Saling

676 76 4
                                    

Saling menyanyangi, saling menyakiti hingga saling menjauhi
Tapi, rupanya kita tidak saling memperbaiki
Hanya aku, tanpa kamu...

°°°°°°°°°°

Waktu sudah lewat tengah malam, dan mataku masih terbuka. Tidak seperti biasanya jika aku belum tidur disebabkan olehku yang menangis mengadu rindu pada foto Papa dan Mama, kali ini alasanku belum tidur karena pikiranku penuh oleh manusia bernama Ed.

Setelah ucapan Ed yang membuatku canggung tadi, kami melanjutkan obrolan hingga sejam kemudian. Ed pamit pulang setelah menguap untuk kelima kalinya. Menurut pengakuannya, dia belum sempat istirahat sepulangnya dari Semarang. Aku merasa tidak enak tentunya, tetapi entah mengapa aku juga merasa senang, karena Ed begitu peduli padaku hingga mengesampingkan kepentingannya sendiri.

Seolah ingin menambah beban pikiranku, sebelum pulang tadi Ed memintaku tetap berhati-hati, dan segera menghubunginya bila butuh bantuan. Namun, bukan hanya kepedulian Ed saja yang memenuhi otakku. Sebab, setelah mengatakan itu, Ed lantas mengelus kepala dan juga pipiku dengan sangat lembut sebelum akhirnya keluar rumah. Dia melajukan motornya seraya melambai dengan senyum manis yang tersungging. Meninggalkan diriku yang membeku atas perbuatannya. Tentunya tak lama kemudian lututku melemas, aku meleleh.

Sentuhan Ed di kepala maupun pipiku masih terasa sangat nyata. Sentuhan Ed mengingatkanku akan belaian orangtuaku dulu, tapi dengan rasa nyaman yang berbeda. Aku tidak bisa memungkiri, bahwa aku merasa sangat senang dengan perlakuan dan ucapan Ed tadi.

Jadi, apakah ini yang dinamakan kasmaran? Benarkah saat ini aku sedang dalam masa puber yang belum sempat aku alami sebelumnya? Puber di usia dua puluh lima, bukankah sedikit memalukan?

Pikiranku terus melayang di antara berbagai pemikiran tentang perasaanku dan juga tentang Ed, hingga tanpa sadar aku terlelap menjelang dini hari dan berujung bangun kesiangan.

Dengan tergesa aku menggosok gigi dan mencuci muka sekenanya, aku mencepol rambutku asal dengan sikat gigi lalu berlari menuju toko. Kubuka pintu toko dengan tidak sabar, dan mataku menangkap pemandangan puluhan ikat bunga dalam kertas yang teronggok di lantai teras. Para supplier sedari subuh tadi sudah mengirimiku pesan bahwa mereka telah di depan toko, namun karena aku tidak lekas membukakan pintu, dan juga karena aku tidak menjawab panggilan dari mereka, maka mereka memutuskan menaruh bunga di lantai teras.

"Astaga, gara-gara Ed, bungaku jadi kena matahari gini!" rutukku saat memunguti berbagai buket bunga dari lantai.

Aku terus menggerutu menyalahkan keteledoranku yang hampir membuat beberapa bunga menjadi layu karena terpapar sinar matahari. Untung saja aku terbangun tepat saat matahari terbit, sehingga sinarnya belum membuat bungaku menjadi layu. Aku memutuskan menata bunga dulu sebelum mandi. Pekerjaan ini memakan waktu lebih dari satu jam, karena aku harus mengeluarkan sisa bunga kemarin, lalu membersihkan vas dan mengisinya dengan air bersih. Sementara ada lebih dari 20 vas di tokoku. Setelah urusan bunga selesai, aku masih harus membersihkan lantai, mengelap kaca dan perabotan lainnya. Saat aku sedang membuang sampah sisa bunga yang telah rusak di tempat sampah depan toko, Ed datang dengan motornya. Dia sedikit tertegun melihat penampilanku.

"Kamu kelihatan ... beda," Ed berkomentar setelah memperhatikan penampilanku.

Aku maklum, karena aku memang jarang sekali keluar rumah dalam keadaan acak-acakan begini. Meski hanya menggunakan baju tidur, tetapi aku selalu merapikan rambut dan wajahku sebelum keluar rumah, hal yang selalu diajarkan oleh Mama sedari kecil. Maka, aku tidak heran, bila ada orang yang kaget dengan penampilanku saat ini, piyama kusut, rambut dicepol menggunakan sikat gigi yang mana sebagiannya telah terurai. Apalagi mukaku juga pasti masih muka bantal, meski untuk sehari-harinya aku bukan pemakai make-up tebal, make-up harianku sekadar baby cream, lip balm dan bedak bayi.

Maaf Untuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang