Paket Dari Sandi

989 105 8
                                    


Kamu menarikku untuk terbang tinggi
Tapi kamu lupa menyiapkan matras di bawahnya...


°°°°°°°°°°


Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, kondisiku sudah stabil. Begitu pula dengan psikisku. Adalah Mbak Nur dan Ed yang bergantian mendampingiku, mereka hanya meninggalkanku saat butuh ke toilet. Seolah mereka begitu takut membiarkanku sendirian.

Kuakui, berkat mereka, aku pun menjadi lebih tenang. Pikiranku tidak melulu memikirkan hal buruk yang kualami. Mereka selalu punya cara untuk mengalihkan perhatianku begitu aku mulai teringat akan hal pahit yang terjadi.

"Kamu bisa jalan sendiri atau perlu pakai kursi roda?" tanya Ed. Tadi pagi dokter mengatakan bahwa aku sudah boleh pulang. Maka selanjutnya Mbak Nur dan Ed sibuk mengurus administrasi dan membereskan seluruh barang-barangku. Urusan administrasi rumah sakit, mereka tidak mengijinkanku untuk ikut campur. Apakah Mbak Nur, atau Ed yang menanggung, aku tidak diberi tahu.

"Aku jalan sendiri aja," balasku. Lecet di kakiku memang masih menyisakan nyeri, tapi bukan berarti aku tak bisa jalan.

"Atau perlu aku gendong?" Ed kembali bersuara sambil menaikkan alisnya.

"Jangan kumat, deh!" sergahku jengah. Bisa-bisanya di saat seperti ini dia menggombal. Di depan Mbak Nur dan perawat pula. Bikin malu saja!

Setelah ditertawakan dan diledek oleh Mbak Nur dan perawat, kami pun beriringan menuju parkiran. Dengan mobil Ed, kami menyusuri jalanan menuju rumah kontrakanku. Suasana rumah terasa berbeda dengan kosongnya vas-vas besar yang biasanya penuh dengan bunga. Kemarin Mbak Nur menyempatkan diri untuk membersihkan rumah sekaligus tokoku. Tentunya dibantu oleh ART-nya.

"Kamu istirahat dulu, jangan kebelet buka toko," titah Ed yang tengah menuangkan air putih ke gelas.

"Iyaa...," sahutku malas berdebat.

Padahal menurutku aktifitas di toko tidaklah berat. Pun saat ada orderan dekorasi. Karena tugasku hanya berdiri mengawasi, semuanya sudah ada yang menangani. Tapi tetap saja Ed tidak mengijinkanku membuka toko hingga tiga hari ke depan. Dan putusan Ed diperkuat dengan dukungan dari Mbak Nur.

"Aku tinggal pulang sebentar nggak apa-apa?" Ed kembali memastikan, walau sudah berulang kali aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja meski ditinggal sendirian.

"Iya, Ed. Kamu pulang sana, kamu juga, kan, punya banyakburusan."

"Tapi...," Ed masih terlihat ragu.

"Aku janji akan baik-baik aja. Aku yakin aku bisa mengatasi diriku sendiri," aku meyakinkan Ed.

"Aku percaya," Ed tersenyum sambil tangannya mengelus pipiku.

Setelah mengecup keningku cukup lama. Ed pun beranjak pergi setelah mewanti-wanti agar aku tidak memikirkan hal-hal buruk dan segera menghubunginya saat ada apa-apa.

Aku meng-iyakan perintah Ed. Walau tak sepenuhnya. Karena begitu suara pintu depan yang ditutup terdengar, pikiranku langsung melayang pada Sandi. Jujur saja, aku masih terlalu terkejut. Bagaimana Sandi bisa menemukanku di kota ini? Dan bagaimana mungkin kalau Sandi adalah Dio yang Icha ceritakan.

Mengingat ucapan Sandi yang mengatakan bahwa ada seorang teman yang melihatku di sini, membuat pikiranku melayang pada beberapa hari lalu. Sewaktu seseorang memanggilku dengan nama masa laluku dari seberang restoran seafood yang kudatangi bersama Ed. Mungkinkah orang itu adalah temanku yang kemudian melaporkannya pada Sandi?

Maaf Untuk LukaWhere stories live. Discover now