Jangan Pergi

1K 108 4
                                    

Katanya, kita perlu terluka sesekali
Agar tahu makna bahagia
Tapi, luka, kenapa kamu harus datang sepanjang waktu?
Aku juga memerlukan waktu untuk memaknai bahagiaku...


°°°°°°°°°°


Pukul dua pagi, aku terbangun dalam keadaan tubuh basah oleh keringat. Rupanya ingatan itu tak hanya hadir ketika aku sadar, tapi juga dalam mimpiku. Bayangan saat Ed yang mabuk menyerangku masih begitu segar di kepalaku, aku bahkan masih bisa merasakan bibir Ed yang basah di punggungku. Sejurus kemudian rasa panik dan takut itu kembali menyerang, terlebih saat ini aku sendirian karena Sandi berada di luar kamarku. Cepat-cepat aku keluar kamar mencari sosok Sandi, yang kemudain kutemukan dalam keadaan tidur di sofa. Aku meringkuk seraya memegangi kaki Sandi dengan tanganku yang gemetaran, masa bodoh bila tindakanku ini bisa membuat tidur Sandi terganggu.

Benar saja, Sandi menggeliat kaget. "Kenapa, Li?"

"Aku mau di sini aja sama kamu, aku takut sendirian," kataku jujur.

Sandi segera bangun lalu mengambil tisu yang ada di meja kaca, mengulurkan tangannya untuk menyeka dahiku yang basah oleh keringat. Tepat setelah Sandi membuang tisu di tempat sampah mini samping sofa, ponselnya yang berada di meja berdering. Sandi melirik ponselnya yang menyala.

"Dari Icha," kata Sandi setelah melihat layar ponselnya.

"Jawab di sini aja," saranku.

Sandi mengambil posisi duduk di sudut kanan sofa. Aku menggeser posisiku menjadi di sebelah Sandi, mataku kembali berat walau rasa takut itu masih tersisa. Setengah sadar aku mendengar Icha menanyakan posisi Sandi saat ini yang dijawab oleh Sandi kalau dirinya hanya sedang keluar nyari angin.

"Pulang sekarang, Dio! Gue tahu, ya, lo pergi dari tadi. Nggak mau tahu, lo pulang sekarang!" Icha menghardik.

Mataku sontak membola. Panik karena Sandi akan pergi.

"Cha, Sandi biar di sini dulu. Buat temenin aku!" seruku tanpa sadar. Sandi menoleh ke arahku dan melototiku, membuatku sadar dengan apa yang telah kulakukan.

"Lily? Itu suara kamu kan, Ly?" Icha menyahut dengan nada heran. "Dio, lo ngapain di rumah Lily jam segini, lo nggak ngapa-ngapain Lily, kan?"

Sandi menghembuskan napas kasar. "Gue jelasin nanti di rumah, bentar lagi gue pulang." Sandi menutup telfon sepihak.

"Aku ikut kamu pulang," kataku sebelum berlari menuju kamar untuk mengambil baju hangat dan dompet serta ponselku.

Kepalang tanggung, kurasa aku akan lebih aman jika berada di rumah Icha daripada di sini sendirian. Icha pasti tak akan keberatan aku menumpang hingga pagi. Setelah menyelesaikan urusanku, aku tergesa keluar kamar dan mendapati ruang tengah rumah ini kosong tanpa adanya Sandi.

"Sandiii!?" teriakku panik.

"SANDII!!!"

"Aku di depan, Li!" sebuah jawaban dari arah depan membuatku lari menyusul.

"Kamu nggak nungguin aku!" protesku.

"Maaf, aku cuma nyalain motor sambil nunggu kamu," Sandi menjawab dengan sabar.

Maaf Untuk LukaOnde histórias criam vida. Descubra agora