TWENTY EIGHT

464 133 51
                                    

"Kau suka boneka?"

Hoseok menunjuk sebuah kios yang memajang boneka-boneka yang terbuat dari kayu. Ada yang berbentuk binatang, bunga, bahkan bentuk manusia yang dipahat rapi seperti seorang putri berbaju cantik atau pangeran yang gagah.

Meili mengerutkan kening. Di tengah-tengah boneka-boneka itu ada tiga papan panah kecil. Ia tidak paham apa maksud kios itu. Dan lagi, jika Hoseok bertanya apakah Meili menyukai boneka atau tidak...

"Aku tidak pernah punya boneka." Begitu jawaban Meili. Gadis itu menatap aneh masing-masing boneka di sana.

Hoseok memandang Meili tak percaya. "Benarkah? Satu kali pun? Seumur hidupmu?!"

Meili menjawab dengan anggukan kepala.

"Lalu, bagaimana dengan boneka yang selalu ada di taman?"

Bola mata Meili berputar malas. "Boneka itu selalu hancur setiap minggu sebagai teman latihan. Itu tidak bisa dikategorikan sebagai boneka yang seperti ini." Meili menunjuk ke dalam kios.

Hoseok terdiam. Di kepalanya terus mempertanyakan, bagaimana bisa seorang gadis tidak pernah main boneka seumur hidupnya?

Menatap kios permainan di hadapannya, Hoseok langsung membuat sebuah keputusan. "Aku akan memenangkan boneka itu untukmu. Yang mana yang kau suka?"

Kening Meili mengerut di detik Hoseok menghampiri kios permainan yang dalam dua menit terakhir berada di hadapan mereka. Pria itu terlihat bersemangat.

"Hei, aku... aku tidak pernah suka boneka." Meili menarik kain baju Hoseok, hendak menghentikannya.

Namun, Hoseok sudah bicara dengan pemilik kios, entah membicarakan apa. Lalu dua buah keping emas keluar dari saku Hoseok dan diberikan kepada si pemilik kios.

"Oh, ayolah. Tidak suka bukan berarti benci, kan? Cepat pilih yang mana."

Meili mengeluh di balik punggung Hoseok. Tapi ia tetap melihat-lihat ke dalam kios, mencari apa yang sesuai dengan seleranya.

Ia menghela napas berat, pertanda tidak setuju dengan apapun yang Hoseok putuskan. Namun, Meili tetap menunjuk sebuah boneka di ujung sebelah kanan, memiliki bentuk seorang gadis kecil mengenakan pakaian tradisional Kerajaan Timur seperti yang ia kenakan sekarang.

"Yang itu? Baiklah." Hoseok mengangguk-angguk. "Berapa poin yang harus kudapatkan untuk mendapatkannya?" ia bertanya pada pemilik kios.

"Lima puluh poin." Si pemilik kios mengangkat kelima jarinya. "Kau punya dua kesempatan. Lima puluh poin jika kau mendapatkan tepat sasaran di tengah satu kali."

Hoseok ber-oh pelan. Ia pun mengambil satu anak panah pendek yang tersedia. "Aku tidak boleh latihan?" tanyanya lagi. Pemilik kios pun menggeleng sebagai jawaban.

"Hei, Hoseok. Aku masih berpikir ini tidak perlu." Meili berkata dari belakang. "Kau membuang uangmu. Lebih baik jika kita--"

"Shush. Aku sedang konsentrasi." Hoseok menyela. Tampak bagaimana ia mulai memasang kuda-kuda dan bersiap meluncurkan anak panah di tangannya.

Meili menghela napas lagi. Hoseok tidak akan pulang dalam waktu dekat, sepertinya. Itu sebabnya Meili lebih tertarik untuk melihat sekelilingnya yang masih ramai.

Memerhatikan para pengunjung yang bukan hanya pribumi, pandangan Meili jatuh pada seorang pria setengah baya yang sedang berbincang dengan koleganya. Di pinggang pria itu ada sebuah pedang disarungkan.

Meili menengok ke arah Hoseok, melihat perkembangan pria itu. Satu anak panah sudah diluncurkan dan sama sekali tidak dekat menuju tengah. Poin yang ia punya hanya sepuluh. Butuh empat puluh poin lagi supaya bisa memenangkan boneka.

[jhs] Apprentice of Evil ✔Where stories live. Discover now