Tiga Puluh Dua

307 37 31
                                    

ㅡMarisha

Hari ke-empat sejak Kak Brian di rumah, ia sebenarnya sudah bisa melakukan ini dan itu. Bahkan, ketika kontrol kemarin, Dokter sudah memperbolehkan Kak Brian untuk beraktivitas seperti biasa asalkan tetap berhati-hati dan menghindari kegiatan mengangkat beban yang berat. Oleh sebab itu, Kak Brian memutuskan untuk mulai masuk kerja lagi hari Senin nanti.

Mumpung hari ini adalah hari Sabtu dan aku libur, Kak Brian memintaku untuk datang ke tempatnya pagi-pagi untuk ditemani jalan-jalan di taman sekitar. Aku mendukung idenya ini. Dia memang harus lebih sering melatih otot-ototnya supaya terbiasa untuk beraktivitas lagi. Seminggu ini kan dia udah bed rest. Selain itu, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk berolahraga karena kualitas udaranya masih sangat baik.

Tapi bodohnya aku, aku kesiangan bangun karena hampir nggak bisa tidur di malam hari. Sepertinya aku baru bisa tidur sekitar pukul tiga dan baru bangun pukul setengah tujuh ketika di telepon Kak Brian hampir lima kali. Akhirnya aku hanya cuci muka dan gosok gigi, mengemasi pakaian dan peralatan lainnya untuk nanti aku mandi di tempat Kak Brian... dan mungkin tidur siang. Ngantuk banget rasanya.

Ketika aku sampai, Kak Brian sudah menungguku di taman sambil melakukan stretching ringan. Wajahnya langsung berseri ketika melihatku.

"Kenapa baru bangun? Kamu begadang, ya?"

Aku menggeleng lalu menunduk untuk mengencangkan ikatan tali sepatuku, "Bukan bermaksud begadang sih, tapi aku nggak bisa tidur"

"Kenapa? Banyak pikiran?"

Jeda sebentar sebelum aku menjawab, "Nggak kok."

"You sure?"

"Iya," jawabku, kemudian bangun untuk meluruskan tubuhku, "Yuk! Mumpung masih seger udaranya"

Kak Brian diam sebentar, mentapku seolah-olah mencari tau apakah aku sedang berkata jujur atau nggak. Dan sebelum urusan menjadi panjang, aku langsung beringsut memeluk lengannya yang terasa berisi. Aku menariknya supaya ia mulai berjalan.

Untuk beberapa menit, kami berjalan kecil  mengitari taman sambil bergandengan tangan. Kadang-kadang tautan kami terlepas ketika ia merasa bisa berlari. Tapi aku langsung menggenggamnya lagi sambil berkata, "Jangan memaksakan diri. Kalau udah dua minggu, kamu mau lari marathon juga boleh."

Saat itu, taman sudah mulai ramai. Ada beberapa orang yang sedang jogging, bermain sepeda, anak-anak kecil yang berlarian, serta ada manula yang juga berjalan-jalan. Sampai-sampai ketika kami sedang beristirahat di sebuah bangku, ada pasangan manula yang mengira kami pasangan yang baru menikah.

"Nggak, Pak, Bu. Kami belum menikah" Kak Brian meralat dengan sopan.

Sepasang suami dan istri yang umurnya sekitar lima puluh akhir itu lalu terkejut dengan pengakuan Kak Brian, "Oh, saya pikir sudah menikah karena sudah sama-sama pakai cincin" ujar si istri sambil menunjuk jari manis kami bergantian.

"Ah.." Kak Brian mendesah sambil mengepalkan tangannya dengan maksud menyembunyikan cincin itu dari penglihatan sepasang suami istri tersebut. Aku juga baru sadar. Kami berdua tertawa canggung. Lagian pasangan ini iseng banget sih nanya hal personal ke orang asing?

"Ini cincin tunangan, Bu" kataku dengan ramah. Padahal jelas sekali cincin kami berbeda. Masa aku harus bilang kalau sebenarnya kami pasangan gelap?

"Iya, betul. Ini cincin tunangan" tanpa menunggu jawaban mereka lagi, Kak Brian langsung berpamitan, "Kalau gitu kami pamit duluan, Pak, Bu"

Kemudian kami kembali ke arah menuju apartment. Duh, kayaknya lain kali, kalau mau jalan-jalan santai di taman harus lebih pagi lagi deh. Demi menghindari orang-orang rese yang merusak mood kami. Untungnya, di jalan pulang, kami melewati sebuah pasar kecil. Di sana ada berbagai penjual sayur-sayuran dan bumbu dapur sampai penjual sarapan seperti bubur ayam, nasi kuning, nasi uduk, lontong sayur dan kue-kue basah.

Almost Between Us (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora