BAB 30. Pergi

2.8K 515 194
                                    

Barangkali ada sebuah ajang penghargaan manusia paling bodoh, Ares akan langsung mengangkat tangan Sena tinggi-tinggi untuk mengikuti ajang penghargaan tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Barangkali ada sebuah ajang penghargaan manusia paling bodoh, Ares akan langsung mengangkat tangan Sena tinggi-tinggi untuk mengikuti ajang penghargaan tersebut. Ia yakin kakaknya akan menang, dua ratus persen.

"Iya. Puas? Lalu, Kakak mau apa kalau sudah tahu? Menggantikanku?"

Sena mengalihkan pandangannya selama beberapa saat kemudian kembali menatap Ares mantap. "Iya."

Sena tidak main-main dengan ucapannya, Ares tahu. Jika iya, ya, iya. Jika tidak, ya, tidak. Sena sedikit memiliki kesamaan dengan Ares mengenai hal ini.

Buktinya, meskipun ia sudah melarang Sena untuk menjadi budak cintanya Luna, Sena tetap kukuh mengejar-ngejar Luna sampai mampus. Yang ada, Ares dan Sena hanya akan berakhir dengan bertengkar jika sudah membahas Luna.

Tolol, maki Ares dalam hati ketika ia tengah memandang Sena yang berbincang dengan Devan di ranjang rumah sakit. Devan bahkan tidak mau bicara satu patah kata apa pun setelah ia jemput, namun kini malah menumpahkan tangisnya di depan Sena.

Memang, sih, langkah Devan sudah terseok-seok nyaris tersandung paving jalan depan rumah yang setengah rusak dan sekonyong-konyong membuat Ares sampai turun dari motor. Sorot pandangan Devan terasa kosong. Ares jadi tidak berani bertanya apa-apa, apalagi setelah mengetahui bahwa orangtuanya bertengkar dari Sena.

Sena merengkuh Devan seraya menghela napas berat. Kedua matanya menatap Ares yang duduk diam di kursi. Ares mengalihkan pandang, menatap objek lain.

"Aku yang urus sisanya."

Hah, Ares nyaris tertawa saat mendengarnya langsung dari mulut Sena. Urus apa? Masalah Ibu? Devan? Ayah? Menghadapi Ayah saja Kak Sena kewalahan, apalagi Ibu.

Ares memainkan jari-jari tangannya gusar. Ia rasa, semua akan percuma sekali pun Sena bersikeras mencoba menolong dan melindunginya kali ini.

Ares justru semakin takut jika Sena memaksakan dirinya. Kepalanya ia gelengkan pelan, menepis semua skenario-skenario terburuk yang kemungkinan akan terjadi. Tangan Ares gemetar, dadanya sesak.

Bagaimana kalau Kak Sena tiba-tiba drop lagi karena terlalu stres? Bagaimana kalau Kak Sena meninggalkanku sendirian? Bagaimana jika ini, bagaimana jika itu dan bagaimana lainnya.

"Aku sehat pun Ayah tidak pernah senang melihatnya. Kamu dengar sendiri waktu itu ... kalau Ayah sebenarnya tidak ingin aku lahir semenjak Ibu mengandung kita. Percuma. Jadi, jangan sakit, Res. Biar pun kamu sakit, aku nantinya masih akan pergi kalau memang waktuku sudah habis."

Memoar kalimat-kalimat yang pernah Sena utarakan, mengalun jelas di kepala Ares. Tanpa henti, tanpa jeda.

"Aku nantinya masih akan pergi kalau memang waktuku sudah habis."

Sekali lagi, kinerja otak Ares seolah melambat. Ia menoleh perlahan, ditatapnya Sena yang masih memandangnya sendu. Sena membuka mulut, berucap tanpa suara. "Maaf."

Detak. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang