"Siap-siap, Senarai. Sebentar lagi Ibu antar kamu ke rumah sakit. Jangan terlalu banyak pikiran, lupakan saja yang tadi, ya? Kalau kondisimu menurun, operasinya bisa batal karena kamu drop."

"Hu-um." Sena berdeham mengiyakan seraya menatap punggung Leana yang menjauh dan menghilang di balik pintu kamar Aksa.

Kepala Sena tertoleh, ditatapnya Devan yang ternyata sudah merosot ke lantai dengan mata dan pipi yang basah karena air mata. Devan menunduk kala menyadari Sena menatapnya, tangan kanan Devan meraih kunci motor milik Ares yang terjatuh di lantai.

Devan mengangkat kepalanya saat Sena berjongkok, menyamakan tingginya dengan Devan. Sena menghela napas, berucap pelan. "Devan?"

Tidak disangka-sangka, tangis Devan justru pecah kala Sena menyebut namanya. Devan menyandarkan punggungnya pada dinding dengan kaki yang tertekuk. Siku Devan bertumpu pada lututnya. Devan menutup wajahnya dengan telapak tangan dan meredam isaknya.

Sena sontak panik. Ares dan Devan sama saja. Sena bingung setengah mati karena tangis keduanya selalu mendadak pecah setiap menatap wajah Sena.

Sementara itu, air mata Devan makin meledak tak terkendali kala Sena berusaha menenangkannya. Sena mengusap rambut Devan lembut, menepuknya pelan.

Devan bergumam dengan suara bergetar. "Jadi, seperti ini, ya ... rasanya memiliki Kakak, dilindungi Kakak ..."

"Apa? Suaramu tidak jelas, Van."

Sena mengernyit, mendekatkan telinganya pada Devan agar ia bisa mendengar lebih jelas semua yang Devan ucapkan. Namun, Devan justru menggeleng. Ia cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi pipi dan mengatur napas. Sena menatap nanar Devan kemudian menjauhkan tangannya.

Devan menatap kedua mata Sena kemudian memalingkan wajah. Pantas saja Kak Ares menjadikan Kak Sena sebagai tameng untuk melindungi dirinya sendiri.

Devan bergeming beberapa saat kemudian memanggil Sena pelan. "Kak Sena."

"Iya?"

Devan menoleh. Ia mengangkat tangan, menunjukkan telapak tangannya pada Sena dan Sena lantas menautkan kedua alisnya tidak mengerti. Devan menggigit bibir, matanya kembali berkaca-kaca. Ia menempelkan ibu jarinya pada telapak tangan kemudian menggenggamnya. Devan mengulanginya dua kali bersamaan dengan air mata yang terus meluruh dari kedua manik Devan.

Sena sedikit melebarkan mata, paham maksud Devan.

Isyarat tangan yang Devan lakukan adalah isyarat yang memberitahukan bahwa ia mengalami kekerasan*. Devan meminta tolong.

Sena lantas menarik Devan mendekat kemudian merengkuhnya. Devan meredam napasnya yang tersenggal pada bahu Sena.

Sena berbisik. "Siapa?"

Mata Devan terpejam, ia benamkan wajahnya pada bahu Sena.

"Ibu."

***

Satu hari sebelumnya,

"Van, tolong sampaikan pada Kak Sena, jangan lupa minum obat."

Malam itu, sang ayah---Aksa resmi menikah dengan Leana. Ares sudah mengganti pakaiannya dengan t-shirt hitam dan celana olahraga setinggi lutut. Sementara itu, Devan masih mengenakan jas, belum mengganti pakaian.

"Yaaaa, ya."

Devan lantas merengut sebal, ia berdiri dari bangku meja belajar Ares. Langkahnya sempat terhenti saat berpapasan dengan Leana yang masih mengenakan gaun pernikahannya.

Devan melirik Leana yang melewatinya begitu saja dan masuk ke kamar Ares. Mau apa Ibu ke kamar Kak Ares?

Leana menghampiri Ares yang tengah duduk di tepi ranjang seraya memainkan ponselnya. Devan berbalik, melangkah menuju kamar Sena tanpa mengucap sepatah kata apa pun.

Detak. ✔Where stories live. Discover now