BAB 94

6.7K 1.4K 196
                                    

"Raden Mas," Gia Agnibrata melihat Bhiantama Agnibrata tengah memandangi pohon rindang di depannya dengan sedih.

Bhiantama menunduk kepada neneknya ketika ia membalikkan tubuhnya. Ia melihat beberapa pelayan senior sang ratu mengambil beberapa langkah mundur untuk memberikan mereka privasi. "Raden Mas, apa yang Raden Mas lakukan disini?"

"Ini adalah pohon favorit dalem dan Ibu."

"Ah," Gia mengangguk. "Sequoia adalah pohon yang sangat tinggi dan kuat tapi juga bisa terlihat lembut dan cantik, seperti ibumu."

Bhiantama mengangguk. "Pohon ini selalu mengingatkan dalem kepada Mama. Dalem selalu akan berlomba-lomba dengan Leopold untuk membuat gambar di kertas dan menaruhnya di bawah pohon. Mama akan menemukannya di dalam pohon dan dalem selalu senang ketika Mama berpura-pura kesulitan menarik kertas-kertas gambarku."

"And you gave her this?" tanya Gia mengeluarkan amplop berisi jawaban teka-teki Turandot yang dituliskan Bhiantama kemarin. "She's never going to see this, Raden Mas."

Bhiantama menarik napasnya, untuk kali pertama Gia dapat melihat cucunya menunjukkan emosinya yang kecewa. "Raden Mas, pulanglah, Eyang tidak berbohong kepadamu sama sekali. Ibumu tidak ada di Ttagiantabiantara. Berpura-pura menjad Raden Mas Leopold tidak akan memberikanmu jawaban yang kamu inginkan. Because she's not here regardless your efforts."

Sang pangeran menaruh kedua lengannya di balik punggungnya, "Kenapa dalem bersikeras mengatakan diri dalem adalah Leopold adalah karena ia adalah satu-satunya yang masih menghubungkan Ttagiantabiantara dan Romanov. Ia adalah penerus dua kerajaan sementara dalem bukanlah siapa-siapa. And I always thought that she cared about Leo more than me. Aku hanyalah pangeran yang tidak bisa apa-apa sementara Leopold memiliki dua kerajaan diantaranya. It was a matter of who I am to find her. Bhiantama Agnibrata can't do everything, but Leopold Agnibrata can."

"Raden Mas—"

"But you're right Eyang, dalem tidak bisa melakukan apapun kalau Mama tidak disini."

"Raden Mas, dengarkan Eyang sekali ini saja—Ibumu sangat mencintaimu, Raden Mas. Bukan hanya Raden Mas Leopold yang ibumu sayangi, tapi dirimu juga. Ia melahirkanmu juga dua puluh tahun yang lalu, Raden Mas, half of her life is yours and every part of her is also yours."

Bhiantama mengangguk, "Ya, dalem tidak akan mengerti karena Mama tidak pernah mengatakannya sendiri."

"Raden Mas, ini suratmu, Eyang kembalikan lagi karena ini milikmu dan ibumu."

"No, it's hers and Papa. Isi surat itu adalah untuknya kembali kepada Papa."

"Raden Mas—"

"Leopold mempunyai tempat di hati Mama dan Papa memiliki tempat di hati Mama yang paling besar. Keduanya menempati posisi yang sangat penting. Dalem ingin menemukan Mama untuk mempersatukannya kembali dengan Papa dan Leopold. Dalem tidak perlu tahu apa arti diri dalem untuk Mama, Eyang tidak perlu menjelaskannya."

Bhiantama lalu menambahkan, "Even she has a place for Kian here, ya kan, Eyang?"

___

Kian baru saja akan mengambil buku terakhir yang berada di dalam nakas ranjangnya ketika pintu terbuka, mau tidak mau ia bersembunyi di bawah ranjang dan memegang erat buku Lemony Snicket yang belum ia selesaikan. Sial, pikirnya.

"Kamu bisa berhenti bersembunyi di dalam ranjangku," kata suara itu.

Sial, ulangnya kepada dirinya sendiri. Kian mau tidak mau keluar dari bawah ranjang hanya untuk menemukan Bhiantama Agnibrata telah berdiri dihadapannya. "Badanmu besar, aku bisa melihatmu dari luar istana ini walaupun kamu bersembunyi di dalam ranjang."

"Oh, maafkan saya—dalem—Yang Mulia."

"Kamu bisa berhenti berbohong sekarang Kian," kata Bhiantama. Pria yang tadinya berdiri dihadapannya sudah berjalan membelakanginya sekarang. "Kian—namamu, bukan? Apa itu nama asli yang diberikan ibuku kepadamu? Ibumu—Sri Dira?"

"Ya, Yang Mulia, nama dalem Kian."

"Kian Agnibrata?" tanya pria itu yang berjalan ke arah meja di kamar luas tersebut. "Aku menemukan ini," pria itu lalu memberikan Kian kembali buku Lemony Snicket miliknya yang lain. Kian mengerutkan dahinya dan memastikan buku yang ia ambil dari nakas adalah bukunya juga. "Aku menemukan buku ini di dalam nakasku."

"..."

"..."

"Oh...."

"Apa kamu ingin memberitahu siapa dirimu atau aku sendiri yang harus menebak?"

Tidak ada jawaban. Bhiantama menatap gadis itu yang beberapa tahun lebih muda daripadanya dan berkata, "To Kiandra, from Mama, Venice."

"..."

"..."

"Kamu adalah adikku, kan?" tanya Bhiantama kepada gadis itu. "Gadis pelayan yang membohongiku dari awal. Pertanyaanku satu, kenapa? Kenapa membohongiku ketika kamu tahu siapa diriku dan kenapa aku berada di Ttagiantabiantara? Apa kamu juga menggunakan kamar ini selama tidak ada aku?"

"Ya, aku menggunakan kamar ini," jawab Kian dengan jujur. "Untuk membaca karena biasanya tidak ada yang menggangguku disini dan jarang yang menemukanku."

"Jadi sekarang pertanyaannya—kenapa? Kemarin aku memberikanmu surat yang harusnya kamu taru di dalam lubang di tengah pohon sequoia milikku dan Mama, tapi Eyang menemukannya pagi ini. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku?"

Kiantalya Vera Agnibrata menatap mata sang pangeran mahkota yang bertanya-tanya, "Baiklah, kamu tahu siapa diriku, kamu menemukan bukuku, dan kamu tahu surat yang kuberikan kembali kepada Eyang. Ini faktanya—Mama tidak ingin bertemu denganmu ataupun Bhiantama saudara kembarmu, Yang Mulia."

"Mama.... She's alive?"

"Ya," kata Kian.

"Kenapa? Aku hanya ingin tahu kenapa."

"She doesn't want you anymore, her old life, everything about Papa, she just doesn't want that anymore."

"Apa Mama bahagia?"

Kian mengangguk, "Ya. She's happier, Yang Mulia."

"She gave you a Lemony Snicket book."

"Ya, setiap tahun sebagai hadiah ulang tahunku."

"She remembers your birthday."

"Ya," Kian mengangguk. "She's my mother."

"Not mine anymore."

Let's Call the Whole Thing Off | Kanaka No. 3Where stories live. Discover now