9. Time Flies

83 11 0
                                    

15 tahun kemudian.

Tristan Evans POV.

Saat ini aku sedang berada di kantor polisi terdekat untuk diinterogasi.

"Jadi.. waktu kamu sampai di depan sekolah, keadaannya udah kaya gini?"

Tanya salah satu petugas polisi kepada ku yang kujawab dengan anggukan.

Brakk!

"Ini tidak masuk akal."

Gerutu polisi itu sambil membanting kuat meja didepannya. Aku hanya bisa diam mematung sambil merasa tidak enak karena hanya diriku siswa yang selamat. Dipikir pikir polisi itu juga tidak salah, mustahil bangunan sebesar itu terbakar habis tidak menyisakan apapun seolah ditelan bumi, kecuali kebakaran itu sudah terjadi sejak beberapa minggu lalu yang jelas saja mustahil karena aku masih bersekolah kemarin.

"Apa tidak ada saksi mata lain selain anak gaya berandal ini?"

Bisik polisi itu pada rekannya. Aku hanya memutar bola mata tidak peduli.

"Sayangnya tidak."

"Tck."

Setelah berbincang bincang sebentar dengan rekannya sambil membelakangiku, akhirnya polisi itu memutar badannya untuk menghampiri dan duduk di depan ku lagi.

"Dik. Sekolah mu itu sekolah favorit yang jelas memiliki banyak murid. Jumlah korban di sekolah mu saat itu sekitar 1000 jiwa. Maka dari itu jawablah ini dengan jujur."

"Baiklah. Apa itu?"

"Apa kamu sempat berpapasan dengan orang lain di jam itu?"

Aku diam sejenak untuk berpikir.

"Ada sih.. tapi dia datang dari arah yang sama denganku."

Jawabku. Tentu saja aku merujuk pada anak aneh yang menabrakku dengan sepedanya tadi.

"Oh ya? Lalu kemana dia saat kamu sampai di sekolah? Berarti seharusnya dia juga saksi mata bukan?"

Tanya polisi itu. Aku membulatkan mataku. Benar juga, kemana dia saat itu? Kenapa dia tidak melihat bahwa sekolahku kebakaran hingga lenyap di waktu itu?

"Saat itu apakah dia berada di depanmu atau belakangmu?"

"Depanku.."

Kedua polisi itu langsung saling bertatapan. Lalu berbarengan menatap ke arah ku.

"Kenapa kamu baru memberitahu kami sekarang?? Kamu tahu jelas dia termasuk saksi yang sangat berpengaruh bukan?"

Tanya salah satunya. Aku menghela nafas sambil memijit pelipis ku yang mulai terasa pusing.

"Entahlah, hanya saja.. aku tidak mau berurusan dengan dia lagi. Aura nya aneh."

Jawabku. Aku tau itu jawaban ngaco yang pasti tidak bisa diterima oleh polisi. Dan benar saja, dengan raut kesal mereka meninggalkanku tanpa mengucapkan apapun, mereka keluar dari ruang interogasi dan langsung sibuk memberitahu kepada yang lain untuk mencari infomasi tentang anak yang berpapasan denganku waktu itu.

Karena tidak ingin terlihat seperti tersangka, tak lama aku beranjak keluar dari ruang interogasi dan menghampiri mereka di ruang cctv.

"Anu.. apakah aku sudah boleh pulang?"

Tanyaku.

"Belum, kami masih membutuhkanmu untuk memastikan wujud anak yang papasan denganmu tadi."

"Ugh."

Gerutuku malas, aku pun memutuskan untuk berjalan jalan di dalam kantor polisi, lalu duduk di salah satu kursi tunggu yang berada disana, jarak kursi tunggu ini lumayan jauh dengan ruang cctv tadi, dan berada terpisah dari ruangan cctv.

DISREPUTEWhere stories live. Discover now