Tiga Puluh Lima

245 29 28
                                    

ㅡBrian

Meskipun gue sangat menikmati aktivitas di luar, bukan berarti gue benci jika harus berada di dalam rumah. Well, iya, sebenernya gue benci di rumah tapi itu kalau gue hanya sendirian. Tapi jika memang gue harus di rumah, biasanya gue menghabiskan waktu untuk maraton film atau series di Netflix. Nggak ada preferensi tertentu sih, karena gue terbuka dengan genre apapun. Tapi akhir-akhir ini gue lagi suka genre horror dan thriller seperti The Haunting of Hill House, Bird Box, American Horror Story, Black Mirror, dan Kingdom.

Jujur, gue agak kaget setelah menonton Kingdom karena gue baru pertama kali nonton horrornya Zombie buatan Korea. Ternyata keren banget! Setelah Kingdom, gue rencananya mau nonton Train To Busan, tapi masalahnya perempuan yang kini sedang menggunakan paha gue untuk alas kepalanya bilang kalau dia sudah nonton Train To Busan. Dan dia malas nonton horror, apalagi beberapa jam yang lalu kita baru aja mengunjungi Haunted House.

"Aku nggak mau, ya, nanti pas zombienya dateng terus kamu refleks mukul-mukul aku," kata Caca dengan sarkastik.

Gue langsung menghela nafas. Ingatan saat berada di Rumah Hantu tadi kembali mengganggu gue. Astaga, bisa-bisanya gue melakukan hal bodoh seperti itu.

Tapi, gue masih beruntung sih karena salah satu hantu yang nggak sengaja gue pukul adalah Erik. Tetep malu, tapi kalau itu bukan orang yang gue kenal gue takut dilaporin polisi dengan tuduhan penyerangan. Ya walaupun kata hantu-hantu palsu tersebut itu bukan pertama kalinya mereka kena pukul.

"Visiting hunted house is different with watching horror movies, Ca. I swear." Gue membela diri gue sendiri. Tapi sungguh, rasanya memang berbeda.

Tapi Caca hanya mengangguk-angguk nggak sabar, "Iya, iya. Yaudah kalau mau Train To Busan. Aku juga udah lupa jalan ceritanya."

"Beneran?"

Ia mengangguk lagi. "Coba liat, durasinya berapa jam?"

Gue lalu mengetikkan Train To Busan di kolom pencarian lalu mengekliknya. "Dua jam, lama juga, ya?"

"Nggak lah, pas segitu mah. Setelah filmnya selesai aku pulang ya? Jam 10an berarti."

Gue langsung memanyunkan bibir gue, "Secepet itu? Kalau aku jadi parno sendirian gimana?"

Caca menenggakkan kepalanya untuk melihatku, "Halah. Bilang aja kamu mau aku temenin tidurnya."

Hehehe. Gue langsung terkekeh. Tapi tentu saja gue nggak serius. Meskipun sudah beberapa kali cuddle dengan Caca, gue belum pernah sampai menghabiskan semalaman bersamanya. Well, sesekali gue memang ingin Caca bermalam di tempat gue, tapi bukannya itu terlalu beresiko?

"Yaudah kalau gitu, kamu harus mau aku peluk selama nonton." Ujar gue, mengangkat kepala Caca di atas paha gue dengan lembut lalu mengatur posisi gue agar gue bisa ikut berbaring. Caca kemudian merebut remote dari tangan gue lalu memilih tombol play.

Ketika film mulai, gue sudah berbaring dan memeluk Caca dari belakang. Tiga puluh menit pertama selagi menonton film, kami masih saling berkomentar tentang filmnya. Tapi beberapa menit setelah itu gue mendengar dengkuran halus. Ketika gue lihat, ternyata Caca sudah tertidur.

Gue tertawa tanpa suara. Terpikirkan oleh gue untuk memotret wajah Caca yang sudah tertidur pulas seperti ini. Kemudian gue beranjak untuk mengambil handphone gue yang sudah gue silent sejak sampai di Atrium. Oh, ada banyak notifikasi. Grup kantor, grup Enam Hari, ada beberapa chat dari Mami dan... Jihan.

Sejak pertengkaran terakhir gue dengan Jihan beberapa hari yang lalu, baik gue maupun Jihan nggak pernah saling menghubungi. Hal ini lumrah terjadi jika gue dan dia sama-sama marah. Tapi, jarang sekali Jihan mengirimkan chat lebih dulu seperti ini. Apalagi, chatnya banyak sekali.

Almost Between Us (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang