Empat Puluh

223 32 27
                                    

ㅡMarisha

Selama aku mengenal Bang Jaenathan, aku banyak melihat sisi emosionalnya. Dia biasa menggebu-gebu dalam mengekspresikan sesuatu. Tapi di titik tertentu ketika dia sangat kecewa, dia hanya akan diam.

Dan itu yang terjadi dengannya saat ini.

Aku bisa mengerti kenapa dia sangat kecewa padaku, karena akupun begitu. Aku hanya berharap dua hal malam ini: memutar waktu atau menghilang. Memutar waktu hingga aku bisa menghindari Kak Brian atau menghilang selamanya dari bumi ini. Tapi nyatanya, aku berada di dalam sebuah mobil bersama Bang Jae yang ia parkirkan di basement apartment Kak Brian.

Sudah sekitar sepuluh menit kami diam tanpa bersuara. Sepertinya, kejadian beberapa saat yang lalu di apartment Kak Brian bukan hanya memukulku, tapi juga memukul Bang Jae. Kalau Bang Jae bilang kecewa padaku atau bahkan membenciku, aku akan terima. Aku memang pantas.

"I must have been crazy, right?" gumamnya, tapi lebih kepada dirinya sendiri.

Ah. Dia bukan hanya kecewa, tapi juga menyesal karena telah membantuku.

"I mean, why did I do that? Why did I help a cheater?" lanjutnya, masih kepada diri sendiri. Tatapan matanya masih lurus ke depan, seperti sedang mengawang.

Apa yang dikatakannya benar, tapi aku tetap merasa terluka mendengarnya menyebutku sebagai cheater. Menyadari apa yang terjadi hari ini, aku pun merasa berdosa dan malu. Rasanya aku seperti aku baru saja melakukan kejahatan besar dan dihukum dengan ditelanjangi.

Aku menghela nafas sedikit keras tanpa sengaja dan Bang Jae langsung menoleh terkejut. Dari ekspresinya, Ia seperti baru saja menyadari keberadaanku.

"Don't worry, I will tell Markus the truth." putusku lirih, sedikit telat menyadari bahwa meminta Bang Jae menyembunyikan dosaku adalah keputusan yang salah.

Tapi tanpa kusangka, Bang Jae justru langsung menyanggah. "No, don't." Ia berhenti sebentar sebelum melanjutkan, "It will just get worse if you tell him the truth."

"Butㅡ"

"Kenapa?" potongnya, "Jangan bilang.. Lo merasa bersalah sekarang?"

Benar. Aku merasa sangat bersalah.

Melihatku diam, Bang Jae mendengus sarkastik. "Okay, gini deh. Kalau lo ceritain semuanya dari awal sampai akhir ke gue, apa itu bisa bikin lo merasaㅡ"

Suara getar handphone menginterupsi perkataan Bang Jae. Ia berhenti berbicara dan mengambil handphone di sakunya. Dilihatnya layar handphone itu sekilas sebelum ia membalikkan layarnya ke hadapanku. Nama Markus tercantum sebagai penelepon.

Aku makin membeku melihat nama Markus. Untuk apa Markus menelepon Bang Jae lagi? Apa dia merasa ada yang janggal? Atau apa dia masih belum puas dengan jawaban Bang Jae sebelumnya?

Bang Jae lalu mengangkat telepon tersebut dan sengaja mengaturnya menjadi mode loudspeaker.

"Yo, dude." sapa Bang Jae.

"Jae, lo di mana? Sibuk?"

Jantungku seperti meletup-letup mendengar suara rendah Markus yang ternyata sangat aku rindukan. Sudah berapa lama aku tidak mendengar suara itu?

"Hmm.. Not really? What's wrong again?"

"Well.." Markus menggantung kalimatnya agak lama, "Gue penasaran, if you were me, what would you say to Marisha? After all the misunderstandings?"

Bang Jae dan aku saling melirik mendengarnya.

"Why tho? I mean, just say that you are sorry."

Almost Between Us (Completed)Where stories live. Discover now