Tiga Puluh Delapan

251 35 14
                                    

ㅡBrian

"Oh, iya. Pernikahan kalian sebentar lagi, ya?"

Butuh sekitar tiga detik sebelum gue menyadari perubahan ekspresi pada wajah Caca. Lalu butuh tiga detik lainnya untuk menyadari bahwa gue telah salah bicara.

Gue pasti udah gila.

Kenapa gue berbicara tentang pergi ke Bridal Shop bersama Jihan dengan mudahnya di depan Caca?

Gue menggigit bagian dalam bibir gue, "Aku terlalu detail, ya? I'm sorry..."

Caca kini memaksakan diri untuk tertawa. "Kenapa sorry? Bagus dong, selagi Jihan di sini, cicil apa yang perlu disiapin. Terus gimana? Ketemu yang pas nggak?"

Dia pikir dia bisa membohongi gue dengan berlagak nggak terluka seperti ini?

Gue memang menawarkan kesepakatan untuk nggak membicarakan soal pasangan kita masing-masing ketika kita sedang bersama seperti ini, tapi gue sendiri yang melanggar kesepakatan ini. Harusnya Caca memarahi gue aja daripada harus bersikap seperti ini. Ini justru membuat gue semakin bersalah.

"Stop, Ca. Kita sepakat untuk nggak bicarain mereka kalau kita lagi berdua, kan?" kata gue, hampir dengan rahang terkatup.

"Tapi kan kamu yang cerita."

"Iya, makanya aku minta maaf karena terlalu detail. Now, can we not talk about it? Aku lagi sama kamu dan aku cuman mau ngobrol tentang kita."

Caca diam sebentar sebelum membalas, "Ngobrol tentang kita? Contohnya?"

"Ya..." gue sedikit terbata, "Apa kek. Kayak biasa aja."

Lagi-lagi Caca diam. Matanya menatap gue lemah hingga gue merasa ia perlahan kehilangan fokus karena air mata yang menumpuk di pelupuk matanya. Sebutir air mata menetes ke pipinya dan gue nggak bisa menyembunyikan keterkejutan.

"Jawab, Kak! Kita harus ngobrol apa?!"

Gue semakin terkejut ketika suara Caca berubah menjadi tinggi. Ia terlihat sangat emosional dan itu membuat gue kehilangan kata-kata. Bahkan tubuh gue sempat mematung untuk sepersekian detik.

Ketika tangan gue berusaha merengkuhnya, Caca buru-buru menepis. "Kamu bahkan nggak bisa jawab, kan?" ujarnya lagi dengan butiran air mata lainnya yang mengalir.

Masih terkejut, gue berusaha menjawab pertanyaan Caca. "Kita bisa ngomongin apa aja, Ca. Ada banyak hal yang bisa kita omongin. Kita bisa ngomongin tentang masa-masa SMA--"

"Kenapa?" sanggah Caca, bahkan sebelum gue menyelesaikan jawaban gue.

Gue mengernyit dan mengulangi, "Kenapa?"

Caca menghapus air mata di pipinya dengan punggung tangan, Ia menatap gue dengan tatapan putus asa. "Kenapa kita selalu membicarakan soal masa-masa SMA kita? Kenapa... kita nggak pernah membicarakan tentang masa depan kita?"

Rasanya seperti seseorang baru aja mencabut pedang yang sudah sedari tadi menancap di dada gue. Pedang itu kini meninggalkan rasa sakit dan perih di sekujur tubuh gue.

"Ca..."

"Kamu tau nggak? Sebenarnya aku mikirin kejadian waktu kita ketemu Jihan di lobby. Udah seminggu yang lalu, tapi aku masih ingat betul bagaimana tatapan dia saat itu."

Gue memutuskan untuk membiarkan Caca berbicara dan mendengarkan apa yang ada di kepalanya sampai-sampai ia meledak seperti ini.

"Aku... Aku cuman nggak bisa bayangin, gimana jadinya kalau Jihan tau semuanya, gimana jadinya kalau Mark tau semuanya, gimana jadinya kalau aku harus kehilangan kamu. Aku takut sampai-sampai rasanya... Sesak, di sini." ujar Caca sambil menepuk-nepuk dadanya.

Almost Between Us (Completed)Where stories live. Discover now