7. Awal

1.6K 163 25
                                    

Seindah apapun pengandaian, kata itu hanya harapan yang tidak bisa terwujud.

-Kinanti Pratiwi-

-----------------------------------------------------------


Dengan ringan tangan Kinan terayun untuk memukul kepala remaja laki-laki di hadapannya. Meminta laki-laki itu sedikit menunduk agar memudahkan tangannya memakaikan dasi. Laki-laki yang berbeda usia tiga tahun dengannya itu mendesis namun pada akhirnya tetap menurut, sedikit merendahkan tubuhnya yang menjulang. Seharusnya dari pada memukul kepalanya, gadis itu tarik saja kakinya sendiri agar lebih efisien dan tubuhnya bisa lebih tinggi.

"Heran deh, mau foto ijazah apa mau tawuran sih?" omel Kinan tidak habis pikir.

Saat ini Kinan sedang bekerja memotret seluruh siswa SMA Merdeka kelas tiga untuk kepentingan ujian dan ijazah. Semuanya berjalan lancar sampai tiba di kelas terakhir. Hampir semua penghuninya aneh-aneh. Mungkin kelas yang mereka tempati sesuai dengan tingkat kewarasan masing-masing. Dari kelas pertama yang paling waras dan disiplin sampai kelas yang paling amburadul.

Contohnya ya Gibran ini, yang dengan percaya diri langsung duduk di kursi yang disediakan dengan latar background merah dibelakangnya. Dengan dua kancing teratas seragamnya yang dibiarkan terbuka dan tidak dimasukkan ke dalam celana. Tidak sampai disitu, Gibran juga tidak memakai dasi dan rambutnya berantakan. Entah apa yang sudah dilakukannya sebelum ini.

Sebelum Gibran memang ada beberapa siswa yang sekelas dengan penampilan yang tidak kalah urakan. Hanya saja mereka masih mau disuruh merapikan diri sendiri. Walaupun sengaja mengulur waktu untuk bisa mengobrol dengan Kinan. Jarang sekali foto ijazah diambil oleh seorang gadis cantik seperti Kinan.

Gibran sama sekali tidak menggubris ucapan Kinan. Remaja laki-laki itu malah meminta Kinan segera mengambil fotonya. Jelas saja Kinan tidak mau. Tugasnya disini untuk mengambil foto ijazah, bukan foto orang yang mau tawuran seperti penampilan Gibran. Jadi Kinan langsung bertindak tanpa peduli protesan dari Gibran.

"Masukin baju lo," titah Kinan kemudian.

"Males ah, lagian fotonya juga setengah badan."

"Mau masukin sendiri atau gue masukin?" Kinan mengancam dengan mata melotot.

Gibran bergidik sendiri, bukan karena pelototan si fotografer. Melainkan ucapannya yang terdengar ambigu. Karena tidak mau gadis itu benar-benar melaksanakan ancamannya, Gibran berbalik dan memasukkan seragamnya ke dalam celana dengan cepat. Lalu kembali berbalik begitu selesai.

Kinan kembali merapikan penampilan Gibran. Tangannya mengambil sisir, sekali lagi meminta Gibran untuk menunduk agar bisa dijangkau olehnya. Bibir Kinan berdecak puas ketika selesai. Sekarang Gibran tampak seperti seorang siswa pada umumnya. Tanpa peduli dengan Gibran yang terus memberikan tatapan tajam tidak bersahabat, Kinan menyuruhnya untuk duduk. Sementara dirinya kembali ke posisi semula dan langsung mengambil kamera. Tangannya siap menekan tombol shutter, namun tertahan melihat wajah Gibran yang tertangkap lensa kamera.

"Senyum dikit apa susahnya sih, kan buat ijazah sendiri," ucap Kinan menurunkan kameranya.

"Lo banyak maunya banget sih, lagian ini juga buat ijazah gue ini bukan ijazah lo," balas Gibran dengan kesal.

"Ya sayang kali ijazah lo, orangnya ganteng tapi ekspresinya kayak papan triplek gitu."

"Terus ruginya buat lo apa?"

"Enggak ada, tapi gue males liat muka lo yang kayak banyak utang itu."

"Tinggal foto aja sih!"

"Senyum dulu sih!"

Hello, Ex-Boyfriend! (End) ~ sudah terbitWhere stories live. Discover now