Permintaan Lian

949 101 5
                                    

Luka ini, hanya aku yang mengerti sakitnya
Kamu mana ngerti, yang kamu tahu hanya melukai...


°°°°°°°°°°


Ketika bangun, kulihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, yang artinya aku kesiangan. Ya ampun, apa kabar dengan anak-anakku alias bungaku? Mereka pasti layu kena panas matahari. Kucuci wajahku dengan cepat dan menggosok gigiku menggunakan sikat gigi yang tersedia. Setelah selesai, aku baru menyadari, bisa jadi sikat gigi yang kupakai ialah milik Sandi. Tapi kepalang tanggung, aku sudah terlanjur memakainya. Usai mengeringkan wajah dan tanganku, aku melangkah keluar kamar.

Penghuni rumah ini sepertinya sudah bangun semua, karena aku mendengar percakapan dari arah meja makan yang letaknya selisih satu kamar denganku. Aku mendekat dengan ragu, merasa malu karena sebagai tamu, aku justru bangun siang. Bahkan, sofa di ruang tengah pun telah kosong, yang menandakan bahwa Sandi juga sudah bangun.

"Sebagai orang yang udah merenggut kesuciannya Lily, kamu harusnya tanggung jawab Dio. Bukannya lari kayak gitu!"

Sebuah suara agak berat dari seorang perempuan terdengar, menyebabkan langkahku terhenti.

"Bude, Lian nggak akan mau nikah sama aku. Dia udah punya calon sendiri." Sangkalan dari Sandi mengingatkanku pada sosok Ed.

"Tapi, kan, lo sendiri yang bilang kalau Ed udah nyakitin Lily, dan Lily nggak mungkin nikah sama Ed. Itu artinya saat ini Lily single. Lo bisa mulai deketin dia." Kali ini suara Icha.

"Nggak semudah itu, Cha."

"Usaha dong, jangan diem aja kayak gitu. Lo 'kan cowok, harusnya gentle dong, bukannya lembek kayak gini. Kalau cinta, ya, di perjuangkan!"

"Bude setuju sama Icha. Kamu coba dekati dulu si Lily-nya. Dari dulu tiap dikenalin sama cewek nggak pernah mau. Bilangnya mau nunggu Lian ketemu, giliran udah ketemu malah kamunya yang mau kabur."

"Lian nggak akan mau terima aku Bude. Karena aku udah nyakitin dia bertahun-tahun lalu. Dia pasti benci sama aku."

"Terus, lo mau apa? Balik ke Jakarta dan jadi bujang lapuk seumur hidup karena perempuan yang lo cintai ada di sini?"

"Kalau itu bisa bikin Lian lega, gue nggak masalah. Gue akan pergi dari sini dan nggak akan balik lagi."

Ibunya Icha kini terdengar menangis keras. "Kamu tega ninggalin Budemu ini? Bertahun-tahun nggak nengokin Bude, sekalinya nengok, kamu bilang mau pergi dan nggak mau ke sini lagi. Huhhuh...."

"Bude, aku nggak bermaksud gitu."

"Lalu apa? Kamu nggak tahu gimana sakitnya hati Bude tiap lihat kamu hidup di jalanan kayak gitu. Bude sampai nggak enak makan, karena tiap Bude mau makan, Bude kepikiran sama kamu yang cuma makan nasi tanpa lauk apapun. Bude nggak bisa tidur nyenyak, inget kamu yang tidur di trotoar tanpa selimut. Bude nggak mau kamu pergi lagi, Dio. Bude mohon, kamu tetap di sini sama Bude."

Air mataku ikut menetes mendengar ratapan pilu dari ibunya Icha.

"Dio, gue nggak tega biarin lo balik ke Jakarta dan kembali ke hidup lo di jalanan kayak gitu," Icha turut terisak.

"Bude, Icha, makasih udah peduli sama aku. Aku emang hidup di jalanan, makan nasi doang, tapi aku seneng. Aku nggak ngerasa susah sama sekali. Lagian, sekarang ini 'kan aku udah nggak tidur di jalanan lagi. Aku udah ngekost, udah punya usaha juga. Kalian nggak perlu khawatirin aku kayak gini."

"Kost kamu bahkan cuma cukup buat naruh badan doang, Dio. Bude nggak bisa biarin anak Bude menderita kayak gitu. Harusnya kamu terima kiriman dari Bude, cari tempat tinggal yang lebih bagus."

Maaf Untuk LukaWhere stories live. Discover now