Pertolongan Tak Terduga

1K 106 10
                                    


Kupercayakan luka padamu untuk disembuhkan
Tapi yang kudapat justru luka yang semakin dalam...

°°°°°°°°°°

Tubuh Ed terlepas dari tubuhku yang polos sebagian. Tak sanggup untuk menoleh, aku hanya mendengar suara khas orang dihajar disertai beberapa umpatan.

"Tolong!" pintaku pada penyelamatku.

Saat ini tubuh bagian atasku polos tanpa sehelai benang pun. Aku perlu mengambil sesuatu untuk menutupinya, tapi tentu saja aku tidak bisa serta merta bangun begitu saja. Bagaimana pun, ada orang yang berpotensi akan melihatnya.

"Lian!" itu suara Sandi!

Tak lama, kurasakan sesuatu yang halus dan hangat menyelimuti tubuhku.

"Kamu nggak pa-pa?" Sandi membalik tubuhku sambil terus berusaha agar selimut di tubuhku tak tersingkap.

"Sandi," panggilku lemah. Air mataku kembali mengucur oleh perasaan lega dan trauma sekaligus.

"Astaga, Lian! Bibir kamu berdarah, bahu kamu juga. Ayo, kita ke rumah sakit!" cecar Sandi dengan nada panik.

"Nggak perlu. Tolong, bawa dia pergi dari sini," pintaku lagi sembari menunjuk Ed yang pingsan di lantai kamarku.

"Aku ambilin baju buat kamu dulu," Sandi meminta ijin membuka lemariku. Setelah menyerahkan kaos dan bra, Sandi melesat keluar kamar. Dia kembali sambil membawa segelas air putih di tangannya. Dengan telaten, Sandi membantuku untuk minum.

"Aku bawa dia keluar. Kamu pakai bajunya," kata Sandi setelah meletakkan gelas di nakas.

Sandi menyeret tubuh Ed keluar dari kamarku. Aku mencoba untuk berdiri, tapi lututku terasa lemas hingga tubuhku terjatuh lagi. Aku tak punya tenaga untuk melangkah ke kamar mandi yang terletak di dekat dapur, sehingga aku memakai baju yang diberikan Sandi di dalam kamar. Selesai memakai baju, mataku otomatis menatap nanar pada piyama yang telah dirusak oleh Ed tadi. Sungguh, aku sama sekali tak mengira Ed akan sejahat ini padaku. Dia tahu sendiri pasal lukaku, tapi dia justru dengan tega menambahkan goresan itu menjadi semakin dalam.

"Ma, aku ingin ikut Mama sama Papa aja. Aku nggak sanggup di sini lagi, Ma! Tolong aku."

Tubuhku meringkuk. Menangisi nasib malangku. Merasakan denyutan perih di bibir dan bahu sekaligus hatiku, sendirian. Melawan kilasan-kilasan menyakitkan di masa lalu yang menyerang bertubi-tubi.

"Aaaaargggh...."

Aku nggak kuat.

Aku nggak sanggup melalui semua ini.

Perasaan ingin mati benar-benar memenuhi kepalaku. Nekad, aku membenturkan kepalaku pada dinding di samping ranjang. Pening yang teramat sangat menghampiriku. Kuulangi lagi hingga saat akan melakukannya untuk ketiga kalinya, aku merasa tubuhku ditarik paksa dan didekap seseorang.

"Lian, jangan begini!"

Aku berontak dalam pelukan Sandi. "Biarin, San! Aku mau mati aja, aku nggak sanggup hidup lagi. Aku mau mati aja! Biarin aku mati!"

"Lian, tolong, kamu nggak boleh kayak gini!"

"Aku nggak punya siapa-siapa lagi di sini. Nggak akan ada yang keberatan kalau aku mati!" Aku terus berontak, tak peduli semakin lama tenagaku semakin berkurang dan pandanganku semakin menggelap.

"Kamu salah, Lian. Kamu masih punya Mbak Nur, Icha dan aku, yang peduli dan sayang sama kamu. Tolong, jangan begini, Lian," Sandi terisak.

Air matanya yang menetes jatuh di pipiku adalah hal terakhir yang kurasakan sebelum semuanya menjadi gelap gulita.

Maaf Untuk LukaWhere stories live. Discover now