19. Pelukan

1.8K 173 28
                                    

Kata tamat itu berarti berakhir, kayak kisah kita, enggak perlu epilog ataupun extra part segala karena sakitnya juga bisa ekstra.

–Kinanti Pratiwi–

-----------------------------------------------------------

Usai mengalami adegan penuh drama, dari mulai menjadi pembalap dadakan mengalahkan Valentino Rossi. Lari melewati ratusan anak tangga macam wafer tango yang lapisannya ratusan. Ditabrak troli hingga jatuh mengenaskan, bonus dicium suntikan bersegel. Lalu ditutup oleh tangisan dramatis sambil guling-guling di lantai. Oke, itu berlebihan karena Kinan hanya duduk tidak sampai berguling. Namun tetap saja hal itu sangat memalukan.

Dengan kesadaran penuh, Kinan menyalahkan dirinya sendiri. Bagaiman bisa dia tidak menyadarinya sejak perawat memberitahu letak ruangan Giban. Kalau Gibran baru kecelakaan, seharusnya lelaki itu masih ditangani di UGD. Bukannya sudah berada di ruang rawat, tempatnya berakhir mempermalukan diri seperti ini.

Menangis sekitar sepuluh menit disaksikan oleh orang tua, calon istri Gibran dan lelaki itu sendiri. Jelas Kinan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika tangisnya mereda. Untungnya Arsen berinisiatif membantunya bangkit dan menuntunnya untuk duduk di sofa. Kepalanya menunduk, melihat kedua tangannya yang bertaut. Merasa canggung dengan situasi, terlebih Raya berpindah duduk di samping kirinya. Raya pasti sudah berpikir macam-macam ketika dia datang dan menangisi Gibran. Sungguh Kinan berharap tubuhnya bisa tersedot ke dalam sofa dan menghilang dari sana.

“Harusnya kamu tanya lebih jelas dong. Jangan main ambil kesimpulan gitu aja,” ucap Arsen dengan nada geli.

Kepala Kinan mendongak menatap Arsen. “Terus tadi di depan kenapa pada sedih? Om juga kenapa tadi bilangan kondisinya gak bagus?” tanyanya menyalahkan Arsen.

“Coba kamu lihat wajahnya,” pinta Arsen yang dituruti oleh Kinan. “Wajahnya pucat, luka di pelipis, memar di pipi kanan, dan lingkaran hitam di bawah mata karena kurang tidu. Kaki kanannya luka yah, walaupun gak sampai patah. Jadi bagian mananya yang terlihat bagus?”

Mulut Kinan yang hendak melayangkan protes langsung terkatup rapat. Memperhatikan dengan lebih jelas wajah Gibran. Wajah tampan itu terlihat mengerikan dan juga ... menyebalkan. Sebab sudut bibir lelaki itu tampak berkedut, berusaha menahan senyum geli. Kalau saja tidak ada orang lain, Kinan akan dengan senang hati memukul wajahnya. Tidak peduli jika Gibran dirawat lebih lama di rumah sakit.

“Pernikahan kami batal.”

Tidak kurang dari dua detik, kepala Kinan menoleh ke kiri. Meninggalkan wajah Gibran, beralih menatap wajah Raya yang tampak tenang setelah mengatakan tiga kata tadi. Namun tatapan sendunya tidak bisa disembunyikan terlihat begitu jelas.

“Itu alasan aku menangis tadi,” lanjut Raya tanpa peduli raut Kinan yang terkejut. Menjawab pertanyaan Kinan tentang ekspresi sedih yang dia keluarkan di depan ruang rawat Gibran.

“Mama enggak ngerti sama kamu Gibran. Waktu perjodohan kalian sama sekali tidak singkat. Tapi kenapa baru sekarang?”

Wiyanti bersuara. Tidak habis pikir dengan tindakan Gibran. Pagi tadi setelah masuk ke rumah sakit, Gibran berkata ingin membatalkan pernikahannya. Dia menjadi orang pertama yang menentang keputusan Gibran. Wiyanti menyukai Raya, menurut penilaiannya Raya perempuan baik. Sekalipun mereka di jodohkan, dia tahu Raya mencintai putranya.

“Maaf Ma,” jawab Gibran sambil memandang Wiyanti. Namun tidak tampak penyesalan di wajahnya.

Wiyanti menghela napas, “Mama gak butuh maaf kamu. Mama mau penjelasan yang logis, kenapa kamu mau membatalkan pernikahan yang tinggal dalam hitungan bulan lagi?”

Hello, Ex-Boyfriend! (End) ~ sudah terbitWhere stories live. Discover now