Empat Puluh Enam

145 23 2
                                    

Brian

Enam tahun kemudian di Jakarta

"Loh, kenapa kamu nggak bilang aku dari tadi sih? Aku udah buru-buru ke rumah sakit dari kantor supaya nggak telat. Kalau tau kamu belum pulang kan bisa aku jemput," ujar gue sambil menutup pintu mobil.

"Aku juga kan lagi rapat dari tadi. Mana sempat liat handphone, Bri."

Gue berdecak sebal.

"Ini nih kenapa aku maunya kamu nggak usah kerja. Kamu kalau kerja nggak tau waktu sih,"

"Kok jadi bahas itu lagi sih? Udah sih, tenang aja. Dokternya tuh praktek sampe jam sembilan malam. Masih banyak waktu."

"Tapi kan kamu janjian sama dokternya jam tujuh."

"Iya dan ini masih jam enam, Brian. Telat sedikit juga nggak apa-apa. Paling ngantrenya agak lama aja."

"Terus gimana? Kamu mau aku jemput sekarang?"

"Ngapain? Jadinya bolak-balik dong? Udah, kamu tunggu aja di kafetaria. Aku sebentar lagi otw kok."

"Yaudah kalau gitu. Hati-hati."

"Iya, sayang."

Telepon ditutup lalu gue menghela napas panjang. Dengan langkah gontai, gue berjalan menuju lobby rumah sakit.

Ini bukan sekali atau dua kalinya istri gue terlambat untuk kontrol ke dokter karena pekerjaannya. Dan sejujurnya gue nggak suka.

Bukan nggak suka dia kerja, ya. Gue selalu membebaskan dia untuk melakukan apapun yang dia mau kok. Tapi dia sering menyalahgunakan kebebasan yang gue kasih. Contohnya ini, kerja sampai lembur.

Padahal, dokter udah bilang kalau istri gue nggak boleh terlalu capek.

Akhirnya gue memutuskan untuk menunggu istri gue di kafetaria, seperti yang telah gue janjikan. Kebetulan, letak kafetaria rumah sakit ini tidak terlalu jauh dengan poli kandungan dan kebidanan.

Tapi, begitu gue masuk ke dalam kafetaria, gue terkejut karena melihat seorang wanita yang sepertinya tidak asing. Wanita itu duduk di salah satu kursi kafetaria sambil mengelus perut besarnya.

"Caca?" ujar gue hati-hati setelah berjalan mendekat.

Wanita yang itu mengangkat kepalanya dan ekspresinya sama terkejutnya dengan gue.

"Loh? Kak Brian?"

Senyum kami lalu sama-sama merekah. Mana ada yang menyangka kalau kita akan bertemu lagi setelah... entahlah, mungkin sembilan tahun? Di rumah sakit dan dalam keadaan dia yang sedang hamil besar, pula.

"Duduk, Kak. Aduh aku lagi agak engap ni, sorry ya."

"Eh? Nggak apa-apa aku duduk di sini?"

"It's okay lah. Kamu apa kabarnya, Kak? It's been like ages!"

Gue kemudian menarik kursi di depannya dan duduk. Tatapan gue begitu takjub melihat Caca dengan perut besarnya. Memang badannya lebih besar, tapi kecantikannya sama sekali nggak memudar. Padahal, umur Caca pasti sudah hampir 35 tahun, kan?

"Aku.. ya, gini-gini aja sih. Kamu gimana? Mau periksa kandungan atau gimana?"

"Iya, biasalah kontrol rutin. Tadi agak panik sih soalnya agak kram. Tapi sekarang udah nggak terlalu."

"Berapa bulan, Ca?"

"Udah hampir delapan bulan sih ini, 31 minggu. Makanya agak degdegan." katanya sambil tersenyum dan mengelus perutnya.

Almost Between Us (Completed)Where stories live. Discover now