Ia membuka pakaian rumah sakit, menggantinya dengan pakaian ganti yang Aksa bawakan kemarin. Sena memasukkan sebagian barang yang tergeletak di atas nakas pada tas ransel kemudian membereskan barang-barang lain di laci nakas rumah sakit.

Pergerakannya terhenti sesaat ketika ia menyadari bahwa surat pernyataan pulang dari perawat tidak ada di laci nakas. Sena kembali membuka laci-lacinya bergantian dengan panik. Jika tidak ada surat pernyataan pulang dari perawat, ia tidak akan bisa mengurus administrasi dan pulang.

Sena menegakkan badan, menyisir rambutnya kebelakang seraya mengingat-ingat di mana ia meletakkan surat tersebut kemarin. Sena berdecak kesal. Yang bermasalah, kan, jantungku. Kenapa aku jadi sering lupa? Memangnya pengaruh, ya?

"Sena."

Atensinya sontak teralih. Kedua manik Sena menatap Aksa yang masuk ke dalam ruangannya dengan memakai baju rumah. Sena mengernyit bingung, ia buka lagi layar ponselnya kemudian kembali menatap Aksa. Hari rabu, kok. Seharusnya Ayah bekerja.

"Ayah tidak ker---"

"Tidak. Meliburkan diri," potong Aksa seraya mendekat pada Sena. "Omong-omong, Ares dan Devan sudah pulang subuh tadi, tidak berani membangunkan kamu, kata mereka. Sekarang mereka sekolah. Ayo pulang ke rumah, Ayah baru selesai mengurus administrasi. Mana ranselmu?"

Sena mengatupkan mulut rapat, memandang Aksa yang meraih tas ranselnya dalam diam.

"Tunggu di depan pintu masuk Instalasi Rawat Inap."

Sena berdeham mengiyakan seraya menatap punggung Aksa yang melenggang pergi. Sial, Sena nyaris tidak bisa menahan senyum. Ini pertama kalinya Aksa sampai meninggalkan pekerjaannya untuk sekedar mengantar Sena pulang dari rumah sakit.

***

"Ayah meminta cerai saat bertengkar dengan ibu kemarin."

Devan menghela napas berat seraya memakan nasi goreng yang ia beli di luar saat pulang sekolah tadi. Sementara itu, Sena yang duduk di hadapannya nyaris tersedak roti karena ucapan Devan. Keduanya kini tengah berada di ruang makan.

Devan mengangkat sebelah alisnya singkat, kemudian lanjut makan.

Sena bungkam, mengunyah roti dalam diam tanpa menanggapi cerita Devan. Kepala Sena rasanya penuh. Baru saja ia dibuat pusing karena persiapan Ujian Nasional Berbasis Komputer, Devan malah berucap demikian.

Setelah mengantar Sena pulang, Aksa hanya bicara seperlunya. Hanya menjelaskan obat yang perlu Sena minum atau sekedar mengangguk dan menggeleng jika Sena bertanya ini-itu. Aksa lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur.

"Ibu yang gila!"

Teriakan Ares dari kamarnya membuat Sena sontak menolehkan kepalanya kaget. Telapak tangannya basah, Sena lantas memundurkan kursi yang ia duduki dan berdiri. "Kamu lanjut makan saja, Van."

Sena berjalan menuju kamar Ares dengan dada yang berdebar.

"Bisa diam atau tidak, sih?"

Sena menghentikan langkah ketika mendengar suara pelan Leana. Deru napas memburu Ares bersautan dengan suara Leana.

"Kamu mau Sena dengar? Mau membuat Sena makin stres? Komplikasi operasinya kali ini banyak. Masih untung Sena bisa selamat." Leana berhenti bicara sejenak. "Ini cara Ibu untuk tetap waras. Jadi, belum bisa sepenuhnya kamu cap sebagai gila. Bercermin, Antares. Kamu yang harusnya mengunjungi psikolog dan menghilangkan kebiasaan melukai dirimu sendiri."

Leana berbisik. "Ah, tidak perlu. Biar Ibu saja yang menanggung dosanya. Kamu tidak perlu menyakiti diri sendiri. Ibu siap melakukannya untukmu."

Sena menyentuh dadanya pelan ketika mendengar Leana berucap pelan seraya menekan setiap kalimatnya. Bola mata Sena bergerak, ia menajamkan pendengarannya kala suara Ares terdengar samar.

Detak. ✔Where stories live. Discover now