Dua Belas

486 76 38
                                    

―Markus

"Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah―"

Shit. Gue menyumpah, nggak tau untuk ke berapa kalinya dalam beberapa jam terakhir.

Sepertinya semesta sedang malas untuk berpihak pada gue hari ini. Kerja di hari Sabtu, kehilangan file-file penting, pusing nyari file back up sampe-sampe harus ribut sama pacar sendiri di telepon. Terus sekarang, Marisha nggak bisa dihubungi.

Gue tau, Marisha marah. Gue nggak bisa berbuat banyak karena gue sendiri sedang dalam mood yang nggak bagus. Kerjaan gue seminggu ini padat dan berantakan banget. Alhasil, hubungan gue dan Marisha juga sedikit berantakan.

Seminggu tanpa saling menelepon, chat hanya berisi basa-basi. Kering. Hidup gue kering.

Padahal, hari ini rencananya gue mau ketemu Marisha. Melakukan apapun agar dia memaafkan gue dan memberikan penjelasan yang mungkin selama ini ingin dia dengar. But, hell man, turns out, I called her and I swore to her. Right before I hung up the phone call. And I swear to God, I was out of my control. Gue bener-bener lagi kalang kabut tadi.

Sekarang, bahkan sudah hampir lewat tengah malam, tapi Marisha masih belum bisa dihubungi. Where the hell is she?  Kenapa dia sampai mematikan handphonenya? Marisha, belum pernah seperti ini. Gue bukan cuman menyesal, tapi gue khawatir sesuatu terjadi pada dia.

Dengan putus asa, gue akhirnya menghubungi Jaenathan. Hanya Jaenathan yang kemungkinan tau ke mana Marisha.

"Halo?" suara Jae menyapa gue lengkap dengan background  suara musik keras yang menandakan bahwa Jaenathan sedang berada di club.

"Jae, do you probably know where Marisha is?"

"Hah???"

Gue mendecak, "Lo tau nggak Marisha ada di mana?" ulang gue dengan lebih kencang.

"Hah?? Lo ngomong apaan sih? Wait, gue keluar dulu"

"Gosh..."

Beberapa saat kemudian, suara musik-musik di belakang Jaenathan berangsur memelan, "Nah, udah kedengeran nih. Kenapa, Bro?"

Gue menghela nafas. "Gue nanya, lo tau nggak Marisha ada di mana?"

"Lah, mana gue tau. Lo kan cowoknya"

"Lo nggak ada kontakan sama dia hari ini?"

"Ng...gak kayaknya sih. Eh sebentar, si Marisha hari ini riset venue sama Brian kan"

Gue menaikkan sebelah alis gue, "Brian?"

"New bassist"

"Oh" kenapa Marisha nggak bilang ya?

"Tapi ya udah jam segini mah, udah pulang lah harusnya. Lo berdua berantem? What is it again?"

"Not actually berantem sih. Tapi dia matiin handphonenya dari sore, sampe sekarang"

"Man, seriously??"

Gue mengangguk, tapi lalu tersadar bahwa Jaenathan nggak bisa melihat gue. "That's whyCan you please ask Brian, dia yang terakhir bareng Marisha kan"

"Okay, wait a minute. I'll call you again" lalu telepon dimatikan.

Agak mustahil untuk mengetahui keberadaan Marisha melalui Brian. Tapi gue harap Brian tau lokasi terakhir Marisha karena dia adalah orang yang bersama Marisha hari ini.

Gue menunggu dengan gelisah. Kalau sampe Brian nggak tau keberadaan Marisha, gue akan nekat pergi ke kostan Marisha. Nggak peduli ini udah hampir tengah malem.

Almost Between Us (Completed)Where stories live. Discover now