Terbongkar

16.3K 2.8K 1.3K
                                    


***

Adiba tidak tahu apa masih melanjutkan ta'aruf ini, dua kali Adiba melakukan shalat istikharah, yang dia lihat di mimpinya sifat Nizam yang buruk, bahkan ada sosok lelaki lain muncul bersamaan. Adiba tidak melihat wajahnya, hanya tubuhnya yang memakai baju putih dan dirinya juga ada di sana, seperti melakukan shalat berjamaah dan lelaki itu menjadi imamnya. Adiba mencium tangannya dan begitu pula dengan lelaki itu mencium keningnya. Tapi Adiba meyakini lelaki itu bukanlah Nizam melainkan lelaki lain.

Adiba sekarang benar bingung, bukan hanya mimpi tapi sikap Nizam sekarang semakin membuatnya ragu. Adiba tidak mengerti, apa ini pertanda dari Allah kalau dirinya dengan Nizam tidak berjodoh.

Suara ketukan dari luar ruangannya membuat Adiba mendongakkan kepalanya.

"Assalamualaikum, Dok."

"Waalaikumsalam, iya silahkan masuk."

"Dok ada pasien yang harus dokter tangani."

"Baiklah, saya akan ke sana."

Adiba memasuki ruangan yang berwarna putih di mana di atas brangkar sudah terbaring seseorang. Adiba memperhatikan wajah lelaki di depannya ini,  entah kenapa jantungnya mendadak tersentak, hatinya seakan sakit melihat, air mata Adiba tiba-tiba jatuh begitu saja.

"Dokter baik-baik saja?" tanya suster.

Lamunan Adiba berhenti, dengan segera Adiba memeriksa kondisi pasien. Adiba mulai memeriksa penarpasan pasien, kening Adiba berkerut, napas pasien pendek. Lalu memeriksa yang lain pada tubuh pasien, terdapat bintik merah di bagian tubuh dan wajahnya juga terlihat sangat pucat.

Pasien Adiba yang merupakan seorang bapak-bapak yang tadinya tidak sadar, kemudian membuka matanya pelan. "Saya ada di mana?"

"Bapak sedang di rumah sakit," kata Adiba.

Sejenak bapak tadi tertegun melihat wajah Adiba, wajahnya mengingatkan dirinya terhadap seseorang, pandangannya juga hampir sama, menenangkan.

"Bapak, saya mau menanyakan seseuatu. Apa sendi atau tulang bapak sakit?"

"Sudah dua bulan ini saya merasakan persendian saya sakit-sakit."

"Apa bapak tidak pernah memeriksa kondisi tubuh bapak?" tanya Adiba dan sang pasien hanya menggelengkan kepalanya.

Perasaan Adiba mulai tidak enak, dia sudah menerka-nerka penyakit yang diidap oleh pasiennya, tapi dia harap pemikirannya ini tidak benar.

"Maaf Pak, saya harus mengambil darah bapak sebagai sampel untuk pendeteksi penyakit di dalam tubuh bapak."

"Tidak usah, saya sudah tidak peduli dengan penyakit di dalam tubuh saya. Yang saya butuhkan adalah keluarga saya," ucapnya sambil memandang langit-langit di ruangan itu.

"Maaf sebelumnya Pak, kalau saya lancang, memangnya keluarga bapak dimana?" tanya Adiba.

"Ayah!" panggil seseorang, dengan beberapa orang di belakangnya.

Adiba tersenyum legah, sepertinya mereka adalah keluarga bapak ini.

"Ayah kenapa? Bunda kan udah bilang, jangan ke luar sendiri terus."

"Ayah nggak apa-apa Bunda."

Melihat keharmonisan keluarga ini membuat Adiba tersenyum gentir, kehangatan keluarga adalah sesuatu yang dari dulu Adiba idamkan. 

"Ayah saya kenapa Dok?"

Adiba memperkirakan lelaki yang berbicara sekarang dengannya berumur tujuh belas tahun. Kalau seandainya dia punya adik, mungkin saja akan seumur lelaki ini.

AdibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang