BAB 26. Seandainya.

Start from the beginning
                                    

Darah sempat merembes dari bagian yang sudah dibedah, menggenang sampai menutup sebagian organ jantung Sena. Bahkan, pakaian operasi yang dokter kenakan pun nyaris dipenuhi cipratan darah. Tapi, Sena selamat. Sena berhasil bertahan.

Satu hari setelah operasi, Sena masih belum membuka mata.

Dua hari, Sena masih tidur. Bola matanya tidak merespon cahaya yang masuk dan dokter berkata, jika besok pupil mata Sena masih tidak merespon, Sena dinyatakan koma.

Tiga hari setelah operasi, Sena membuka mata. Pemuda tujuh belas tahun itu mengerjap lambat di ruang ICCU tanpa bisa menyuarakan satu kalimat saja untuk berkomunikasi dengan dokter karena napasnya masih pendek. Sena hanya bisa mengerjap sekali untuk mengatakan 'iya' dan mengerjap dua kali untuk mengatakan 'tidak' atas pertanyaan dokter.

Ares baru bisa mengunjungi Sena dua hari setelahnya usai Sena mulai berangsur pulih. Walau begitu, Ares hanya bisa mengunjungi Sena selama lima belas menit. Dengan mengenakan pakaian khusus ruang ICCU dari pihak rumah sakit, Ares berjalan menuju Sena yang tengah berbaring di ranjang. Suara derap langkah kakinya bersautan dengan suara 'bip' pada monitor elektrokardiogram. Ada begitu banyak alat medis yang terpasang di balik kain biru langit yang menutupi dada Sena. Selang kecil yang dimasukkan pada perut atas sampai bawah menyedot cairan di jantungnya pasca operasi hingga kabel-kabel elektroda. Jika Sena menyingkap kain tersebut, mungkin ia sudah mirip dengan robot yang tengah direparasi dan terpasang banyak kabel.

"Kak," panggil Ares pelan.

Sena sedikit menoleh, ia lirik Ares yang berdiri di sampingnya. Napas Sena masih terengah, ia belum bisa berbicara dengan lancar.

Mata Sena melebar ketika setetes air mata meluruh dari kedua mata Ares. Ares menyeka air matanya. Mulut Sena terbuka, namun ia tidak mampu menyuarakan satu patah kata pun.

"Sakit. Punggungku sakit."

Sena mengernyit, menatap sendu Ares. Kenapa? Kenapa punggungmu sakit, Res?

"Kakak tidur lama sekali. Di rumah hanya ada Ibu dan Devan. Ayah tidak mau kuajak pulang. Ayah memaksa menginap di rumah sakit, menunggu Kakak bangun. Aku sendirian."

Sena menghela napas pelan kemudian mengangkat tangan kirinya seraya mencoba tersenyum meski terlihat samar sebab ia masih mengenakan masker oksigen. Tangan Sena bergerak, memberi isyarat pada Ares untuk mendekat. Selayaknya robot yang sudah diprogram untuk mengikuti perintah majikannya, Ares menurut. Ia membungkuk, mengkis jarak antara dirinya dan sang kakak.

Sena menyentuh puncak kepala Ares yang terhalang pelindung rambut kemudian mengarahkan tangannya pada wajah Ares. Ia usap lembut pipi kanan Ares dengan ibu jarinya. Sena menepuk pelan pipi Ares kemudian berucap pelan, "ma ... af."

Tangis Ares mendadak pecah, air matanya menganak membasahi pipi usai mendengar Sena berbisik mengucap maaf. Kepala Ares menunduk kala Sena menurunkan tangannya. "Ayo cepat pulih lalu pulang, Kak."

"Ares."

"Hm?" jawab Ares seraya mendongak dan menghapus air matanya.

"Ceritakan ... semua ... yang tidak---" mata Sena terpejam sejenak seraya mengatur napas yang masih terengah. Ia kembali membuka mata, menatap kedua mata Ares yang basah. Sena melanjutkan kalimatnya. "Aku ketahui."

Ares menggeleng. "Sudah. Kakak diam saja. Tidak usah berbicara."

Tangan Sena kembali terangkat, ia raih jemari telunjuk Ares kemudian mengusapnya. Sena berdeham pelan, mengatur napas yang masih terengah.

"Aku tahu ... Ibu ... menyakiti Devan---hah."

Sena menelan ludah susah payah. Sementara Ares sudah nyaris membentak Sena karena panik. "Sudah! Diam saja atau aku ke luar? Kakak jangan merepotkan dokter lagi. Dokter bilang Kakak tidak boleh banyak pikiran."

Mata Sena mengerjap lambat, tangannya kini beralih menahan pergelangan tangan Ares.

"Apa ... Ibu juga ... menyakitimu?"

Ares membelalak, sempat menatap objek lain. Ares kembali menatap Sena dan menggeleng panik. Kedua pupil Ares bergerak gusar. Sena menghela napas, ia tahu adiknya tengah berbohong. Sena hidup dengan Ares selama tujuh belas tahun. Meski tidak dekat seperti saudara kembar lainnya, ia tetap hafal karakter Ares. Ia tahu, kapan Ares berkata jujur dan kapan Ares berbohong.

"Ares ... maaf. Karena aku ..."

Ares lagi-lagi menggeleng heboh. "Tidak, kok! Jangan mengada-ada. Ibu tidak menyakitiku."

Sena menatap air mata yang tiba-tiba kembali membasahi pipi Ares. Adiknya terus menggeleng, mengucapkan hal yang sama. "Ibu tidak menyakitiku. Tidak. Ibu tidak menyakitiku, kok. Kak, percaya padaku kali ini saja. Ibu tidak menyakitiku."

Mata Sena panas, air mata menggenang pada pelupuknya. Dadanya sakit. Napas Sena terengah. Sesak sekali rasanya. Mata Sena terpejam, setetes air mata mengalir melalui ujung mata kirinya.

Seandainya, sejak awal aku juga menentang pernikahan Ayah dan tidak memaksakan kehendak. Seandainya, Aku mendengarkan pendapat Ares sekali saja. Seandainya aku tidak egois. Karena aku ... dari awal semuanya salahku. Karena aku, kamu seperti ini. Kakak macam apa aku?

Genggaman tangan Sena pada pergelangan tangan Ares melonggar. Tangan Sena jatuh begitu saja. Ares mendekat, ia tepuk pelan pipi Sena.

"Kak? Kak Sena!"

Ares buru-buru menekan tombol darurat ketika Sena tidak memberi respons sama sekali. Tangis Ares pecah untuk yang kesekian kalinya. Isak Ares bersaut-sautan dengan suara 'bip' mesin elektrokardiogram yang semakin lama semakin cepat temponya.

Perih di punggungnya karena luka yang Leana ukir menggunakan silet kini kalah oleh pedih yang menjalar di setiap inci tubuhnya. Ares tidak ingin kehilangan Sena. Demi apa pun. Ares tidak ingin kehilangan kakaknya. Ares tidak ingin kehilangan partner bertengkarnya. Ares tidak ingin kehilangan separuh semestanya.

 Ares tidak ingin kehilangan separuh semestanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Halo, siapa yang butuh tisu?

Aku update hari ini sekalian ngerayain kabar bahagia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku update hari ini sekalian ngerayain kabar bahagia.

Aku update hari ini sekalian ngerayain kabar bahagia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

All kill Billboard... Our 7 boys deserved it :')

Detak. ✔Where stories live. Discover now