TIGA

144 45 40
                                    


#03 || 699 words

Satu laci otakku memikirkan tentang mesin waktu, otak lamban yang berada dalam batok kepalaku berasumsi kalau Neo adalah seseorang yang berasal dari masa depan? Jika dilihat dari penampilannya yang tidak mengenakan setelan prajurit-prajurit dinasti atau membawa pedang, tombak, perisai, mahkota, rompi dan sebangsanya, aku menerka jika remaja aneh satu ini berasal dari masa depan menggunakan mesin waktu. Jika dari sudut pandang Neo, dia seperti kembali ke masa lalu.

Masa depan. Mengakar teori selama ini dari perkembangan zaman, sudah dipastikan akan lebih canggih, 'kan? Segelintir manusia di era itu bisa dikatakan jenius atau ciamik dalam berinovasi menciptakan alat-alat futuristik. Kentara sekali, pastinya kehidupan mereka bisa dibilang belum ada apa-apanya dengan masa kita sekarang.

Namun, ada satu problema sejauh ini yang mengganjal pada otakku. Perkara sikap Neo. Terlihat sangat polos dan tak menunjukan ciri-ciri manusia masa depan itu. Aku tidak mau mengatakan jika ia ini betul-betul 'bodoh', tapi aku juga tak menyangkal jika ekspresinya kian menjelaskan hal itu.

Mencoba menegadahkan asumsi, kami sudah tiba di area kiri rumah Kakek Loy. Aku membalikkan tubuh menghadap Neo. "Baiklah, Neo. Sekarang kau tunggu aku di sini dulu, sementara aku akan berbicara dengan Kakek Loy," kataku sembari telunjuk mengarah ke teras depan rumah. "Selagi aku pergi, kau cari kesibukan saja. Misalnya hancurkan batu, panjat pohon, atau menggali tanah—terserahmu."

Nafasku berembus berat, keningku hampir menyatu sempurna; wajah Neo semakin membuatku frustasi. Dia menatapku dengan memasang mimik wajah macam papan selancar, sementara tubuhnya kaku mirip patung museum.

"Kau mengerti?" tanyaku mulai penasaran. Neo tak juga menanggapi. "Hallo? Hallo?" Tanganku tergerak untuk melambai di depan wajahnya.

Dalam beberapa detik yang singkat, ujung dagu Neo bergerak mengangguk. Aku menghela napas, setidaknya untuk tahap ini dia mau mengerti pada instruksiku.

Masih aman untuk rencana berikutnya: memberitahu kakek Loy.

"Sekarang kau diam dulu di sini, oke? Jangan ke mana-mana sampai aku kembali lagi dan jangan mengikutiku? Paham?"

Dia mengangguk. Aku mengembuskan napas lega.

Aku membalikkan tubuh, lalu menghirup oksigen di sekitar dan kuembuskan perlahan. Untuk tahap ini bisa dibilang berhasil, namun, tak sampai aku tersentak saat pergelangan tanganku dicengkram oleh Neo. Oke, kesabaranku sudah habis. "Hei, kubilang jangan mengikutiku! Aku akan kembali ke sini nanti!" Aku berapi-api, "Sekarang lepaskan tanganmu dariku, begundal!"

"Aku suka kau, Anna."

Hah?! "Apa yang kau katakan?"

"Apa yang kau katakan? Aku suka kau."

Kesabaranku setipis tisu, jadi aku, tentu saja, murka pada remaja yang satu ini. Dari segi mana pun, meski dia kelihatan tolol, polos dan lugu, Neo adalah manusia berjenis kelamin lelaki—yah, setidaknya untuk sekarang. "Kau tidak boleh mengatakan itu padaku!"

Sentakan-sentakan api terasa membakar otakku. Dalam kepala, aku berusaha mencari alasan supaya Neo tak mengulang kalimat mitos lelaki lelaki itu. "Lagian, a-aku sudah memiliki kekasih!" jelasku, sambil membayangkan betapa indahnya rupa wajah presiden korea—karena itu yang terlintas dalam batok kepalaku saat ini.

"Dan—dan—" Aku mencari pembendaharaan kata yang tepat. "Dia adalah kekasihku!"

Neo mematung sejenak. Lalu dia berkata enteng, "Aku ingin menjadi kekasihmu."

"Diam!"

"Aku ingin menjadi kekasih—"

"Enyahlah ke neraka!"

Cengkraman tangan Neo mengendur, kugunakan kesempatan itu untuk kabur. Namun lagi-lagi, remaja satu ini seperti punya hobi membuatku berapi-api macam monster. Kali ini, scene si Jake memeluk Rose dari belakang, dalam film kapal karam—Titanic—benar-benar ada dalam hidupku, namun yang ini versi Raden Mahapatih dan Mak Lampir.

Sumbu kesabaranku betul-betul habis terbakar. "Hei, cepat lepaskan! Perutku—sangklek!"

"Anna, ada apa di sana—ASTAGA!"

Aku terperangah begitu mendapati kakek Loy berada di samping teras—terpaut, kira-kira dua puluh meter dari si Jake dan Rose. Jantungku terasa ingin jatuh, bola mataku macam ingin meloncat seenak dengkul dari sarangnya, ruhku bagai terbang meninggalkan tubuhku. Ada sebuah keinginan menggali tanah lalu mengubur diri.

Kakek Loy membekap mulutnya, terkejut. Pria itu tampak berusaha mencerna situasi. Dari segi mana pun, di mata orang dewasa, aku dan Neo seperti remaja tanggung yang akan melakukan ehem-ehem.

Namun itu berangsur tak lama, kakek Loy berlari ke arahku, tampak sigap sekaligus wajah berkerutnya itu dipenuhi api amarah. Tahu-tahu, kakek Loy melompat di depanku sambil melayangkan bogeman pada wajah Neo.

Oh, pantatmu selamat, Neo, tetapi hidungmu sepertinya—

Bugh! Punggung tangan Neo menyentuh batang hidung kakek Loy lebih dulu.

#1 The Prophecy: a different world Where stories live. Discover now