BAB 23. Diam.

Mulai dari awal
                                    

"Ares?"

Ares menoleh, menatap Leana yang meletakkan gelas berisi air di meja belajar kamar Ares. Kedua netra Leana menangkap benda mengkilap yang terselip di tempat alat tulis Ares. Tangannya meraih cepat silet tersebut, menggenggamnya diam-diam.

"Ada apa, Bu?"

Leana menoleh ke kanan dan ke kiri. "Ibu dengar di agensi modelling-mu, Devan sudah dikenal gay, ya?"

Ares meletakkan ponsel saat Leana duduk di sampingnya. Ia menjawab dengan ragu. "Iya."

"Ibu juga dengar kalau kamu ikut di-bully karena berteman dengan Devan, ya?"

Ares hanya menghela napas, ia mengulum bibir. "Ya. Tapi, ada Kak Sena. Setidaknya kalau ada Kak Sena, mereka tidak berani mem-bully."

"Tapi, besok lusa Sena sudah operasi. Butuh waktu satu hari untuk bangun dari bius total dan butuh waktu sekitar hampir satu bulan lamanya untuk pemulihan pasca operasi. Artinya, Sena tidak bisa melindungimu," jelas Leana.

Ares mengernyit, ia tatap Leana dengan bingung.

"Kamu tidak takut operasi Kakakmu gagal, Ares?"

Ares sontak diam seribu bahasa, jantungnya berdebar kencang. Leana mengulum bibir, menatap silet yang ia genggam.

"Kalau Sena pergi bagaimana? Sena sepertinya punya peran sebagai tameng agar mereka berhenti mem-bully, ya?"

Ares memalingkan wajah, tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Leana. Kamar Ares lengang sesaat.

Leana lanjut berbicara. "Kamu saja yang pergi, bagaimana?"

Ares sekonyong-konyong berdiri dari duduknya usai mendengar tawaran Leana. Tangannya yang gemetar ditahan oleh Leana. Ares menoleh.

"Kata Ayah, kamu sering melakukan percobaan bunuh diri, ya? Dosa, Sayang. Jangan mencoba bunuh diri lagi."

Leana melirik pada pintu kamar Ares yang masih terbuka kemudian kembali menatap Ares.

"Ibu bicara apa, sih?" tanya Ares pelan.

"Maka dari itu, biar Ibu yang menanggung dosanya."

Ares sontak menarik paksa tangannya sampai genggaman Leana terlepas. Ia memundurkan langkah kala melihat Leana membolak-balikkan silet di tangan kirinya. Leana menoleh. "Rasanya kurang seru kalau kamu bunuh diri, Antares. Jadi mainan Ibu dulu. Mau, ya?"

Leana cepat-cepat berdiri kala melihat Ares tiba-tiba berbalik dan berlari menuju pintu kamar. Tangannya menahan tangan Ares sedangkan Ares berulang kali menepis tangan Leana. Ares berlari, meraih gagang pintu kamar.

Brak!

Leana menutup pintu kamar Ares ketika menyadari tangan Ares sudah menyentuh gagang pintu.

Cklek.

Ares lagi-lagi mundur, menjauh dari pintu tatkala Leana mengunci pintu kamarnya. Kunci kamar Ares dilempar ke sembarang tempat. Leana berbalik, menghadap Ares yang tidak jauh darinya.

Napas Ares terengah-engah. "Apa mau Ibu?"

"Mau mencoba mati, Ares? Tapi, dengan tangan Ibu, agar kamu tidak perlu repot menanggung dosanya."

Tangan Ares gemetar bukan main. "Memangnya Ibu bisa melakukan itu?"

Leana tersenyum.

"Devan sudah sering, tanyakan saja. Ibu sudah bosan menjadikannya mainan Ibu. Sudah tidak seru lagi."

Ares menyela cepat. "Tapi, Devan masih hidup."

Leana terkekeh. Ia menempelkan silet pada kulit lengannya. Menggores permukaan kulitnya dengan benda pipih tersebut. Kepala Ares mendadak pening, dahinya mengernyit. Kedua netranya melihat langsung darah yang mengalir dari sana.

"Memang masih hidup. Kalian, kan, cuma jadi mainanku. Sumber kebahagiaanku. Kalau kalian mati seperti suami pertamaku, siapa yang jadi mainanku? Mati yang kumaksud adalah mati perlahan seperti digigit ular, Ares. Bisanya menyebar dengan lambat, namun sakitnya absolut."

"AYAH, PINT---"

Leana sontak membekap mulut Ares kala pemuda berumur tujuh belas tahunan itu mendadak berteriak. "Jangan macam-macam, Sayang. Jangan berteriak, jangan membocorkan hal ini pada siapa pun, okay?"

Suara Aksa menggema di balik pintu. "Ares, ada apa?"

Leana melirik pintu kamar Ares kemudian berdecak kesal.

"Kak Aksa, sebentar. Ares hilang kendali lagi."

Ares membelalak bersamaan dengan Aksa yang meninggikan intonasinya panik. "Leana?! Ares, buka!"

Ares menepis tangan Leana cukup keras, tidak peduli lagi akan tata krama. Air matanya menganak, Ares berlari menuju pintu kamar namun Leana lagi-lagi menahan tangannya. Leana membalikkan paksa Ares yang memberontak.

PRANG!

Gelas di meja belajarnya jatuh, pecah berkeping-keping karena tersenggol lengan Ares. Aksa menggedor pintu kamar Ares seraya berteriak. "Ares!"

Leana mendorong Ares sampai Ares jatuh terduduk di dekat ranjang.

Leana berbisik. "Kamu mau Sena yang Ibu jadikan mainan?"

Ares mengatupkan mulut. Kepalanya pening. Tangan Ares gemetar. Ares menarik rambutnya pelan, menggeleng heboh. "Tidak, jangan Kak Sena."

Leana menoleh kala menyadari Aksa mulai mendobrak pintu. Ia duduk di hadapan Ares, ia tarik badan Ares mendekat dan merengkuhnya.

"Makanya, kamu harus diam selama kamu jadi mainan Ibu."

Ares terisak. "Kak Sena ... jangan."

BRAK!

Leana sontak merubah raut wajahnya kala mendengar suara pintu kamar Ares yang berhasil Aksa dobrak. Leana menepuk punggung Ares pelan. Napas Ares tersenggal, isaknya memenuhi seisi kamar.

"Ssst. Ares, sudah. Tidak apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa," ucap Leana.

______________Notes :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

______________
Notes :

*) Isyarat tangan yang Devan tunjukkan pada Sena adalah isyarat meminta tolong dan memberitahukan bahwa ada kekerasan dalam rumah/KDRT.

💅💅💅

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

💅💅💅

Detak. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang