Sena menjatuhkan pandangannya, kemudian melepas rengkuhannya pada Devan. Ia usap air mata Devan dengan lengan baju rumah sakitnya kemudian tersenyum samar. Ares bersandar pada kursi, memejamkan mata tatkala pandangannya mulai mengabur karena air mata.

"Tidakkah kamu mengerti? Aku hanya ingin ayah dan kamu tidak sendirian saat hari itu tiba," kata Sena beberapa bulan lalu saat ia menjelaskan alasan konyolnya mengapa Ares harus memberi izin pada Aksa untuk menikah dengan Leana.

Saat hari itu tiba, ya? Saat jantung akan berhenti berdetak, baterai jam dinding akan habis atau saat waktu Sena telah habis?

Akan tetapi, sampai kapan pun, Ares tidak pernah siap jika hari itu tiba.

***

Pagi harinya, Sena terbangun sendirian di kamar.

Sena menoleh, mencari presensi Devan dan Ares di ruangannya. Semalam, Devan tidur di sampingnya dan Ares tidur di kursi dengan posisi duduk. Tahu-tahu saat Sena membuka mata di pagi hari, mereka sudah tidak ada. Sena menatap jarum panjang jam dinding rumah sakit yang terdiam di angka 2.

Ah, jamnya mati. Baterai jam dindingnya mungkin sudah habis. Sena beringsut, meraba nakas rumah sakit dan meraih ponselnya.

Pukul delapan pagi. Sena menghela napas, Devan dan Ares mungkin sudah berangkat sekolah. Aksa dan Leana juga sepertinya sudah berangkat bekerja.

"Selamat pagi."

Atensi Sena teralih pada dokter spesialis jantung dan seorang perawat perempuan yang membuka pintu ruangannya dan tersenyum manis. Sena mengulas senyum tipis, membalas sapaan dokter laki-laki yang menanganinya.

"Pagi ini pulang, ya?"

Sena berdeham mengiyakan, membiarkan dokter memeriksa luka jahitan dan memeriksa perban yang menutup sebagian perut Sena. Setelah operasi, bagian perut Sena dilubangi dan dimasukkan selang untuk mengeluarkan darah paska operasi.

"Jangan kena air dulu, ya. Mandinya pakai sabun bayi saja dulu. Harus check-up setiap seminggu sekali di rumah sakit. Jangan melakukan aktivitas berat mentang-mentang kamu sudah lulus fisioterapi jalan keliling rumah sakit. Harus benar-benar menjaga stamina dan pola makan karena operasi ketigamu ini banyak komplikasinya. Kalau ada keluhan, langsung ke IGD."

Sena mengangguk saat dokter mulai melepas kabel-kabel elektroda yang menempel di dadanya. Perawat perempuan yang datang bersama dokter tadi pun melepas infus Sena.

"Aduh, Dok!"

"Sudah terlepas," ujar dokter seraya menempelkan plester putih pada punggung tangan Sena. Bibir Sena maju, ia menggerutu pelan.

"Ayah di mana?"

Sena menghela napas kemudian menggeleng pelan, "tidak tahu. Kerja, mungkin?"

"Tunggu Ayah datang setelah mengurus administrasi, ya. Baru boleh pulang."

Sena mengangguk malas kemudian menatap dokter dan perawat yang berjalan ke luar. Sena menatap sekeliling kamar rawat inapnya. Sepi.

Ia meraih ponsel. Sena menghubungi Aksa, namun Aksa tidak kunjung mengangkat panggilannya. Sena baru menyerah ketika sudah ketiga kalinya ia menekan ikon panggil pada sosial media Aksa. Tidak ada satu pun panggilan Sena yang Aksa terima.

Sena akhirnya meletakkan ponsel, menurunkan kakinya dan berdiri perlahan. Tidak usah menunggu Aksa, pikir Sena. Rasanya percuma kalau Aksa sedang sibuk bekerja. Biasanya juga Sena pulang diantar Leana atau pulang sendiri dengan naik ojek online. Aksa hanya bisa mengantar Sena pulang ke rumah di hari sabtu dan minggu saja.

Detak. ✔Where stories live. Discover now