Vano memasang foto itu sebagai lockscreen, sedangkan wallpaper-nya dari semasa SMA sampai sekarang tetap logo Black Eagle.

“Gimana? Ibu percaya sekarang?” Vano menampilkan wajah songongnya.

“Iya. Maaf ya, Mas, saya gak tau kalau Masnya ini calon suaminya Dokter Keyla. Saya permisi dulu, mau pulang. Mas bisa langsung ke ruangan Dokter Keyla,” pamit wanita itu lalu pergi. Dia malu karena sudah meragukan Vano padahal seharusnya dia memang tidak usah percaya pada manusia kampret seperti Vano.

Vano menahan tawanya. Sudah dua orang yang terkena prank-nya.

Karena tidak ingin membuang-buang waktu lagi, Vano segera memasuki ruangan Keyla yang pintunya sedang dalam keadaan terbuka. Senyumnya mengembang melihat Keyla yang sedang sibuk membaca dokumen.

Vano melepas maskernya agar Keyla langsung bisa sadar jika itu dirinya. Wajah tampan dengan sedikit polkadot milik Vano sekarang terpampang jelas.

Vano berdehem pelan. Dehemannya itu berhasil mengalihkan pandangan Keyla dari kertas yang dia pegang.

Seperti sebelum-sebelumnya, mata Keyla melotot melihat kedatangan Vano yang tiba-tiba. Padahal ini malam rabu, bukan malam jum’at. Seharusnya Vano tidak gentayangan di luar jadwal.

“Lo! Ngapain lagi lo kesini?” Keyla menggebrak meja. Matanya melotot dengan jari telunjuk terangkat, menunjuk Vano yang menampilkan wajah cengengesannya.

“Ini tempat umum kan? Jadi bebas gue kesini.” Vano berjalan mendekat dengan santai lalu mendudukkan dirinya di kursi depan meja Keyla.

Keyla semakin kesal melihat kelancangan Vano yang langsung duduk sebelum dia persilahkan.

“Tapi, kliniknya mau tutup.” Keyla mencoba sabar, tapi dia tidak berharap pantatnya lebar. Dia mendudukkan dirinya kembali ke kursi. Meladeni Vano berhasil membuatnya capek.

“Gue mau konsultasi sama Bu Dokter yang cantik ini,” goda Vano disertai kerlingan genitnya.

Keyla bergidik geli mendengar gombalan Vano. Jangan mengira dia akan tersanjung dan terbang saat digoda seperti itu. Yang ada malah godaan Vano membuatnya mual.

“Gue kan nyuruh lo balik ke sini lagi kalau seminggu gak ada perubahan. Nah ini baru sehari, lo udah ke sini lagi.”

Keyla sungguh tidak habis pikir dengan Vano. Polkadotnya sudah membaik, masih saja repot-repot ke kliniknya. Padahal Keyla sudah memberikannya cream terbaik dan termahal berharap Vano tidak akan datang untuk konsultasi lagi, tapi ternyata dia salah. Vano yang masih satu sangkar dengan Fajar itu punya seribu satu cara untuk modus. Anak-anak elang dari dulu memang tidak ada yang benar.

“Muka gue masih sering perih, Key.” Vano tidak sepenuhnya berbohong. Wajahnya memang kadang masih terasa perih dan gatal. Apalagi di bagian hidung. Vano merasa kulit hidungnya mengelupas karena skincare yang dia endors itu. Sepertinya itu memang skincare abal-abal.

“Ya kan gue ngasihnya cream anti iritasi bukan ketok magic. Wajar lah kalau agak lama sembuhnya. Semua butuh proses.” Keyla
menghempaskan punggungnya ke kursi. Matanya memandang Vano jengah.

“Gue minta nomor lo deh, Key. Kali aja besok muka gue masih perih, gue bisa tanya-tanya ke lo apa yang harus gue lakuin biar gak perih lagi.”

Vano mulai melancarkan aksinya. Andai Fajar mau memberikan nomor Keyla padanya, pasti Vano tidak akan sampai membuat drama seperti ini. Sayangnya, Fajar memintanya berjuang sendiri. Katanya agar ada cerita yang bisa dia ceritakan pada anaknya kelak tentang perjuangan ayahnya dulu dalam menaklukkan hati ibunya.

“Enggak! Lo cukup pakai cream yang gue kasih. Gak usah pakai minta-minta nomor!” Keyla menatap Vano tajam. Jika dibiarkan bisa-bisa Vano semakin ngelunjak.

“Oh jadi kayak gini pelayanan klinik ini. Gue bisa aja ngaduh ke atasan lo kalau pelayanan yang lo kasih sangat buruk. Lo pasti juga tau kan kalau gue sekarang jadi youtuber terkenal. Gue bisa aja bilang ke subscribers gue tentang pelayanan klinik ini yang jauh dari kata memuaskan biar gak ada yang ke sini lagi,” ancam Vano dengan tersenyum miring membuat Keyla semakin ingin mencekiknya.

Keyla melotot kesal. “Setan!” umpatnya tanpa bisa dia tahan.

“Kenapa lo jadi manggil Ardian? Gue gak lagi sama dia sekarang.”

Keyla semakin kesal melihat respon Vano. Dengan kesabaran yang sudah sangat menipis, Keyla menyobek note book miliknya dan menyambar pulpen lalu menulis angka di kertas itu.

“Ini nomor gue. Lo bisa pergi sekarang!”

Vano menerimanya dengan tersenyum lebar. “Makasih, calon istri.”

“Terkutuk lo, Revano Ardianto!”

🌻🌻🌻

KEVANO [TERBIT]Where stories live. Discover now