Cemburu

863 87 8
                                    


Layaknya bunga yang baru mekar
Kau mengaku terpesona lalu memetikku, hanya untuk membuatku lebih cepat layu...



°°°°°°°°°°


Ed muncul selang satu detik setelah kepergian Icha. Dia melihatku dengan pandangan bertanya. Aku tidak bisa memberi jawaban, karena aku juga tidak tahu apa maksudnya.

"Dio siapa?" Ed menegaskan saat kami sudah duduk di sofa.

Hmm, jadi Ed mendengar omongan Icha?

"Dio itu sepupu Icha dari Jakarta, katanya minggu depan mau kesini," aku menjawab.

"Dan dia mau ngenalin ke kamu? Maksudnya apa?"

"Ya, nggak ada maksud apa-apa. Mungkin karena menurut Icha, Dio itu orang yang baik, makanya dia mau kenalin ke aku. Aku udah pernah bilang 'kan, Icha tuh suka kenalin aku sama orang-orang yang menurutnya baik," aku menjelaskan.

"Tapi, kan, selama ini yang di kenalin ke kamu kalau nggak ibu-ibu, ya, perempuan juga. Lah, ini kenapa jadi laki-laki?" Ed malah sewot.

"Emang kenapa? Nggak boleh?"

"Bukannya nggak boleh."

"Berarti boleh, kan? Ya udah, kenapa kamu malah sewot gini?"

Ed menyugar rambutnya dengan erangan tertahan. "Pokoknya nanti kalau kamu diajak ketemuan sama Icha, aku ikut!"

Keningku berkerut secara otomatis, Ed kenapa jadi aneh begini? "Iya, nanti aku ajak kamu. Padahal, belum tentu juga Dio mau dikenalin sama aku."

"Iya, nggak usah mau aja!" sambar Ed berapi-api.

"Kamu kenapa, sih?" Aku semakin heran dengan sikap Ed.

Ed menaikkan bahunya. "Aku nggak kenapa-napa."

Mataku masih tertuju pada Ed, meneliti Ed dengan seksama. Entah apa yang membuat Ed jadi aneh begini.

"Kenapa lihatin aku begitu?" Ed malah kikuk oleh tatapanku.

"Habisnya kamu aneh, tiba-tiba aja jadi sewot gitu," jawabku.

Mata Ed terpejam, dia melambaikan tangannya menyuruhku mendekat. Berhubung aku tidak bergeser sedikitpun, Ed mengalah jadi dia yang mendekat. "Aku tuh bukannya aneh, aku tuh cemburu," bisik Ed di telingaku.

"Hah! Cemburu?" seruku spontan.

"Nggak usah keras-keras juga ngomongnya!"

"Cemburu sama siapa? Aneh, ih, kamu!" balasku dengan intonasi normal.

"Sama Dio-Dio itu," Ed bersungut-sungut.

Aku mulai paham maksud dari sikap Ed. Oh, jadi begini ya, kalau orang sedang cemburu? Jadi kayak bocah.

"Cemburu kenapa coba, orang ketemu sama dia aja belum pernah. Cuma rencana Icha doang mau kenalin ke aku, belum tentu juga terwujud," aku tidak habis pikir.

Perdebatan kami terinterupsi oleh seseorang yang masuk toko. Aku langsung berdiri menyambutnya.

"Silahkan, eh ... Mas Rudi lagi," rupanya Rudi datang lagi. Kali ini sendirian.

"Iya, Mbak, tadi ada yang kurang," Jawab Rudi santai.

"Loh kurang di mananya? Bawa ke sini aja, biar saya perbaiki," aku selalu takut pelangganku merasa kurang puas dengan hasil karyaku. Maka dari itu, aku selalu bilang untuk membawa kembali buketnya ke toko bila ada sesuatu yang tidak memuaskan.

Maaf Untuk LukaWhere stories live. Discover now