15. Mengembalikan

1.6K 180 42
                                    

Hidup itu bukan matematika satu tambah satu hasilnya dua, no debat.

–Kinanti Pratiwi–

-----------------------------------------------------------

Tiga hari berselang usai kemunculan Gibran yang bagai jelangkung di malam Jumat, Arsen menghubungi Kinan. Kini setelah anaknya, giliran ayahnya. Meminta mereka bertemu di tempat yang sama seperti sepuluh tahun lalu. Jam dua siang keduanya bertemu di kafe yang berada tepat di seberang hotel The Overnight Stay.

Kafe yang menjadi tempat pertemuan mereka, rupanya sudah berganti nama. Kinan tidak begitu ingat, nama kafe yang sekarang berubah menjadi Kafe Singgah. Yang jelas desain interiornya sudah berubah jauh dari sepuluh tahun lalu. Kafe ini tampak ramai, beruntung mereka bisa mendapatkan satu meja kosong dekat jendela besar yang mengarah keluar.

Keduanya duduk berhadapan dengan segelas minuman yang sudah dipesan. Tidak ada tanda-tanda pembicaraan akan dimulai seperti tujuan Arsen sepenuhnya. Bahkan ketika minuman Kinan sudah hampir habis dan mulai bosan.

Mengetukan jemarinya di meja, Kinan memandang Arsen yang masih membisu. “Saya emang lagi nganggur Om, tapi saya gak sepengangguran itu sampai harus nungguin Om bicara.”

Arsen tersenyum sebelum melepaskan kacamata yang membingkainya. “Kaki kamu gimana?”

“Udah baikan kok Om.”

Meski Kinan menjawab seperti itu, ekspresinya justru berubah masam. Teringat pengalaman saat diurut beberapa hari lalu. Sampai hari ini kakinya masih bengkak. Kinan kesulitan untuk berjalan, tapi rasanya sudah tidak terlalu nyeri. Selama tiga hari dia juga hanya berbaring. Sekecil mungkin melakukan aktivitas agar kakinya cepat sembuh. Terkilir bukan jenis cedera yang bisa di sepelekan. Jika dibiarkan akibatnya bisa fatal.

Kebetulan hari ini tanggal merah, jadi dia diantar Noe yang menunggu di mobil. Kalau hari kerja mungkin Kinan akan meminta Arsen datang saja ke kontrakannya. Tiba-tiba saja Kinan teringat sesuatu. Perempuan itu membuka tas ransel yang sebelumnya diletakan di kursi samping.

Ada untungnya juga sebenarnya kakinya terkilir. Noe dan Dian secara bergatian melihat dan menemaninya yang bosan di dalam kamar. Tidak tahan dengan kondisi kamarnya yang berantakan, Noe langsung bertindak. Membersihkan kamar Kinan dan membuang benda tidak penting, yang seperempatnya memenuhi kamar kontrakan yang kecil.

Awalnya Noe berniat membuang map yang sekarang dikeluarkan Kinan dari ranselnya. Map yang kemudian diletakan di depan Arsen. Kening Arsen mengernyit bingung, tidak tahu apa yang ada di balik map itu. Sampai kemudian tangannya terulur untuk membuka map yang warnanya sudah usang itu. Dia langsung mengenali dokumen dengan judul LaSalle College Vancouver itu. Arsen lebih dari sekadar mengenalinya, sebab dia sendiri yang memberikannya kepada Kinan.

Saat itu, usai sesi perkenalan singkat mereka, Arsen langsung melakukan tujuan utamanya. Sayangnya tidak ada ekspresi senang dan antusias di wajah Kinan seperti yang seharusnya. Padahal setelah mendengar cerita Gibran dan mencari tahu asal usul gadis itu, tawaran sekolah secara gratis pastilah yang paling diharapkan.

Arsen tidak bisa melupakan bagaimana ekspresi Kinan saat itu. Wajah datarnya manggut-manggut dengan kedua tangan tersilang. Minuman yang dipesan gadis itu tinggal tersisa setengah. Hal yang pertama kali Kinan lakukan setelah diam sekitar tiga menit, ialah berdecak kagum.

“Wah, Om jahat nih. Niat banget mau ngusir saya.”

Mendengar jawaban Kinan, Arsen kontan tertawa. “Mana ada saya ngusir kamu. Ini kan,” tangan Arsen menunjuk map. “Yang kamu mau. Saya menawarkannya sama kamu loh.”

Hello, Ex-Boyfriend! (End) ~ sudah terbitWhere stories live. Discover now