Tiga Puluh Tujuh

284 34 9
                                    

ㅡMarisha

Hari ini terasa sangat melelahkan. Aku memang hanya berada di kasurku seharian ini, tapi rasanya aku seperti diburu. Kejadian yang sangat nggak terduga tapi pagi benar-benar membuat jantungku berdebar. Aku terus memaki diriku, kalau saja aku langsung kabur ketika melihat Kak Brian, mungkin Jihan nggak akan memergoki kami seperti itu.

Masih jelas sekali diingatanku bagaimana Jihan menatapku saat itu. Ekspresinya bingung dan terkejut, namun tatapannya padaku sangat dingin.

"Mba Jihan? Sejak kapan di Jakarta?" Aku berusaha bersandiwara kala itu. Aku pura-pura terkejut dan senang melihatnya.

Tapi perempuan itu nggak sama sekali menjawabku. Maka aku mencoba untuk membuat alibiku sendiri. "Oh, saya baru dari apartment saya di lantai 15. Ternyata Mas Brian apartmentnya di lantai 11 ya?"

Dan untungnya, Kak Brian yang sempat kehilangan fokusnya langsung berusaha membantuku. "Iya, saya tadi dapat telepon kalau ternyata perbaikannya udah selesai kemarin malam. Jadi saya mau cek."

"Oh..." Ah, jadi ini alibinya. "Teman saya juga tadi bilang sih kalau lagi banyak unit yang diperbaiki."

Jihan yang sedari tadi bergantian menatap aku dan Kak Brian. Aku nggak tau apa yang ada dipikirannya, tapi tatapannya nggak sedikitpun melembut. Dahinya pun masih berkerut.

Lalu aku sadar kalau sebaiknya aku nggak berlama-lama bersandiwara di sana. Jadi, aku pamit. Tapi walaupun aku sudah berada di kostan pun aku masih terbayang-bayang betapa thrillingnya kejadian tadi pagi. Aku nggak tau apa yang terjadi selanjutnya. Aku juga nggak tau apakah sandiwara kami berhasil atau nggak karena hingga saat ini Kak Brian belum menghubungiku. Dan itu yang membuat hari ini terasa semakin mendebarkan.

Akhirnya aku memutuskan untuk menonton kembali serial drama Korea di handphoneku. Aku butuh pengalihan. Tapi belum sampai lima menit aku menonton, ada satu panggilan masuk. Kak Brian!

"Hey," ia menyapaku dengan suara yang sangat tenang.

Tapi aku bahkan nggak balas menyapanya. Aku langsung membondongnya dengan pertanyaan, "Gimana tadi? Jihan curiga nggak? Dia kemana, kok kamu bisa telepon aku?"

"Hey, hey, calm down. Jihan lagi di toilet. Jadi aku nggak bisa lama-lama juga nelepon kamu. Tapi tenang aja, dia udah nggak terlalu curiga berkat acting kamu tadi."

Tanpa sadar aku menghela nafas agak keras. "Aku deg-degan banget dari tadi tau nggak?"

"I know," Kak Brian tertawa kecil. "Makanya aku langsung telepon kamu begitu ada kesempatan."

"Memangnya kamu bilang apa tadi ke Jihan?"

"Nanti aja aku ceritain. Habis antar Jihan ke bandara aku mampir, ya?"

"Flight jam berapa?"

"Jam enam. Makanya habis ini kita mau berangkat."

Aku menoleh melihat jam di dinding. Sudah pukul empat lewat sepuluh menit. "Loh, kamu sekarang di mana? Udah jam segini loh."

"Aku di PIK. Palingan setengah jam ke bandara."

"Nggak usah ke sini deh, Kak. Mending kamu istirahat aja. Memangnya nggak capek apa?"

"Iya, lumayan capek sih. Yaudah, kalau gitu nanti aku teleponㅡeh, tapi biasanya kalau malam kan kamu teleponan sama Markus."

Oh, ya. Markus. Markus belum menghubungi aku sama sekali hari ini. Aku nggak terlalu khawatir sih, karena tadi malam dia bilang harus hadir ke pesta penyambutan bos-nya. Kayaknya dia masih tidur karena mabuk. Kalau aku benar, maka malam nanti pasti dia akan meneleponku. "Iya, sih. Yaudah besok aja sepulang kantor. Kamu besokㅡ"

Almost Between Us (Completed)Where stories live. Discover now