Bab 3

14 2 0
                                    

BAB 3

Sesungguhnya memang yang dilakukan oleh Asta tersebut salah. Perasaan sayang dan kasih terus tertanam, tapi tidak pernah satu pun melihatnya. Masih menanggapi setiap kata demi kata dari Aldrin, Asta tidak pernah habis pikir.

Menikmati rindu. Itu yang diinginkan Asta.

"Lo mau dia kangen sama lo? Sejak kapan dia ada buat lo?" ketus Aldrin. Jelas saja sosok pria yang di depan Asta tersebut terpancing emosinya. Dari dulu memang perkataan Aldrin tidak enak untuk diserap. Sahabatnya satu itu akan mengecam siapa pun dengan kalimat pedas jika mengusik kedamaiannya, dalam kasus ini adalah Gara –pria yang mengganggu Asta, sahabatnya–.

"Seenggaknya dulu gue sama dia pernah bersama, Al. Saling canda hingga larut, melupakan waktu yang terus berjalan," lontar Asta. "Hingga kami lupa, bahwa hal itu belum tentu terulang kembali," lanjutnya sambil menampilkan wajah sesal. Seharusnya, dulu dia menikmati waktu kebersamaannya dengan Gara.

"Lo tau, nggak? Gue tuh capek sama lo. Kehidupan percintaan lo memang nggak beruntung. Tapi bukan berarti lo harus stasis di satu hati yang nggak pasti. Ta, hidup lo masih panjang, lo harus nikmatin segala alur yang terjadi. Lo jadi dokter sejauh ini penuh perjuangan, tapi kenapa lo tiba-tiba jadi bego karena cinta, sih?" sindir Aldrin. Lihat, kan? Aldrin tidak akan pernah tanggung dalam menampilkan rasa tidak sukanya.

"Kayak lo nggak pernah jatuh cinta aja, sih, Al? Dari awal lo sama Arin emang udah nggak suka sama Gara, kan?" protes Asta. Ya Tuhan, kenapa mereka masih memperdebatkan hal yang sudah lalu?

"Memang. Kenyataannya gue sama Arin nggak senang sama Gara. Kalau Gara pria yang baik, dia pasti nawarin komitmen dengan status, bukan bisanya deketin lo doang, terus dia pergi gitu aja. Ghosting itu namanya." Aldrin menatap lekat netra milik sahabatnya. Dia tahu ini keterlaluan, tapi ini yang terbaik untuk Asta. "Lo harus lupain dia, mulai hidup lo dengan hal yang baru. Buka hati lo, jangan pernah berharap kalau dia jodoh lo," lanjutnya.

"Dia cuma ragu," jelas Asta. Netranya terpejam, menarik napas dalam, seakan oksigen di dalam tubuhnya semakin menipis.

Bodoh sekali jawaban Asta. Menjadi bahan bakar untuk memancing emosi Aldrin.

"Dia nggak bakalan ragu kalau dia memang cinta sama lo. Dia nggak bakalan pergi kalau dia menjadikan lo prioritasnya. Kalau pun dia ragu, kembali ke tujuan awal. Ragu itu akan hilang seiring rasa cinta yang semakin tinggi. Sekarang lo dah tau jawabannya?" tegas Aldrin. Sekalian saja emosinya dia sampaikan.

"Iyeee, gue tau. Ah, Lo berisik banget, sih. Masih pagi, mood gue masih bagus, jadi jangan dirusak."

"Ni bocah dibilangin juga masih ngeyel. Lo weekend ini ada jadwal, nggak?" tanya Aldrin sambil menikmati soto ayam yang hampir mengering kuahnya.

"Kenapeee? Lo mau ngajak jalan?" celetuk Asta. Sesekali dia meneguk minum yang dipesannya. Melirik arloji yang terpasang di tangan kanannya. Sudah berapa lama dia meninggalkan IGD? Semoga saja Arin tidak marah. Asta terlarut dalam pembicaraannya dengan Aldrin.

"Gue ada tawaran jaga klinik hotel. Kebetulan gue akhir minggu ini ada acara, jadi nggak bisa jaga di sana. Lo mau?" tawar Aldrin. Sejak tadi ponselnya sibuk bergetar, namun diabaikan. Isinya hanya seputar jadwal jaga yang perlu dikonfirmasi ulang. Tapi Aldrin tidak peduli, untuk saat ini situasi kebahagiaan hati Asta yang utama.

"Sebentar, gue lihat jadwal gue dulu. Lo tau kan gue juga ngajar bimbel adik tingkat," jawab Asta.

Tentu saja Aldrin tidak lupa. Sikap rajin Asta semenjak kuliah membawanya lolos menjadi salah satu tutor bimbingan belajar untuk mahasiswa kedokteran, sekaligus memang sikapnya yang banyak bicara dan suka mengajar. "Gue bisa, jaga jam berapa?" tanya Asta.

"Jam sembilan pagi sampai jam satu siang, bisa kan lo? Nanti gue share location ke lo."

"Siap, Bos Aldrin! Ya udah, gue balik dulu ke IGD sebelum Arin ngomel-ngomel karena gue tinggal lama," pamitnya.

"Salam buat Arin. Bilangin tuh sama dia, suruh mandi yang bersih, pasiennya baik-baik aja."

"Sialan!"

Hanya candaan kecil yang memenuhi persahabatan mereka. Bagi Asta, hanya Aldrin dan Arin yang bisa mengerti keadaannya saat ini. Segala sesuatu sejak zaman kuliah selalu ia ceritakan kepada kedua sahabatnya itu. Termasuk saat ada lelaki yang mendekatinya. Gara.

Lelaki yang sempat membangun kembali kepercayaannya yang sempat runtuh. Lelaki yang berhasil membuatnya bangkit dari rasa kecewa, tapi justru lelaki itu pula yang mengembalikan keadaan hatinya menjadi hancur lagi.

"Buat lo juga, gue masih punya pesan. Kalau lo udah siap buat buka hati, kalau lo udah berani menerima kenyataan, gue selalu ada buat lo. Lo bisa sama gue. Kita sama-sama jomlo. Nggak masalah kalau bersama. Hahaha," candanya menuai tawa. Hanya untuk dirinya sendiri.

"Buset, dah! Ogah gue! Jadi sahabat lo aja gue harus punya stok kesabaran yang ekstra. Apalagi kalau jadi pacar lo? Nanti kita nggak bisa jadi triple A lagi, dong," ejek Asta. "Males gue pacaran sama sahabat sendiri," sahutnya lagi.

"Nggak usah memendam benci sama gue terlalu dalam, Ta. Kalau lo jatuh cinta sama gue, bisa ribet. Arin nanti jadi pengin, hahaha!"

"Sumpah demi Tuhan, lo dari zaman dulu masih aja percaya diri. Lo mending buruan balik ke bangsal, deh. Di IGD ada pasien kondisi kurang stabil di ruang resusitasi, biasa pasiennya si Arin. Kalau pasiennya udah stabil siap-siap lo nerima pasien itu di bangsal," ingatnya. Sekarang giliran Asta yang mulai mengejek.

"Ya gue nggak masalah. Asal pas pindah ke bangsal pasiennya udah bener-bener stabil. Pasien apa, sih?" tanya Aldrin.

"KEPO!" Asta menjulurkan lidahnya seraya langsung berlari meninggalkan Aldrin. Rasakan! Biarkan saja Aldrin dalam rasa penasarannya.

Sembari kembali ke IGD, setiap langkah kaki Asta masih memikirkan ucapan Aldrin. Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, sudah ada dua orang yang berpendapat sama. Dena dan Aldrin. Mereka sama-sama ingin Asta membuka hatinya kembali. Lalu, bagaimana bisa dia membuka hatinya saat kepingan masa lalunya belum selesai?

Sebenarnya dengan mencoba untuk melupakan Gara adalah salah satu usaha terbaik yang bisa Asta lakukan saat ini. Tapi tidak dengan membuka hatinya kembali. Jujur, Asta menjadi trauma kembali. Dulu saat Asta ditinggalkan oleh orang terkasih, muncul Gara menawarkan rasa nyaman. Asta terlalu yakin bahwa Gara akan membuat keadaannya hatinya membaik. Nyatanya ... Gara pun sama dengan yang lain. Lalu, bagaimana bisa dia mempercayakan hatinya kembali pada orang lain? Jaminan apa yang didapatkan agar hatinya tidak patah lagi?

Selain ada rasa nyaman, setidaknya ada rasa aman dalam setiap hubungan karena ada kata A-M-A-N dalam kata N-Y-A-M-A-N.

Susah untuk dijelaskan perasaan seperti apa. Perasaan ingin pergi, tapi ada yang mencegah. Kecewa terhadap orang lain itu hal biasa, setidaknya kita belajar untuk tidak terlalu berharap kembali. Akhirnya kita semua pasti akan patah hati, terutama masalah cinta. Satu hal yang perlu diingat. Rasa kecewa dan patah akan berbuah menjadi cita dan cinta yang nyata.

Kepada Hati yang sedang PatahWhere stories live. Discover now