Delapan Belas

341 60 28
                                    

―Markus

Suasana langsung berubah menjadi canggung. Tiga pasang mata menatap gue dengan tatapan yang berbeda. Gue nggak bisa mengartikannya satu per satu karena terlalu sibuk mengatur tubuh gue yang bergetar karena gugup.

Okay, I admit it. Gue sebenarnya nggak berencana untuk propose di waktu ini. I mean, gue bahkan belum ngomong apa-apa sama Marisha sebelumnya. Terakhir kali ketika gue ingin membicarakan hal ini dengan Marisha adalah ketika Felix menelepon untuk dijemput di stasiun dan gue belum pernah punya kesempatan lagi sampai sekarang.

Tapi beberapa waktu yang lalu, pertanyaan itu keluar dari mulut Ayahnya Marisha. Pertanyaan yang sebelumnya nggak pernah ditanyakan oleh gue sekalipun. Ini kesempatan baik untuk gue, bukan? Gue bisa ngomong langsung ke orangtua Marisha sekaligus ke Marisha sendiri. Dua pulau dalam sekali dayung.

"Saya.. ingin menikahi Marisha, Yah, Bu"

Goddammit. I finally said that!

My mom must be proud of his son. I just proposed to the parents of a girl I love!

Gue menelan kembali saliva gue sambil tetap menjaga tatapan mata gue terpatri pada pria berusia lima puluh tahun di hadapan gue. Untuk beberapa detik, belum ada satupun yang merespons gue sampai akhirnya suara tawa Ayahnya Marisha memecah keheningan.

Nggak ada yang lucu memang. Tawa itu terdengar parau, jelas sekali dipaksakan. Ayah Marisha memang nggak pernah berbakat untuk berpura-pura.

Tapi berkat tawanya itu, suasana sedikit mencair. Ibu dan Felix ikut tertawa, walaupun bingung.

"Bagus kalau begitu" ujar Ayahnya Marisha. "Memang sudah waktunya kalian memikirkan untuk menikah, bukan?"

Mendengarnya, dada gue langsung terasa lega. Bukankah itu artinya Ayah Marisha memberikan gue restu untuk menikahi anaknya?

"Betul" Ibu menimpali. "Kalau Ibu sama Ayah sih pasti akan mendukung keputusan kalian"

Gue nggak bisa menyembunyikan perasaan bahagia gue. Gue tersenyum sangat lebar, mungkin terlihat seperti orang bodoh saat ini. Tapi ketika gue menoleh ke samping gue untuk menggenggam tangan Marisha, senyum gue memudar.

Marisha nggak sama sekali tersenyum. Pandangannya mengarah ke Ayah dan Ibunya, tapi tatapannya kosong.

"Ca..?" gue mamanggilnya hati-hati.

Nggak ada respons.

"Ca?" sekali lagi, gue panggil namanya, tapi kali ini sambil menyentuh punggung tangannya.

Marisha terkejut dan langsung terlihat bingung, "Iya, kenapa?"

Kenapa?

"Kumaha sih si Teteh?" Ibu terdengar siap mengomel. "Lagi serius begini, malah bengong!"

Marisha melirik gue sesaat, ada sedikit kekecewaan yang berusaha ia perlihatkan. "Maaf, Caca lagi agak capek. Caca izin ke kamar duluan ya, ngantuk banget"

Dan tanpa menunggu persetujuan dari kedua orangtuanya, Caca membereskan piringnya lalu pergi meninggalkan kami semua.

-

Perjalanan pulang ke Jakarta terasa sedingin Bandung.

Dingin. Terutama sikap perempuan di sebelah gue, yang sedari tadi hanya diam, setelah sebuah perdebatan yang cukup panjang.

"Aku nggak akan tau kamu kenapa kalau kamu cuman diemin aku ya, Ca" kata gue pada Marisha ketika mobil gue telah berhenti sempurna beberapa jam yang lalu. Tepatnya setelah dia mendiamkan gue meskipun gue sudah berusaha mengembalikan moodnya.

Almost Between Us (Completed)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant