BAB 9. Perspektif Ares

3.4K 589 100
                                    

Dada Ares berdenyut nyeri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dada Ares berdenyut nyeri. Ia sentuh dadanya sekilas kemudian kembali menatap Luna.

"Maaf. Aku tidak suka perempuan yang menyatakan perasaannya lebih dulu padaku."

Ares menghela napas, lantas berbalik. Ia lagi-lagi menyentuh dadanya yang mendadak berdegup kencang. Sena tidak terlihat baik saat pulang sekolah tadi. Firasatnya tidak bagus.

Luna menahan tangan Ares sontak membuat Ares menghentikan langkah dan terpaksa membalikkan lagi badannya. Ia tatap Luna yang menunduk. "Luna, bukankah sudah jelas? Aku, tidak, suka kamu. Juga, jangan pernah suka padaku."

"Tidak bisakah kamu lebih lembut pada perempuan?"

"Sorry? Am I hurt you?" Ares melepas genggaman tangan Luna pada pergelangan tangannya. "Aku tidak meninggikan intonasiku dan aku hanya mengungkapkan apa yang ada di kepalaku."

Ares melenggang pergi, kemudian ia kembali menghentikan langkah saat teringat sesuatu.

"Ah, satu lagi. Tidak semua pernyataan cinta berakhir manis. Dia yang menyatakan, dia juga yang harus siap patah hati, Luna."

Ares mengulum bibir. "Itu hanya sedikit gambaran dariku sebagai laki-laki. Kodrat perempuan memang untuk dikejar, bukan mengejar. Lebih dimanjakan, bukan lebih memanjakan. Lebih diperjuangkan, bukan lebih memperjuangkan."

Seusai itu, Ares langsung melangkah pergi menuju halaman parkir sepeda motor di sekolahnya. Ia memakai helm fullface kemudian menaiki sepeda motor ninja miliknya. Suara motor Ares menderu, ia mengendarai motornya keluar dari sekolah dengan terburu-buru. Ares menatap arloji LED berwarna hitam di tangan kirinya disela-sela berkendara. Sena, kenapa lagi?

Begitu sampai di halaman rumah, Ares lantas menghela napas kasar. Awalnya, Luna mengajak Ares berbicara perihal agensi modelling-nya dan pekerjaan. Maka dari itu, Ares setuju-setuju saja. Jika tahu Luna malah menyatakan cintanya, Ares tidak akan repot-repot menghabiskan waktu untuk obrolan yang menurutnya tidak penting dan malah membiarkan Sena pulang sendiri.

"Mas Ares," panggil Bibi Freya yang berlari kecil menghampirinya. Ares membuka helmnya dan menyisir rambut ke belakang kemudian menatap Bibi Freya.

"Mas Sena kondisinya tidak begitu baik. Saya belum berani menghubungi Pak Aksa. Takut nantinya Bapak justru marah pada Mas Sena."

Ares mengangguk. "Kak Sena di kamar, kan, Bi?"

"Mas Sena baru saja keluar setelah menerima telepon. Mas Ares tidak bertemu dengannya di tengah jalan?"

Ares mengernyit kemudian kepalanya ia gelengkan pelan. Ares meraih ponsel di saku, ia buka kunci layarnya dan menatap bar notifikasi. Ada satu panggilan tak terjawab dari Sena.

Ares menekan tombol pemanggil untuk menghubungi Sena. Decak kesal terdengar dari mulut Ares tatkala Sena tidak menjawab panggilannya.

"Tadi Kak Sena menghubungi siapa, Bi?"

Detak. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang