NINETEEN

595 158 102
                                    

Seokjin tidak sempat mengetuk ataupun bersujud sebagai tanda salam kepada sang Raja. Napasnya tersengal. Di ujung lidahnya sudah terdapat berita besar untuk sang penguasa kerajaan Timur tersebut.

Beruntung suasana hati Taehyung sedang bagus pada pagi hari itu. Ia sedang menikmati sarapannya di atas kasur. Keningnya membuat kerutan halus saat Seokjin muncul ke dalam area pandangnya.

"Ada apa, Seokjin?"

Seokjin terengah-engah di hadapan Taehyung akibat berlari cepat dari komplek rumah Ibu Suri menuju istana utama. Setelah beberapa saat mengais udara, barulah ia laporkan semua hal yang ia lihat.

Tentang Jungkook, Jieun, dan kesepakatan mereka.

Taehyung mengangkat sebelah alis. Dua telinga mendengarkan dengan baik.

"Bagus," komentarnya. Ia mengambil sumpit yang sempat ia abaikan selama Seokjin cerita. Sumpitnya menggenggam sejumlah butir nasi dan memasukkannya ke dalam mulut dengan suka cita. Suasana hati Taehyung jelas menjadi semakin baik daripada sebelumnya.

"Biarkan dia pergi. Biarkan Jungkook selesaikan apa yang ia harus lakukan. Setelah roh gila ini keluar, aku ingin ibuku dibawa ke Bawah."

Kening Seokjin mengerut. "Ke Bawah, Yang Mulia?"

Taehyung mengangguk, menjawab keraguan dalam wajah Seokjin. "Ya. Ke Bawah. Terkunci jauh di bawah, jangan sampai ia keluar lagi."

"U-untuk apa, Yang Mulia?" Seokjin meneguk ludah.

Taehyung menurunkan sumpit. Wajahnya serius jauh melebihi yang biasanya. Tatapannya lurus ke arah Seokjin yang merinding di tempat.

"Ibuku adalah ancaman," putus Taehyung mantap. "Kehadiran Jieun adalah bukti kecerobohan perbuatannya. Jika saja ibuku disimpan di tempat yang lebih aman, kerajaan ini akan aman."

"Yang Mulia," Seokjin angkat bicara. "Maafkan aku jika salah, tetapi Jieun adalah ancaman. Bukan Yang Mulia Ratu Agung."

"Mereka sama saja." Taehyung membuang muka. "Lakukan saja apa kataku. Aku tidak terima penolakan, Kim Seokjin."

Seokjin menelan ludah lagi. Mendengar bagaimana rajanya menyebut namanya dengan lengkap, Seokjin tak bisa untuk tidak jatuh berlutut.

Pandangan lurus ke tanah. Napas keluar penuh rasa takut.

"Siap, laksanakan, Yang Mulia."

Atas itu, Seokjin dikirim pergi. Nasib Kim Taeyeon ada di tangannya.


***


Meili memutar cairan berwarna merah cerah di dalam gelasnya.

Ia belum mabuk.

Tidak, ia tidak bisa mabuk. Toleransinya terhadap alkohol terlalu tinggi. Ia bisa minum berapa botol pun yang dia mau. Tapi alkohol memang bukan favoritnya jadi Meili tak pernah menemukan masalah apapun saat minum.

Berbeda dengan Hoseok yang sudah tampak kacau.

Wajahnya merah padam, jauh dari yang biasanya. Bahkan pipi kirinya yang bengkak tampak lebih merah. Bicaranya sudah tak koheren dan dia mungkin bisa pingsan jika terus dilanjutkan.

Setelah meminta untuk minum bersama, Hoseok tak katakan apapun. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Yang ia lakukan hanya menenggak satu per satu gelas anggur yang tak pernah berhenti ia isi ulang.

Meili menghitung, ini sudah gelasnya yang ketujuh. Meili bahkan belum menghabiskan gelasnya yang pertama.

Sang gadis tentu tak mengerti apa alasan Hoseok ingin mabuk malam ini. Besok masih ada latihan keras yang Meili rencanakan untuknya. Seharusnya Hoseok istirahat. Begitu pula Meili.

[jhs] Apprentice of Evil ✔Where stories live. Discover now