Tiga Puluh Sembilan

164 37 17
                                    


ㅡMarkus

"Aren't you being too much to your girlfriend?" komentar Jae ketika gue hubungi via telepon.

Sejak hari di mana Sandria memberitahu gue masa lalu Marisha dengan Brian, gue hampir nggak bisa tidur selama seminggu terakhir ini. Gue merasa sangat marah dan kecewa dengan fakta bahwa Marisha telah membohongi gue. Gue bahkan enggan untuk menghubungi Marisha.

Kemarahan itu kemudian menjadi semakin parah karena muncul prasangka buruk pada Marisha. Gue terus membayangkan hal-hal buruk yang belum tentu Marisha lakukan. Prasangka itu terus menerus mengganggu gue, hingga akhirnya gue memutuskan bahwa gue perlu memastikan prasangka itu.

Orang pertama yang terlintas di kepala gue tentu saja Jaenathan. Jaenathan adalah sahabat gue dan orang yang paling gue percayai saat ini. Dia yang paling memungkinkan untuk membantu gue karena jaraknya lebih dekat dan dia kenal baik keduanya.

"I mean, kenapa lo nggak sekalian sewa detektif aja untuk memantau kegiatan cewek lo selama dua puluh jam?" lanjut Jae sarkastik. Gue udah menduga dia akan menolak permintaan gue untuk memata-matai Marisha.

Well, I know it's inappropriate to spying on my girlfriend. But I have no choice. Gue bisa aja memesan tiket pesawat ke Jakarta sekarang, tapi gue pasti akan dikutuk satu perusahaan karena menelantarkan tanggungjawab.

"Then, give me a better idea." ujar gue.

Jae diam sebentar sebelum menjawab, "Maksud gue gini loh. Apa lo harus bertindak sejauh ini? Oke, mungkin mereka memang punya something. But it was like ten years ago, man!"

"I know." sahut gue cepat. Tapi firasat gue begitu kuat. Gue juga tau kalau gue bukan tipe yang bergerak berdasarkan intuisi seperti ini, tapi untuk pertama kalinya, intuisi gue begitu mendesak gue. "But please, just for this time, Jae."

"Lo yakin?"

"Yakin apa?"

"It's fifty-fifty, dude. Kalau firasat lo salah, Marisha mungkin terluka karena lo udah mencurigai dia seperti ini. Tapi kalau firasat lo benar, you'll get hurted."

Gue tertegun mendengarnya.

Sekeras apapun gue mencoba memikirkannya, gue nggak menemukan sesuatu yang mencurigakan dari Marishaㅡpaling nggak selama kami terpisah. Marisha tetap rutin mengabari gue dan hampir selalu menjawab telepon gue.

Tapi gue sangat terganggu dengan fakta bahwa Brian adalah klien Marisha. Mustahil mereka nggak membahas masa lalu di sela-sela pertemuan mereka. Dan bukan mustahil... Ada sesuatu di antara mereka sampai-sampai Marisha menyembunyikan hubungannya dengan Brian dari gue.

Gue memejamkan mata dan mencoba mengatur nafas, "Lo cuman harus kasih tau ke gue apa yang lo lihat. Leave the rest to me. Don't worry."

"Alright," Jae akhirnya setengah pasrah menyanggupi, "Gue coba ikutin dia sejak pulang kantor nanti. I'll call you later if I find out something fishy. Lo jadi meeting?"

"Jadi. But it's okay, just call me."

"Oke."

Setelah telepon terputus, gue meremas rambut gue dengan satu tangan. Masih memejamkan mata, gue berdoa agar apa yang gue khawatirkan nggak pernah terjadi. Gue masih ingin percaya bahwa Marisha nggak mungkin mengkhianati gue.

Dentingan handphone gue kemudian menyadarkan gue. Rupanya ada chat dari Deffa yang mengingatkan bahwa meeting akan diadakan sepuluh menit lagi.

Gue kemudian mencoba menenangkan diri gue dengan berkali-kali menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Acara perusahaan kami akan diadakan dua minggu lagi dan gue harus berjanji pada diri gue sendiri. Apapun kabar yang akan gue dapatkan dari Jae nanti, gue harus tetap menjaga profesionalitas gue.

Almost Between Us (Completed)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن