisa membayangkan jika ia harus turut melenyapkan gadis itu juga.


🍃🍃🍃🍃🍃🍃



Sebelum bergabung di ekskul cheers, Cinta sudah mengenal Yona. Mereka berdua satu jurusan. Dari kelas sepuluh hingga sebelas, Cinta selalu sekelas dengan Yona. Semua yang Yona miliki telah Cinta saksikan baik-baik. Ia tidak pernah melihat Yona kekurangan satu pun. Menjadi primadona Dream High School, dan berasal dari keluarga terpandang. Gadis itu benar-benar mempunyai segala hal yang tidak seberapa dari kepunyaan yang Cinta miliki.

Dan dari situ, Cinta mulai muak melihat Yona.

Rasa iri yang kian membesar membuatnya benci jika hidup Yona selalu dipenuhi kebahagiaan. Cinta masih ingat ketika pertama kali mencoba mendekati gadis itu. Mulanya ia berpikir jika Yona akan menyambut baik, namun justru Yona menatapnya rendah dan bersikap angkuh padanya. Harga diri Cinta terasa diinjak-injak.

Mengepalkan tangannya karena teringat lagi, Cinta merasa jika niat Devina tidak sepenuhnya salah. Devina tentu harus menyimpan dendam setelah perlakuan semena-mena Yona saat itu. Jika ia menjadi Devina, mungkin ia akan melakukan hal yang sama.

Namun, bagaimana jika masa depannya akan terancam karena membantu Devina?

Cinta tidak pernah melakukan tindakan kriminal sepanjang hidupnya. Namun, hanya Devina satu-satunya yang bisa mewujudkan apa yang ia inginkan. Jika Cinta menolak, berarti sama saja ia harus teriksa selamanya dengan menonton kebahagiaan Yona.

"Gue harus apa?!" Cinta menjambak rambutnya. Ia benar-benar bimbang.

"Lo kenapa, Cin?" Yona mengernyit heran melihat teman duduknya itu. Cinta terperanjat kaget. Cepat-cepat ia memasang cengiran seperti biasa.

"Enggak. Gue cuma kepikiran tentang lomba kita. Udah makin deket waktunya, gue jadi gugup," balasnya. Cinta bergerak tidak nyaman di samping Yona yang tersenyum tipis.

"Santai, Cin. Kita 'kan, udah latihan keras, jadi gue yakin kita pasti berhasil." Cinta mengangguk mendengarkan, ia menatap Yona yang sibuk mencatat materi di papan tulis. "Daripada lo mikir yang enggak-enggak, mending lo tulis cepetan materi di atas. Bel istirahat kedua bentar lagi."

"Ah, iya."

Menuruti ucapan Yona, Cinta kembali melanjutkan catatannya. Meski tangannya sibuk bergerak lihai, namun pikiran Cinta tetap berlari ke mana-mana. Setelah dipilih sebangku dengan Yona, gadis itu tidak pernah lagi memperlakukannya seperti pertama kali mereka berkenalan. Jujur saja, selama menjadi teman Yona, Cinta menikmati. Yona tetap bersikap baik padanya.

Menepuk kepalanya pelan, ia berusaha menyadarkan diri. Baginya, Yona akan selalu pantas untuk dijatuhkan. Cinta tidak boleh berbaik hati, karena ia sendiri tahu jika Yona akan tetap menatapnya bukan siapa-siapa.

"Yon," panggil Cinta.

"Apa?" jawab Yona tanpa menoleh.

"Gue perhatiin, seharian ini lo banyak diem. Lo ada masalah?"

Yona seketika berhenti menulis, pikirannya kembali terganggu. Menghela napasnya pelan, lalu  kembali menggerakkan penanya itu. "Nggak. Gue juga sebenarnya kepikiran aja tentang perlombaan kita nanti. Perlombaan ini berarti buat gue."

Cinta mengangguk. Baru saja ia ingin berbicara lagi, Pak Gio bersuara untuk cepat-cepat menyelesaikan catatan mereka. Sementara Yona, ia berbalik melirik Cinta. Beban pikirannya bertambah berkali lipat setelah melihat kedekatan Cinta bersama Devina di kantin tadi. Beberapa hari terakhir ini, Yona selalu mendapati Cinta bersama Devina.

"Gue liat-liat, lo sama Devina lagi deket, ya?" Pertanyaan Yona membuat Cinta menoleh cepat.

"Ah, itu. Gue cuma kasian aja liat dia sendirian mulu. Lo tau sendiri dia dijauhin lagi sama anggota lain." Yona menaikkan alisnya sebelah. Melihat raut curiga Yona, Cinta buru-buru menjelaskan. "Maksud gue. Perlombaan kita, 'kan, bentar lagi. Gue cuma berusaha mendekati Devina biar bisa bujuk dia untuk tetap mau bekerja sama. Lo tau sendiri Devina orangnya gimana. Takutnya dia tiba-tiba berulah lagi dan bikin usaha kita hancur."

"Lo bener." Yona mengangguk mengerti. Ia berpaling.

"Tapi, Yon. Dengar-dengar respon Devina ke gue, sepertinya kalian berdua ada sesuatu lagi, ya? Kalian berseteru lagi?" tanya Cinta memancing. Ia sebenarnya tidak tahu apa-apa, namun mungkin saja jawaban Yona bisa memberikan celah untuknya.

"Emang dia bilang apa?" Yona tidak bisa menyembunyikan garis kegelisahan di wajahnya. Cinta bisa melihatnya jelas. Tidak langsung menjawab, ia tidak menyangka jika sepertinya benar telah terjadi sesuatu hingga Yona kemarin terus berusaha menjauhi Devina.

"Dia ngomong apa?!" tanya Yona mendesak. Pikiran aneh mulai memenuhi kepalanya saat ini.

"Dia nggak ngomong apa-apa, sih, yang jelasnya. Tapi, kalian berdua beneran terjadi sesuatu lagi, ya? Kemarin lo berusaha hindarin dia terus. Dia ngancem lo lagi kek dulu?!"

Yona terdiam sejenak. Lalu menggeleng, menjawab. Memijat kepalanya merasa pusing, ketakutan Yona hadir kembali dan menyiksanya kuat. Sejak Devina mengucapkan itu, ia tidak bisa tidur dan terus memikirkan. Yona sejujurnya belum yakin sepenuhnya, namun kemungkinan jika ternyata Devina tahu segalanya bisa saja terjadi. Jika itu benar, lalu bagaimana caranya ia bisa hidup tenang lagi?

Mendesis pelan, Yona terus berusaha mencari jalan keluar. Tidak mungkin Devina asal berbicara padanya.

"Syukur, deh, kalau kalian baik-baik aja. Takutnya dia ngapain-ngapain lo lagi jadi gue ngasih tau. Tapi, lo harus tetap hati-hati sama dia." Tidak ingin membuat Cinta berpikir yang tidak-tidak, Yona mengangguk sembari tersenyum.

"Lo tenang aja."

"Pokoknya, lo harus fokus sepenuhnya sama latihan dan perlombaan kita nanti. Jangan dipikirin banget, ya, Yon. Entar lo sakit lagi," ujar Cinta. Menyembunyikan senyuman miringnya, berpura-pura di hadapan Yona memang semudah itu. Yona terlalu bodoh untuk menyadari.

"Oh, iya. Ngomong-ngomong soal perlombaan, entar orang tua lo datang nggak? Jangan bilang enggak?! Ini 'kan, lomba penting lo." Cinta bertanya kembali sembari terus melanjutkan catatannya.

"Nggak tau gue. Orang tua gue terlalu sibuk untuk urusan seperti ini." Yona tersenyum tipis. Merapikan perlengkapan alat tulisnya, catatan Yona sudah selesai.

Sudah Cinta tebak, Yona akan selalu menjawab seperti itu. Selama Yona bersekolah di DHS, hanya sekretaris orang tua Yona yang pernah datang ke sekolah ketika menerimaan rapor. Orang tua Yona benar-benar tidak pernah menampakkan diri. Hingga pernah sekali membuat Cinta bertanya-tanya.

"Parah, sih, Yon. Orang tua lo sibuk banget. Tapi, lo ini anaknya. Sesibuk-sibuknya mereka, seharusnya mereka ngasih sedikit waktu buat lo. Lo 'kan, butuh kasih sayang juga. Kalau gue jadi lo, keknya nggak bakal tahan."

Tersenyum miris, Yona menjawab, "Gue udah terbiasa dari kecil. Jadi santai aja."

"Tapi, orang tua lo udah keterlaluan banget kalau nggak datang di perlombaan nanti. Orang tua kita semua diundang. Coba lo bujuk-bujuk mereka. Kabur dari rumah coba, biar mereka nyadar kalau selama ini mereka salah."

Yona tertawa kecil. "Kabur? Gue nggak pulang aja nggak dicariin. Gimana mau ngelakuin itu biar mereka sadar?"

Mata Cinta melotot. "Serius lo? Mereka sebenarnya sayang sama lo atau enggak, sih?!"

"Sttt! Suara lo jangan gede-gede entar kedengeran." Yona memperingati. Untung saja Pak Gio sibuk di depan sana. Cinta cengengesan.

"Fix, Yon. Kalau mereka tetap nggak bisa datang di perlombaan nanti berarti mereka nggak peduli sama lo. Orang tua gue juga sering sibuk, tapi selalu punya waktu buat gue. Lo harus bertindak. Uang nggak cukup bikin bahagia."

"Lo ngomongnya ketinggian banget, gila. Mereka sibuk kerja juga buat gue. Jadi gue paham kesibukan mereka," balas Yona terkekeh.

Cinta berdecak. "Tapi ini keterlaluan. Apa jangan-jangan lo bukan anak kandung mereka lagi makanya mereka gitu?!"

Yona lantas terdiam. Ia menatap Cinta yang santai mengatakan itu. Meski itu adalah kebenaran, namun dada Yona selalu diserang oleh sesak yang menggila. Cinta benar, Yona bukanlah siapa-siapa yang harus mendapatkan itu semua. Ia hanyalah anak adopsi yang penuh mimpi tentang kebahagiaan yang kejamnya harus direnggut paksa selama-lamanya.

Mata Yona mengabur cepat. Ia tidak bergerak. Sementara Cinta yang melihat itu melotot tidak percaya. Padahal tadi ia hanya bercanda.

Apakah tebakannya itu benar? Jadi selama ini, Yona bukanlah anak kandung mereka?

Cinta tersenyum kemenangan. Ini akan menjadi berita besar untuk Devina.



🍃🍃🍃🍃🍃



"Kamu baik-baik saja, Yona?" tanya Dave ketiga kalinya. Namun, Yona tidak juga menjawab. Gadis itu masih terdiam sembari menggigit kukunya cemas.

"Yona?" Dave memegang tangan Yona menyadarkan. Gadis itu tersentak kecil. Ia mengulas senyuman tipis pada Dave yang menatapnya khawatir. "Kamu sedang tidak enak badan? Ayo, saya antar ke UKS. Atau, kita langsung ke rumah sakit saja. Kamu terlihat lebih pucat."

"Nggak apa-apa, Dave. Gue cuma kepikiran soal lomba cheers nanti. Waktunya makin dekat," balas Yona meyakinkan. Tatapan Dave tetap seperti itu. Yona berbohong padanya.

Dave tentu tahu segalanya. Sejak kepulangan Yona bersama teman-temannya kemarin, ada banyak beban yang memenuhi pikiran gadis itu. Ia hanya diam. Meski tahu, namun ia menunggu Yona menceritakannya sendiri.

"Kamu punya masalah di ekskul cheers? Coba ceritakan pada saya. Saya akan membantumu."

Yona menggeleng, ia tersenyum lebih lebar agar Dave mempercayainya. Menidurkan kepalanya pada bahu lelaki itu, Yona memejamkan mata menikmati semilir angin yang sejuk. Ia merasa lebih tenang ketika bersama Dave seperti ini.

"Kamu terlihat seperti mempunyai masalah, Yona. Ceritakan saja. Saya ada di sini untuk membantumu. Jangan menanggungnya sendiri. Kamu memiliki saya." Yona membuka matanya kembali. Ia masih diam. Mengambil tangan Dave, Yona menggenggamnya erat.

"Dave, apapun yang terjadi lo jangan pernah tinggalin gue juga, ya?" ucapnya. Mata Yona berkaca-kaca menahan sakit yang terus ia pendam.

"Pokoknya, jangan pernah ...."

"Tidak akan pernah, Yona. Saya sudah berjanji," balas Dave cepat. Ia bisa merasakan bahunya basah. Yona menangis.

"Mereka semua bakal ninggalin gue. Itu bakal terjadi. Gue bakal berusaha terima itu. Tapi kalau lo ... gue udah terlanjur nggak akan pernah bisa." Suara Yona bergetar, tangisnya pecah.

Yona tidak tahu sebesar apa luka yang harus ia tanggung di saat nanti. Bencana yang telah ia hindari sekuat tenaga, kini mulai berada di depan matanya. Yona putus asa, kekuatannya untuk melindungi diri telah lenyap sepenuhnya. Ia tidak berdaya lagi. Devina tidak akan membiarkan ia menang kembali.

Dave diam. Ia merengkuh Yona menenangkan. Sejak awal, ia tidak pernah terima jika Yona bersama teman-temannya. Karena Dave sangat tahu, mereka semua akan menyakiti Yona.

"Kamu tenang saja, Yona. Mereka tidak akan pernah bisa menyakitimu. Saya berjanji." Yona mengangguk mengerti. Isakan memilukan Yona begitu menyakiti Dave.

"Gue takut, Dave. Gue udah berusaha kuat melindungi diri gue sendiri. Tapi nyatanya, gue nggak akan pernah berhasil."

"Gue ngelakuin ini ... cuma agar gue punya seseorang yang bersedia ada di dekat gue. Gue nggak ada niat lain. Gue nggak berniat menipu mereka semua." Setelah mengakui, tangis Yona pecah sepenuhnya. Ia tidak bisa menahan lagi. Semakin ia mencoba untuk kuat, semakin menyiksa juga rasanya.

"Tidak apa-apa, Yona. Semuanya akan baik-baik saja."

Semua akan baik-baik saja. Yona tidak tahu sampai kapan semuanya benar-benar akan baik-baik saja.

"Jangan pernah memikirkan hal yang lain lagi. Tetap kuat, Yona. Saya yakin kamu bisa melalui ini semua. Saya akan selalu bersamamu." Gadis itu terus mengangguk merespon. Saat ini ia tidak butuh apa-apa lagi. Dave sudah memberikan segalanya.

"Yona, berjanji pada saya untuk tetap berjuang. Jangan pernah menyerah apapun yang terjadi. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu. Saya di sini. Berjanji pada saya. Kamu hanya perlu fokus dengan pengobatanmu. Jangan pernah memikirkan mereka lagi." Merenggankan pelukan itu, Yona menatap Dave yang menatapnya dalam. Lelaki itu mengusap pipi Yona yang basah. Lalu kemudian menjulurkan jari kelingkingnya.

"Mari, kita berjanji untuk tidak pernah saling terluka," ucap Dave tersenyum lembut.

Yona memandangi itu. Tidak langsung menyambut, air matanya lolos kembali. Yona membekap mulutnya, menahan isakan yang kuat. Mengangguk setuju, ia menyematkan jari kelingkingnya pada Dave erat.

Menatap Dave lagi penuh arti, Yona membalas. "Mari, untuk tetap bersama selama. Apapun yang terjadi," ucapnya dalam hati yang sangat jelas terdengar di telinga Dave.



🍃🍃🍃🍃🍃🍃




Devina
Temuin gue di lapangan indoor sekarang.

Yona membaca pesan singkat dari Devina. Ia tidak membalas. Terdiam sejenak memikirkan, Yona tidak tahu apa yang akan Devina lakukan padanya. Namun, ajakan Devina sekarang mengingatnya pada kejadian kemarin. Di mana gadis itu akan merundungnya dan mengancam agar ia mundur dari posisi kapten cheers.

"Kamu akan menemuinya?" tanya Dave. Yona dengan cepat menoleh.

"Seperti harus. Gue nggak boleh hindarin dia terus. Seperti kata lo tadi, gue harus berani melalui ini." Yona berusaha tersenyum, meski ada banyak ketakutan yang sedang ia sembunyikan. Dave tersenyum membalas, ia mengusap kepala Yona memberikan semangat.

"Saya temani," ujar Dave beranjak. Namun, Yona menahan.

"Nggak usah, gue bisa sendiri. Lo di sini aja tungguin gue."

"Tetapi bagaimana jika dia menyakitimu lagi? Ayo pergi bersama saja." Dave menarik tangan Yona berdiri. Namun, Yona tetap menolak.

"Nggak usah, Dave. Gue nggak bakal kenapa-kenapa. Gue janji," ucap Yona menyakinkan. "Gue cuma bentar, kok. Tungguin gue di sini. Gue bakal balik lagi."

Menghela napasnya pelan, Dave mengangguk terpaksa. "Baiklah. Tetapi jika terjadi sesuatu, langsung telpon saya. Mengerti?"

"Lo tenang aja," ujar Yona tersenyum. Lalu kemudian melangkah pergi meninggalkan Dave sendirian. Yona mengambil langkah besar, ia ingin cepat-cepat menemui Devina. Mengepalkan tangannya menguatkan diri, ia harus berani. Jika semua kecurigaannya pada Devina benar, berarti ia seharusnya melawan, bukan menyerah.

Semakin mempercepat langkah, Yona sudah tiba di lapangan indoor. Ketika ia masuk, terlihat Devina sudah menunggunya. Menyadari kehadiran Yona, Devina tersenyum lebar menyambut.

"Cepet juga lo. Sepertinya lo bener-bener penasaran sama tujuan gue ngajak lo kemari." Devina berjalan mendekati Yona yang tetap menatapnya angkuh seperti biasa.

"Mau lo apa?" tanya Yona langsung.

"Mau gue? Lo seharusnya udah hafal mau gue apa," balasnya. Devina tersenyum miring. "Menurut lo, setelah semua yang lo lakuin, alasan gue masih di sini karena apa? Lo tau nggak?"

"Lo jangan ngajak gue main tebak-tebakan. Lo sendiri yang tau jawabannya," ujar Yona dingin.

Devina tertawa. Ia menatap Yona tidak percaya. "Lo beneran tetap Yona seperti biasa. Angkuh! Sok berkuasa! Sok hebat! Sok punya segalanya! Lo bener-bener nggak pantas hidup!" Tanpa aba-aba Devina mendorong kasar bahu Yona berkali-kali hingga berhasil membuat Yona terjatuh ke lantai. Gadis itu menutup mata sejenak, menahan amarahnya untuk tidak langsung membalas Devina.

"Lo tau, sekuat apapun lo bertahan, lo nggak akan pernah bisa tenang selama-lamanya! Lo tau, sekuat apapun lo coba kalahin gue lagi, lo tetap bakal berakhir tragis seperti hidup lo yang seharusnya!"

"Lo bener-bener nggak tau diri, Yon. Dengan topeng penipu lo, lo coba berusaha memiliki segalanya?"

Yona berdecih, lalu mencoba berdiri namun Devina lebih dulu mendorongnya hingga tubuh lemah gadis itu terjatuh kembali. Mendesis pelan, Yona menahan sakit. Ia mengepalkan tangannya erat. Sudah ia duga, Devina tahu segalanya.

"Terus? Lo mau apa? Lo merasa diinjak-injak karena gue yang nggak punya apa-apa malah justru menang dari lo?" balasnya menatap Devina tajam. Devina tertawa lagi, lalu merendahkan tubuhnya mencengkram dagu Yona kuat.

"Lo pasti tau alasan gue masih di sini karena apa. Tentu, untuk singkirkan lo, Yona. Itu cita-cita terbesar gue!"

"Kali ini gue nggak bakal biarin lo lolos! Nggak akan pernah lagi! Gue bakal bongkar semua kelakuan rendah lo itu! Gue bakal bikin hari-hari lo semenderita mungkin! Lo nggak pantas bahagia sama sekali!" teriak Devina tepat di depan wajah Yona yang memerah.

"Kemenangan lo udah berkahir. Sekarang giliran gue. Gue bakal singkirin lo selama-lamanya! Gue bakal ngelakuin apapun biar lo berhenti jadi ketua cheers!"

"Dev, jadi sekarang lo ngancem gue lagi seperti dulu? Lo nggak jera? Belum cukup balasan gue kemarin?" tanya Yona berusaha melawan.

"Iya, sekarang gue lagi ngancem lo! Lo nggak akan bisa kalahin gue lagi! Sekarang lo punya satu pilihan, keluar dari cheers hari ini dan mundur dari perlombaan, atau gue bakal hancurin hidup lo melebihi yang lo lakuin ke gue! Gue bakal bongkar semua kebusukan lo yang berpura-pura selama ini! Lo bener-bener menyedihkan!"

Mendorong tubuh Yona sekali lagi, Devina berdiri memandangi Yona penuh rasa jijik. "Seharusnya gue bongkar dari dulu, tapi sayangnya gue salah langkah."

"Lo punya bukti? Kalau omongan lo semuanya itu benar? Nggak ada yang percaya sama lo kalau lo lupa!" Mata Yona berkaca-kaca menahan sakit dari perlakuan Devina, namun ia masih mencoba menguatkan diri.

Mendengar itu, tawa Devina memenuhi lapangan indoor yang sepi ini. "Bukti? Tentu gue punya. Lo pikir gue nggak menyiapkan apa-apa sebelum lakuin ini?" Devina berjongkok lagi. "Bodoh!" Tangannya melayang ingin menampar wajah memuakkan Yona. Namun sebelum itu terjadi, Yona lebih dulu menahan.

Yona menatap Devina dengan tatapan penuh amarah. Detik kemudian, ia langsung memelintir tangan gadis itu hingga jeritan Devina menggelegar. Wajahnya dengan cepat memerah menahan sakit luar biasa. Tidak merasa kasian, Yona justru menguatkan tenaganya membuat Devina berteriak dan menangis kesakitan.

"Lo mau ngalahin gue? Mimpi!" Sekali hentakkan, Yona melepaskan itu kasar hingga tubuh Devina berganti menghantam lantai.

Devina menjerit lagi, ia berusaha bangkit ingin menyerang Yona balik namun Yona tidak membiarkan. Ia menarik rambut Devina menatapnya. "Lo beneran punya nyali yang gede untuk singkirin gue. Lo pikir gue bakal biarin lo? Lo pikir gue bakal berakhir seperti yang lo mau? Enggak. Justru lo yang bakal berakhir mengenaskan seperti yang seharusnya, Devina!"

"Gue beneran nyesel kenapa biarin lo sekali lagi. Awalnya gue merasa bersalah karena lo bener-bener hancur setelah berusaha melawan gue kemarin. Tapi kali ini, lo bakal berakhir sepenuhnya!"

"Sialan! Lepasin gue!" Devina memberontak. Yona menuruti dengan sekali hentakkan kasar lagi.

Yona berdiri, ia menatap Devina yang berantakan sembari mengeluarkan ponselnya. Yona memutar rekaman suara yang telah ia rencanakan sebelum menghadap Devina. Ia tersenyum miring ketika mata Devina melotot tidak percaya.

"Kemenangan lo udah berkahir. Sekarang giliran gue. Gue bakal singkirin lo selama-lamanya! Gue bakal ngelakuin apapun biar lo berhenti jadi ketua cheers!"

"Dev, jadi sekarang lo ngancem gue lagi seperti dulu? Lo nggak jera? Belum cukup balasan gue kemarin?"

"Iya, sekarang gue lagi ngancem lo! Lo nggak akan bisa kalahin gue lagi! Sekarang lo punya satu pilihan, keluar dari cheers hari ini dan mundur dari perlombaan, atau gue bakal hancurin hidup lo melebihi yang lo lakuin ke gue!"

Yona mematikan rekaman itu. Devina tidak bergerak lagi. Mulutnya terkunci rapat. "Lo pasti tau 'kan, apa yang bakal terjadi kalau rekaman ini gue sebar?"

"Lo bukan cuma beneran ditendang dari ekskul cheers, tapi gue bahkan bisa bikin lo dikeluarkan dari DHS!Jabatan orang tua lo bakal terancam! Lo bakal menderita! Rekaman ini bakal bikin hidup lo lebih hancur daripada kemarin! Gue bisa ngelakuin segalanya selangkah dari semua rencana lo!" teriak Yona kuat. Dadanya naik turun emosi.

"Lo nggak bisa ngapain-ngapain lagi, Dev. Hidup lo ada di tangan gue sekarang."

Devina mengepalkan tangannya kuat hingga telapak tangannya lecet. Ia menatap Yona penuh kebencian. Amarah Devina kian membesar. Namun, ia benar-benar tidak berdaya sekarang.

"Kalau lo nggak mau itu terjadi, jangan pernah berulah sampai perlombaan kita selesai. Gue cuma minta itu," ujar Yona. "Gue tau lo pasti membuat rencana singkirin gue lagi setelah ini. Tapi, kalau lo punya niat buat usaha kita semua hancur sebelum perlombaan selesai, lo bakal tamat di tangan gue."

"Pilihan lo sekarang cuma satu, tetap diam dan fokus pada perlombaan nanti. Jangan pernah mencoba lakuin hal lain kecuali itu!"

"Lo ngerti?!" Yona membentak lagi. Nada suaranya sedikit goyah. Devina tetap diam tidak menjawab.

Mengambil napas banyak-banyak, dada Yona terasa sesak. "Gue tau, lo nggak akan pernah diam. Setelah perlombaan, terserah lo mau ngelakuin apa. Lagipula, kita nggak akan pernah ketemu lagi setelah itu."

"Sabtu nanti, anggap kita nggak pernah ngobrol hari ini. Gue pergi." Tidak ingin mendengar suara Devina lagi, Yona berjalan menjauh. Langkahnya tertatih-tatih. Napasnya hampir menyerah.

Setelah berhasil menjauh dari lapangan indoor, Yona menjatuhkan dirinya. Lalu menangis keras-keras mengeluarkan segala rasa sakit yang ia simpan rapat-rapat.

Di saat seperti ini, Yona selalu berharap agar segalanya benar-benar berakhir sepenuhnya. Ia merasa ingin menyerah. Ia merasa tidak sanggup lagi dan ingin pergi sejauh mungkin.

Yona merasa ... jika menutup mata selama-lamanya adalah pilihan yang tepat saat ini.

Semesta, bisakah kamu mengambilku saja sekarang?


🍃🍃🍃🍃🍃


4270 words, done!!! 😭😭😭😭😭😭

Jadi bagaimana perasaanmu setelah membaca ini? Senang? Sedih? Kesal? Jengkel? Greget? Pingin bunuh orang?😆😆😆

Part hari ini lumayan panjang dan emosional. Tetap ingat ini bukanlah apa-apa. Badai besar masih jauh🙂🤗 Kira-kira kamu bakal sanggup nggak?

Say YES dong kalau nggak sabar cerita Beautifulove cepetan tamat!!!!!

Oke, spam NEXT di sini dulu banyak-banyak. Nggak sabar kan ketemu Devina lagi?👿😆😆😆😆

Jangan lupa follow instagram khusus Beautifulove 👇👇👇
-daydreamproject10
-asmahafaaf
-yonafarestaivory
-dave.saja
-astories.e

Paypay. Sampai ketemu lagi. Love, AsmahAfaaf

Continue Reading

You'll Also Like

155K 2.7K 11
suka suka saya.
549K 44.4K 46
Rifki yang masuk pesantren, gara-gara kepergok lagi nonton film humu sama emak dia. Akhirnya Rifki pasrah di masukin ke pesantren, tapi kok malah?.. ...
218K 20.5K 72
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.
66.4K 172 10
🔞Bagi yang suka suka saja!!! Ini cerita lanjutan dari cerita berjudul Birth Sex , yuk cuss bestie!!