THIRTY FIVE

456 131 30
                                    

Meili mendengus kesal. Hal itu karena yang mengobatinya dengan obat salep di tengkuknya pada malam itu tidak lain tidak bukan adalah Jung Hoseok.

"Mengapa kau selalu marah-marah setiap kali aku merawatmu dengan tulus? Apakah aku berbuat kesalahan?" tanya Hoseok sembari mengoleskan obat lumur yang dingin ke tengkuk Meili. Jemarinya memijat sang gadis dengan penuh kehati-hatian.

Meili mendesah kecewa. "Dimana Anna? Biasanya dia yang melakukan ini."

"Dia sibuk di dapur. Anna yang menyuruhku ini," jawab Hoseok.

Meili mendecak. Akhirnya ia tidak berkata apapun lagi. Ia biarkan Hoseok menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Hingga sebuah pikiran terlintas di kepala Meili. "Ho-Hoseok," panggilnya.

"Hm?"

Meili tidak yakin haruskah ia melanjutkan percakapan ini atau tidak. Namun, mulutnya yang memutuskan ketika Meili bicara, "Ketika kau pergi menemui Yang Mulia Raja Park Jimin, apa yang kalian bicarakan?"

Hoseok menutup wadah obat rapat-rapat dan menyimpannya di meja nakas. Lalu tangannya mengambil sebuah sisir untuk menyisir rambut panjang Meili. Sebuah senyum mengembang setelah mendengar pertanyaan dari gadis di depannya.

"Kenapa? Kau takut aku pergi mengambil pekerjaan ayahku?"

Seketika Meili menyesal sudah bertanya. Ia menggerutu lagi. "Tentu saja, tidak. Bukankah itu adalah tujuanmu datang padaku dua bulan lalu?"

Senyum Hoseok melembut. Pertanyaan Meili memang menarik Hoseok ke dalam kenyataan. "Kau benar."

Hoseok tidak sanggup melihat wajah Meili dari posisinya yang duduk di belakang gadis itu. Namun, Meili sendiri mungkin tidak sadar ketika ekspresinya jatuh.

"Jadi," Meili menjilat bibirnya. "Kau benar-benar akan kembali ke bawah? Kapan kau pergi?"

Hoseok menghembuskan tawa. "Aku putuskan untuk tidak kembali."

"Apa?" Meili berkedip dan matanya membulat. "Kenapa?"

"Kenapa? Kau tidak suka aku ada di sini bersamamu?" Hoseok tertawa dengan jelas.

"Bu-bukan begitu. Aku hanya bertanya apa alasannya. Jika kau tidak kembali, artinya kau melepas dua hal yang ayahmu tawarkan."

Hoseok menyimpan sisir di meja nakas begitu rambut Meili selesai disisir. Lalu ia menghembuskan napas. "Kau benar juga."

"Apa rencanamu, Seok?"

Hoseok menelan ludah. Sewaktu memenuhi undangan Jimin, Hoseok memang tidak katakan apapun pada Meili. Bahkan tentang rencana yang dia pilih.

"Aku ingin membuat sekolah denganmu, Mei," aku Hoseok kemudian.

"Apa katamu?" Meili memutar tubuhnya pelan-pelan. Sekarang dia sudah menghadap Hoseok. Ketika Hoseok melihat wajahnya, ada sirat terkejut di mata Meili.

"Aku... aku ingin kita membuat sekolah bela diri di sini. Aku juga meminta Jimin untuk membangun fasilitasnya. Jimin sudah setuju. Pihak istana sedang menunggu instruksi dariku sebelum mulai mengeksekusi."

"Tunggu, Hoseok." Meili mengangkat telapak tangannya. "Kau ingin membuat sekolah? Denganku?"

Hoseok mengangguk. Matanya memandang Meili penuh harap.

"Mengapa kau baru bilang sekarang?" Meili menghembuskan napas kasar. "Me-Mengapa kau tidak diskusi dulu denganku?"

Hoseok menelan ludah. Firasatnya mulai tidak enak.

"Aku pikir tidak akan menjadi masalah karena kau memanglah seorang guru. Aku hanya ingin ilmu yang kau berikan bisa dinikmati oleh semua orang," adalah alasan Hoseok.

[jhs] Apprentice of Evil ✔Where stories live. Discover now