BAB 26. Seandainya.

Start from the beginning
                                    

Devan pun sama halnya seperti Sena dan Ares. Semua orang hanya tahu bahwa Devan adalah seorang model yang gay yang menjijikkan. Tidak seorang pun teman laki-lakinya mendekat karena takut, kecuali Ares dan teman-teman gay-nya. Mereka mengkahimi Devan, tanpa peduli alasan Devan memilih jalan seperti ini.

Lagipula, Devan mengerti, bahwa orang lain tidak punya waktu untuk mengerti sisi Devan---untuk mengerti rasa sakitnya. Tidak semua orang bisa mengerti bahwa Devan sangat, sangat, membenci perempuan karena ibunya. Tidak seorang pun tahu bahwa Devan sudah bertahun-tahun menjalani hidup di neraka yang ibu dan ayahnya ciptakan. Tidak seorang pun tahu bahwa Devan hanya ingin mencari bahagia dengan caranya sendiri. Sejatinya, Devan hanyalah korban dan seorang pemuda belasan tahun yang tengah mencari jati diri.

Devan krisis kepercayaan. Sampai akhirnya, ia membiarkan Sena melihatnya meraung kesakitan dan Sena tetap menawarkan pundak yang kokoh padahal Sena tahu bahwa Devan sudah setengah rusak jiwanya. Sampai akhirnya, Devan menceritakan sebagian rasa sakitnya pada Ares dan Ares tidak menghakiminya.

Devan merasa bersalah, terlebih ketika ia membiarkan ibunya yang bejat menikah dengan Aksa. Ketika ia membiarkan Leana menjadikan Ares sebagai mainannya setelah mereka menikah. Ketika ia malah membiarkan kehadirannya dan Leana merusak semesta Aksa. Seandainya ia tidak egois, keluarga kecil Aksa tidak akan seperti ini. Seandainya ia bisa mencegah niat buruk Ibunya sejak awal.

Tetapi, sungguh, Devan sebenarnya hanya tengah meminta tolong. Ia hanya ingin keluar dari neraka yang ia singgahi bertahun-tahun lamanya, namun tidak ada yang mau menolong. Tidak ada yang bisa membantunya keluar.

Ia hanya berharap bahwa Ares bisa menolongnya, dengan menjadi mainan baru Leana. Ia hanya berharap bahwa Sena bisa menolongnya, karena hanya Sena yang bisa meluluh lantakkan Leana.

Insting dokter, Leana tidak bisa menyakiti seseorang yang sakit. Leana bahkan lebih memperhatikan Sena ketimbang anak kandungnya, Devan.

Perasaan bersalahnya semakin mengoar tak terkendali kala Devan menahan tubuh Ares yang nyaris merosot di lantai koridor rumah sakit setelah melihat beberapa perawat berlarian masuk ke ruang operasi sembari membawa beberapa kantung darah.

Melihat Ares memukul-mukul dadanya sendiri dengan tangan yang gemetar, Devan hancur. Devan ikut hancur mendengar Ares memanggil Sena dengan lirih seraya menggeleng.

"Van ... Operasi Kak Sena gagal."

Devan mengguncang kedua bahu Ares, membuat pemuda tujuh belas taun di hadapannya tersebut lantas mendongak.

"Operasinya belum selesai, Kak." Devan menggigit bibir bawahnya. "Kak Sena akan baik-baik saja. Kak Sena baik-baik saja dalam ruang operasi."

Bahu Ares yang sempat menegang lantas melemas begitu saja. Ares mengokohkan pijakan kakinya kemudian menepis tangan Devan. Ia mengusap wajahnya kasar seraya memalingkan wajah.

"Sorry," ucap Ares pelan. Dahinya memerah, Ares malu karena ia mendadak lepas kendali di hadapan Devan.

"Soal yang kamu bicarakan tadi ... aku---"

Ares menjeda sejenak kalimat yang ingin ia ucapkan lantaran tenggorokannya mendadak tercekat.

"Aku ... tidak akan melawan. Aku tidak akan mencari jalan keluar."

Devan mematung, ditatapnya Ares yang kini memalingkan wajah kemudian berjalan melewatinya seraya berucap, "sesuai dengan yang Ibu katakan, aku akan diam. Maka dari itu, kamu bisa bebas. Aku titip Kak Sena nanti."

***

Semua dokter yang pernah menangani Sena sejak kecil hingga sekarang sudah sering berkata bahwa Sena adalah anak yang beruntung. Operasi perbaikan katup jantung yang berlangsung selama 4 jam berhasil, padahal Sena sempat mengalami pendarahan ketika operasi berlangsung.

Detak. ✔Where stories live. Discover now