DELAPAN

98 38 18
                                    

#08 || 831 words

[9500 SM, Aethiopica, Bhumi. Sehari sebelum Blue Moon.]

Tarik napas. Hembuskan. Jangan kentara emosi. Tenang. Ini keadaan darurat. Tenang, Anna.

Suara derit pintu logam terbuka terdengar khas. Secercah cahaya kebiruan samar menelisik masuk melalui celah pintu, menyilaukan kornea mataku. Jeda sejurus, denting logam membuat pendengaranku tak nyaman, pintu silver itu telah terpelanting ke luar diiringi bunyi deburan air.

Krek! Aku tak tahu tulang siapakah yang berbunyi di antara kami bertiga. Aku terjerembab di permukaan logam yang teksturnya niscaya membuat kulit memar. Aku tak tahu-menahu kalau aku jatuh pingsan, atau Mesin Waktu ini yang telah kehilangan pencahayaan? 

Siluet dua orang—kuterka kakek Loy dan Neo—terlihat di luar kotak persegi raksasa ini. Aku perlahan bergerak, namun rasanya aku seolah kehabisan energi. Tulangku kaku. Perlahan, kuregangkan persendian secara hati-hati. Tergopoh-gopoh menggapai sudut meja sambil bangkit.

Lenganku bertumpu di permukaan meja bertombol-tombol. Masih berusaha memulihkan kesadaran sepenuhnya, kepalaku pening bukan main. Suara sirine putus-putus dari layar monitor perlahan mengemuka, ditambah gemercik listrik dari kabel di langit-langit.

"Hei!" Suaraku serak dan tampak putus-putus. "Tu-tunggu—"

Aku melangkah pelan menuju pintu, pupilku mengecil berusaha beradaptasi dengan keadaan. Cahaya gradasi putih, biru dan ungu berusaha masuk dalam bola mataku. Aku mengernyit silau.

Setelah pulih, kulihat Neo dan kakek Loy tengah berdiri tak jauh dari Mesin Waktu. Air ... kedua tungkai kaki mereka tenggelam dalam air yang jernih. Mereka berpijak pada terumbu karang yang bercampur dengan pasir berkemilau.

Aku melangkah turun, air ini sangat kepalang jernih. Aku bisa menatap aneka terumbu karang dibalut pasir yang berkemilau indah. Ombak kecil menerpa kulit kakiku, serta-merta membawa embusan angin yang terasa  sejuk pada tubuh.

"Dingin sekali," kata Kakek Loy saat aku mendekati. Tak jauh di sampingnya, Neo berdiri memijak batu-batu kecil pada air jernih dengan pelan. Ia kudengar mendesis kedinginan.

"Di mana kita?" Aku bertanya seraya menepis rambut ke belakang telinga. Embusan angin membawa rambut hitam sebahuku seolah tampak melayang-layang di udara.

Di depanku, suara ombak kecil berdebur menyiram pasir-pasir di bibir pantai yang berkemilau oleh pencahayaan di atas sana. Pohon-pohon raksasa berdiri kokoh di belakang pantai. Ralat, maksudku benar-benar versi raksasa. Butuh lima orang atau lebih untuk bisa memeluk batang pohon itu secara keseluruhan.

"Apa kita berada di Pandora?" Seolah tak cukup membuatku terpana, pemandangan alam yang membentang kudapati terlampau nyata, malah. Aurora menari di langit berwarna biru. Kudapati satu bulan raksasa menelan langit samar-samar. Sementara, burung kecil—atau naga mini—melintasi udara dengan sekawanannya. Beberapa ekor rusa putih tanduk bercabang sedang minum air di sudut pantai, sebelum akhirnya melesat masuk ke dalam hutan ketika kakek Loy iseng berteriak, lalu tertawa.

Namun, sebuah hal aneh lain mengakibatkan keningku mengernyit. Empat pria berjubah ungu menunggangi kuda unicorn putih, keluar dari hutan, lalu berhenti di bibir pantai, menatap kami.

"Siapa mereka?" Aku berbisik pada kakek Loy.

Ada jeda sesaat, lalu dia membalas dengan singkat, "Entahlah."

Karena merasa beberapa pria itu tak begitu terlihat membawa atmosfir buruk, kakek Loy memutuskan untuk mendekat dengan hati-hati. Aku dan Neo patuh membuntuti. Sampai di bibir pantai, salah satu dari keempat pria berjubah—yang membawa tombak—turun dari tunggangannya. Melepas tudung jubah, lalu memberikan senyum hangat, sambil berkata lembut, "Selamat datang di Aethiopica. Kalian pasti berasal dari Bumi."

Ada hening singkat yang aneh. Hanya debur ombak serta bunyi binatang-binatang tipe serangga yang terdengar. Embusan angin barangkali makin memperjelas membawa efek bingung atas penuturan pria itu ke dalam telingaku.

"Di mana kami?" Kakek Loy bertanya. Didengar dari segi mana pun, ritme suara kakek Loy seperti berubah kala berhadapan dengan pria-pria ini.

"Ramalan itu nyata," kata pria yang membawa tombak. Kulit wajahnya mengendur, hidungnya agak bengkok ke kanan. Dalam penampilan, umurnya barangkali sebaya dengan kakek Loy. Seulas senyum kecil terpatri di kedua sudut bibirnya. "Kalian berada di Aethiopica, Bhumi."

"Di masa lalu, kalian telah ada dalam ramalan oleh pendahulu. Kedatangan kalian bersamaan dengan Perayaan Blue Moon—seperti yang dituliskan oleh pendahulu-pendahulu kami." Dia menjelaskan. Semakin membuatku mengernyit heran dengan pikiran berkecamuk bak vertigo. "Aku rasa, sudah saatnya kami menerima kehadiran kalian dengan baik. Malam ini akan diadakan sebuah perayaan besar di pusat Aethiopica. Tapi, tentu saja, dengan tak mengurangi rasa hormat, kalian semua harus membersihkan diri terlebih dahulu."

Oh, tentu, perawakan kami bertiga mirip jembalang kebun alih-alih manusia normal. Tapi mengesampingkan itu, aku masih dibuat tak begitu seratus persen mengerti atas apa yang pria ini jelaskan.

"Maaf sebelumnya." Seorang pria yang lain menyela. Dia melepas tudung kepalanya, yang membuat rambut pendek pria itu terekspos, menari diterpa angin. "Ada yang janggal dengan pemuda bermata biru itu."

Menoleh pada Neo, pemuda itu menatap tanpa ekspresi berarti. Lantas, alisku berkerut bingung. Dari pertemuan di rumah kakek sampai di tempat ini, Neo masih menjadi sebuah misteri bagiku.

"Ah, jangan dipikirkan. Tidak ada yang salah dengannya." Si Pria membawa tombak memberi tahu. Kedengaran seperti ada nada ragu di sana. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. "Mari ikut bersama kami, mereka sebentar lagi akan menyisir pantai ini. Ayo—lekas!" perintahnya, kembali naik ke atas tunggangannya.

#1 The Prophecy: a different world Where stories live. Discover now