DUA

211 49 46
                                    


#02 || 1120 words

Otakku masih berusaha memproses apa yang terjadi dan aku betul-betul bingung atas apa yang sedang kulihat dalam jarak setengah meter di depan. Kucoba mencubit lenganku dengan keras, siapa tahu hanya mimpi, saat merasakan sakit aku mengerjap berkali-kali.

Kulihat ke bawah, kucingku juga sepertinya merasakan apa yang kurasakan. Hewan berbulu itu mematung menatap ke depan tak mengeong sedikit pun (biasanya Bubby selalu berisik). Macam tengah menatap hantu.

Bagian tanah berumput area kakiku berpijak sebelumnya telah hangus terbakar. Pesawat aneh ini mendarat—atau jatuh, lebih tepatnya—membuat bongkahan tanah terbongkar yang menenggelamkan area moncongnya. Asap bekas bakaran dari rumput dan perpaduan antara bagian pesawat serta korsleting listrik membius indra penciumanku.

Karena itu pula, pintu pilot kehilangan engselnya dan menggelantung keluar, sebagian sisi lainnya hancur. Percikan listrik bergemercik di dalam sana. Seorang manusia terjatuh lalu tergeletak ke tanah di area kanan pesawat. Persis setengah meter dari pintu yang nyaris tak berguna lagi itu.

"Dia seperti manusia ...."

Nekat, aku mendekat.

Perlahan kumendekati, sedikit rasa takut mulai meliputiku. Tapi apa boleh buat, mau bagaimana lagi, 'kan? Aku ingin memastikan apakah dia ini manusia sungguhan atau apalah.

Jarakku kian terpangkas. Aku berjongkok untuk memandanginya. Ia seorang manusia, sama sepertiku (untuk sekarang, dia seorang manusia!), mengenakan baju putih sebahu, celana yang putih pula selutut. Memiliki tangan, kaki, dan jari lengkap. Tak ada yang kurang. Kupastikan juga gendernya lawan jenisku, karena dari potongan rambutnya mengingatkanku pada seorang aktor spider man.

Tubuhnya kurus, sama seperti Ethan. Ia terbaring lemas, kepalanya menghadap kearahku dengan mata memejam rapat. Alis yang tebal, hidung mancung, rahang terpahat tegas dan sempurna, membuatku menyimpulkan satu hal: dia manusia sungguhan.

Untuk memastikan sekali lagi, kuperhatikan dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Tidak berekor."

"Tunggu," monologku, "dia ini 'kan manusia. Matanya nggak terbuka, berarti dia mati atau pingsan? Sebentar ...." Aku mengulurkan jari telunjuk secara horizontal di bawah lubang hidungnya. Keningku mengernyit, tidak merasakan adanya embusan hangat napas. Secara harfiah, betul-betul tak ada.

Secara perlahan kudekatkan telinga kanan pada dadanya. Semakin memangkas jarak hingga telingaku tertempel di dada pemuda ini yang terasa lumayan keras. Dari sudut pandang di sini, wajahnya lumayan tampan ....

1 detik.

2 detik.

3 detik—

"Ah! Astaga rambutku!" Aku terkesiap.

Pemuda ini telah membuka mata. Sekilas dapat kulihat kedua netra indah, dengan pupil berwarna biru mengingatkanku pada film Avatar. Oke, ini bukan waktu yang tepat untuk memuji.

Lupakan.

"Rambutku!"

Aku sontak tersentak ke belakang, tarikan tangan pemuda ini dari rambutku terlepas. Kurasakan rambutku seakan habis rontok. "Hei, Alien, apa masalahmu?!"

#1 The Prophecy: a different world Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang