BAB 24. Tunggu aku bangun.

Mulai dari awal
                                    

Mata Devan basah. Tangannya mendadak gemetar tatkala Leana kembali menyingkap bajunya. Leana menempelkan silet yang dingin di punggungnya. Punggung Devan sudah perih, mau berapa luka lagi yang akan Leana ukir?

"Kerja yang lebih rajin, Devan. Jangan malah sibuk kencan sesama jenis di agensimu. Ibu sudah menjual motormu untuk bertahan hidup, tapi masih kurang. Ibu tercekik hutang-hutang ayah sialanmu itu. Kurang, Devan Adinata. Ibu tidak tahu ke mana lagi harus mencari uang."

Air mata Devan yang sejak tadi ia tahan, mendadak luruh. Ia tidak melawan, Devan tidak berani melawan. Dia menyayangi ibunya, tapi di saat yang bersamaan dia juga membenci ibunya. Devan takut kehilangan ibunya, tapi Devan juga takut pada ibunya yang seperti ini. Jemari Devan mencakar permukaan lantai marmer, tubuhnya menegang kala ibunya kembali menggoreskan silet pada punggung Devan. Tangan satunya ia gunakan untuk menutup mulut agar tidak merintih kesakitan. Devan menjerit dalam hati, tahan sebentar. Hanya sebentar.

"Kenapa tidak bersuara, Sayang? Kamu tidak mati, 'kan? Ibu mau mendengar rintihanmu agar bisa kembali tersenyum. Kalau kamu mati, siapa lagi yang jadi kebahagiaan ibu?"

Devan sudah bilang, ibunya rusak. Ibunya sudah gila. Leana melukai orang lain ketika ia merasa tertekan. Leana bahagia ketika melihat darah dari mainan-mainannya mengalir, Leana bahagia ketika mendengar mainannya merintih kesakitan.

Devan baru meloloskan rintihannya ketika ibu melukai punggungnya lebih dalam. Demi Tuhan, rasanya sakit sekali. Ia terisak, tangannya masih mencakar-cakar lantai marmer untuk melampiaskan rasa sakitnya.

Leana tersenyum. "Mati perlahan ... seperti digigit ular. Bisanya pun menyebar perlahan, tapi sakitnya absolut, kan, Devan? Jangan mati dulu sebelum ibu menemukan mainan baru."

Devan memang belum mengenal Sena saat mendengar Aksa bercerita pada Leana caranya memperlakukan Sena. Devan awalnya memaklumi karena mungkin Sena memang merepotkan. Tapi, Devan tetap kesal melihat orangtua yang menyakiti anaknya sendiri, sekali pun Aksa melakukannya secara tidak sadar karena trauma.

Akan tetapi, pagi ini, Devan rasa ia sudah mengenal Sena ketika menumpahkan tangisnya dalam dekapan Sena sampai ia terlambat berangkat sekolah. Devan memahami alasan Ares menjadikan Sena sebagai tamengnya. Devan baru paham. Ia baru menyadari bahwa presensi Sena memang sebegitu kuatnya sekali pun fisiknya tidak. Kedua bahu Sena yang kelihatannya tampak rapuh ternyata begitu kokoh.

Sena mengeratkan pelukannya. Bingung harus bereaksi bagaimana setelah Devan meminta pertolongan padanya melalui isyarat tangan.

Devan berbisik pelan. "Tolong."

***

Hari ini Sena operasi.

Ranjangnya didorong memasuki pintu ruang operasi. Desas-desus ricuh rumah sakit perlahan menghilang. Kepala Sena dipenuhi banyak pertanyaan akan apa yang terjadi kemarin-kemarin. Sena masih tidak mengerti apa yang tengah terjadi di keluarganya.

Setelah pertengkaran Leana dengan Devan, semua kembali baik-baik saja. Ares dan Devan bahkan menemani Sena bercengkrama di menit-menit sebelum jadwal operasinya.

Tidak ada air mata. Hanya obrolan ringan atau candaan payah di antara ketiganya. Perdebatan Sena dan Ares tentang anjing dan kelinci juga masih bisa-bisanya mereka ungkit. Aksa dan Leana juga tidak banyak berbicara. Tidak ada yang terjadi.

Lampu ruang operasi dihidupkan. Perawat memasangkan masker khusus dengan selang panjang untuk anestesi. Sena mengikuti instruksi perawat. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya. Sena menatap langit-langit ruang operasi sembari terus menarik dan menghembuskan napas berulang kali.

Mata Sena berkedip lambat ketika obat biusnya mulai bekerja. Kedua matanya terpejam. Jemari tangannya melemas. Hal terakhir yang Sena ingat sebelum ia benar-benar tertidur adalah wajah Ares, Devan dan Aksa saat berkata padanya bahwa ia tidak boleh tidur terlalu lama. "Jangan tidur terlalu lama. Cepat bangun," kata Ares tepat sebelum ranjang Sena didorong menuju ruang operasi.

Tunggu. Tunggu aku bangun.

Masker khusus anestesi yang terpasang di wajah Sena diangkat. Dokter membuka mulut Sena, memasukkan selang dari mulut menuju paru-paru. Beberapa perawat memasang kabel serta selang di beberapa titik tubuh Sena. Mereka membentangkan kain hijau, mempersiapkan operasi.

"Detak jantung normal. Denyut dan tekanan darah juga normal."

Dokter spesialis bedah lantas menghela napas. "Kita mulai operasinya."

"Pisau bedah."

Selang satu jam usai operasi berlangsung, darah tiba-tiba terciprat pada masker serta baju operasi yang dokter kenakan. Perawat menoleh, menatap monitor EKG yang garisnya bergerak cepat. Tempo bunyi 'bip' pada monitor EKG semakin cepat. Darah merembes, Sena tiba-tiba mengalami pendarahan.

"Tekanan darah pasien semakin menurun, Dok."

"Denyut pasien menurun."

Darah lagi-lagi terciprat. Bunyi monitor EKG memenuhi seluruh penjuru ruang operasi. Mata Sena masih terpejam, mulutnya terpasang selang. Setetes air mata tiba-tiba luruh dadi ujung pelupuk mata kanan Sena.

Tunggu. Tunggu aku bangun.

 Tunggu aku bangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalian percaya Sena, kan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalian percaya Sena, kan?

Detak. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang