Calla Lily

838 89 4
                                    

Aku percaya, cinta bisa membuatku bahagia
Yang aku menolak percaya, bahwa cinta juga mendatangkan luka
Meski aku mengalaminya berulang kali...

°°°°°°°°°°

Sambil menahan dongkol setengah mati, aku mengikuti langkah kaki Ed yang melewati setapak yang sepertinya menuju puncak bukit.

"Bentar, Ed, aku capek!" aku menarik jaket yang dikenakan Ed, memintanya berhenti. Jalur yang kami lalui memang menanjak, wajar bukan kalau aku kelelahan?

"Ini baru setengah jalan padahal,", ledek Ed yang tidak kugubris.

"Emang di atas sana ada apaan, sih?" awas saja, kalau sudah susah payah mendaki, ujungnya di puncak sana tidak ada yang istimewa. Bila benar begitu, aku rasa aku tidak akan ragu untuk mendorong Ed ke tebing.

"Pokoknya kamu nggak akan nyesel deh," jawab Ed yakin. Tapi aku tak yakin.

Selang lima menit, kami meneruskan perjalanan. Napasku tinggal setengah, dan kami masih belum sampai. "Pokoknya aku nggak mau diajak mendaki gunung!" Sungutku. "Begini aja udah ngos-ngosan, apa kabar kalau mendaki gunung?"

"Mendaki gunung emang capek, tapi capek kamu akan hilang begitu kamu udah sampai di puncak," Ed mencoba menyemangati.

"Tetep aja aku nggak pengen," aku kekeh menolak.

"Pokoknya minggu depan aku jemput kamu buat ke Sikunir!" paksa Ed.

"Enak aja! Nggak ada, ya, kamu bisa paksa-paksa aku!" tukasku marah.

"Kamu juga perlu lihat bumi yang indah ini, Calla. Nggak cuma ngurung diri di toko melulu," Ed menjelaskan maksudnya.

"Oke ... aku ngerti maksud kamu, tapi emangnya harus gunung banget apa? Tempat yang lain 'kan ada?" aku tak habis pikir.

Ed berhenti berjalan, menungguku yang hanya terpaut dua langkah. Saat aku telah berada di sampingnya, tangan kanannya merangkul bahuku. "Tinggal bilang aja kalau kamu minta diajak ketempat lain, nggak usah ngode-ngode gitu."

Lelah. Aku lelah dengan segala kepedean Ed.

"Sesukamu ajalah!"

"Oke, minggu depan kita ganti acara, ke Curug Winong aja, gimana? Atau mau ke Lobang Sewu? Eh tapi kamu 'kan ada thalasso, nanti malah pingsan lihat air waduk. Kalau nggak kita piknik ke kebun teh Tambi aja. Mau?" Ed tidak pernah peka dengan keenggananku. Atau dia pura-pura tak peka?

"Bodo amat, Ed! Aku nggak mau ke mana-mana, mau bertelur aja di kamar!" seruku kesal seraya berlari meninggalkan Ed.

Saat sampai di spot utama, kekesalanku pada Ed menguap sirna. Betapa pemandangan dari atas ini sungguh luar biasa, dengan dua telaga berdampingan sebagai maskotnya di bawah sana. Mataku menyalang takjub dengan suguhan alam ini, rasanya tak sia-sia perjuanganku bertaruh napas saat menuju ke sini tadi.

"Itu yang namanya Telaga Warna," seperti biasa, Ed akan menjadi informan bagiku. Dia menunjuk ke arah telaga yang airnya berwarna hijau kebiruan. Lalu tangannya beralih ke telaga yang lebih kecil dengan warna air abu pekat. "Kalau yang itu Telaga Pengilon.

"Nah, yang tengah-tengah itu yang kayak hutan kecil, di sana banyak goa-goa," kini tangan Ed mengarah pada gundukan berwarna hijau di antara kedua telaga tadi.

"Kamu duduk di sana, biar aku foto," Ed menyuruhku duduk di sebuah batu besar. Dua telaga tadi menjadi latar belakang spot foto di atas batu tersebut, tak heran bila banyak yang mengambil gambar di sana.

Maaf Untuk LukaWhere stories live. Discover now