00 - prolog

30.7K 1.7K 103
                                    

WARNING: cerita ini penuh DRAMA.

***

Perkelahian kembali terjadi lagi di SMA Phoenix. Dewangga dan Kavin saling memukul. Para siswa sudah berupaya melerai, tetapi Zena terlalu kalap hingga Kavin kewalahan. Zena menarik kerah kemeja Kavin, lalu kembali menghantamkan pukulannya ke wajah Kavin.

Kavin terjatuh ke lantai dan segera berdiri untuk berlari menuju kelas. Zena mengejar Kavin ke kelas itu dan mengunci pintunya. Dia tak akan membiarkan Kavin lepas darinya sedetikpun. Diterjangnya kembali, lalu memukulnya bertubi-tubi.

Zena tak bicara. Tidak dengan gerakannya memukuli cowok yang ada di bawahnya saat ini. Melihat Kavin hanya tertawa, Zena makin menjadi-jadi. Amarahnya makin meluap melihat senyum penuh ejekan itu. Zena sudah tak peduli dengan gedoran pintu kelas dan namanya yang diteriaki oleh beberapa guru.

Zena memberi pukulan lagi, lalu dia berhenti. Dia berdiri sembari mengepalkan tangannya yang belum puas. Dia mencoba untuk menahan diri agar tidak kelepasan, tetapi perkataan Kavin terus terbayang-bayang dan membuat hatinya sakit, kecewa, dan berbagai perasaan lain yang Zena tak bisa ungkapkan lagi.

"Haha, pukul aja lagi."

Langkah Zena berhenti tepat di depan pintu yang kuncinya belum dibuka. Seorang guru terus meneriaki namanya di luar sana.

Kavin berdiri dengan kewalahan. Dia tertawa mengejek Zena dari belakang. "Lo mukul gue kayak gini karena gue ngungkapin fakta yang sebenarnya tentang Sere?"

Zena memejamkan matanya. Kedua tangannya makin terkepal kuat.

"Lo mukul gue sampai gue mati pun nggak bakalan ngehilangin fakta apa yang udah terjadi di antara gue dan Sere malam itu."

"Zena! Kavin! Ibu bilang berhenti!" Bu Clarissa terus berteriak di luar sana. Zena mendengar semua ucapan di luar kelas itu hanya samar-samar.

Sementara sesuatu yang tidak ingin dia dengar dari Kavin, terdengar sangat jelas di telinganya. Menghantam hatinya bertubi-tubi.

"Tetep aja, Sere itu udah jadi bekas." Kavin tersenyum penuh ejekan. "Gue perjelas, bekas gue."

"DIEM LO BRENGSEK!" Zena berbalik, berlari menuju Kavin dan kembali menghantamkan pukulan bertubi-tubi di wajah yang sudah penuh darah.

***

Panggilan itu diakhiri. Pak Harv—kepala sekolah SMA Phoenix— menaruh kembali telepon genggam ke atas meja. Tatapannya tertuju ke dua siswa yang berdiri di depan mejanya. Wajah Zena terdapat bekas pukulan. Berbeda dengan Kavin yang terlihat parah.

Zena diam saat Pak Harv memandanginya lama. Pandangan Pak Harv tertuju ke Kavin, lalu beliau menggeleng-geleng.

"Ini pertengkaran pertama kalian. Saya tahu kamu Kavin, kamu jarang berkelahi dengan siswa lain. Tapi, kamu," Pak Harv menatap Zena dengan hela napas panjang, "ini sudah yang kesekian, Zena."

Zena tak berekspresi. Bahkan tatapannya tak ingin tertuju kepada Pak Harv.

"Kamu sudah sering masuk ke BK, apalagi ke ruang Kepala Sekolah dan Bapak pikir ini yang terakhir, Zena. Saya baru saja menelepon Ayah kamu dan akan bicara lebih jauh persoalan kasusmu di sekolah yang sudah tak terhitung itu."

Zena mengepalkan tangannya.

"Sudah berkali-kali saya memberi kamu kesempatan, tapi untuk kali ini saya tidak bisa lagi."

Zena diam. Berbeda dengan Kavin yang menyeringai.

"Dan kamu, Kavin. Saya juga sudah bicara dengan orangtua kamu. Kamu diskors selama satu minggu."

DELUSIWhere stories live. Discover now