Sebelas

402 66 15
                                    

―Marisha

Dulu, alasan aku resign dari pekerjaanku sebagai reporter salah satunya adalah karena waktu libur yang nggak menentu. Yup, silahkan tertawa dan bilang bahwa itu memang resiko yang harus aku tanggung karena memilih pekerjaan itu.

Kami para reporter bekerja tanpa pernah melihat apakah hari ini adalah tanggal hitam atau tanggal merah. Kami hampir nggak mengenal weekend. Well, jangankan weekend, untuk libur dua hari berturut-turut aja rasanya sulit.

Alasan lainnya adalah kemampuan untuk work in flexible long hours yang lama kelamaan nggak bagus untuk kesehatanku.

Pernah dengar kan istilah jam biologis tubuh manusia?

Jadi, tubuh kita masing-masing punya ritme kerjanya sendiri berdasarkan aktivitas kita sehari-hari. Nah, kalo aktivitas kita berubah, itu akan berdampak pada kinerja tubuh kita.

Normalnya tubuh manusia akan memproduksi hormon yang membuat kita mengantuk dalam rentang waktu pukul sembilan malam hingga tiga dini hari. Itulah kenapa Tuhan menciptakan siang untuk kita beraktivitas dan malam untuk kita beristirahat.

Loh, kalo pekerja media sih boro-boro. Hari ini kita pulang pukul tujuh malam, besok bisa-bisa kita baru mulai bekerja pukul tujuh malam. Bahkan ada juga yang merasakan berangkat pagi pulang pagi.

Jam kerja yang seperti itu lah yang membuat para pekerja media rawan sakit. Belum lagi tekanan yang bisa bikin depresi.

Malahan ada istilah, "kerja di media kalo belum tipes berarti belum kerja"

And hell... that was true. Dua tahun aku bekerja, dua kali aku tipes.

Padahal, menjadi reporter itu seru banget. Setiap hari bertemu orang baru, berhadapan dengan segala jenis peristiwa mulai dari yang bikin menyenangkan hingga yang berpotensi memunculkan trauma, dimarahin produser hingga dimarahin polisi karena menerobos lampu merah, bahkan aku bisa mengenal Markus berkat pekerjaanku.

Buat aku, menjadi reporter itu selalu saja bertemu tantangan baru....dan penyakit baru. Bukan hanya sekedar panas dalam, radang tenggorokkan, maag, flu, atau batuk. Tapi juga tipes, demam berdarah, bahkan aku pernah terkena infeksi saluran pernafasan karena meliput peristiwa kebakaran. Makanya setelah kontrakku selesai, aku memutuskan untuk resign dan memilih pekerjaan yang lebih manusiawi.

Wedding planner, misalnya.

But daaaamn, aku lupa kalau sebuah pernikahan itu sebagian besar diadakan pada weekend. Belum lagi calon pengantin yang kebanyakan hanya punya waktu untuk melakukan rangkaian kegiatan preparation seperti venue survey, food testing, fitting, dan lain-lain. So, yes, had a day-off on weekend still be something extravagant for me.

Uh. Why did I choose this job again?

"You look pale, Ca"

"Oh, do I?"

Brian mengangguk. "Sorry, ya, jadi ganggu weekend kamu"

"Nggak weekend aja kali Kak. Pas weekdays juga kan aku diganggu terus sama Kak Brian" candaku sambil tertawa meringis, merasakan perutku yang entah kenapa terasa kram.

"Iya juga ya, seminggu ini aja kita udah ketemu tiga kali" Brian ikut tertawa. "Yaudah, pulang sekarang aja gimana, Ca? Nanti kamu tambah sakit loh kalo maksain begini"

Aku langsung melirik notes yang tergeletak di meja, di antara aku dan Brian. Ada beberapa daftar wedding venue yang menjadi tujuanku dan Brian hari ini. Sejauh ini kita sudah mendatangi empat tempat yang lokasinya tersebar di seluruh bagian Jakarta. Masih ada tiga tempat yang harus dikunjungi tapi hari sudah semakin sore.

Almost Between Us (Completed)Where stories live. Discover now