DUA BELAS

71 25 10
                                    


#12 || 2855 words

Tiga hari dua malam kami lalui, dan selama itu pula isi batok kepalaku berdenyut-denyut. Kapasitas otakku macam tak mampu lagi menampung semua hal tentang Aethiopica, kakek Loy dan Neo. Sepertinya kalau ditambah satu malam lagi, aku bakal mengidap stress di usia dini—amit-amit, tentu saja.

Belakangan aku memahami polanya—setiap usai disuguhkan makan malam bersama pria mau pun wanita, kakek Loy selalu beranjak pergi dengan Neiran. Untuk menyambangi Zartz, katanya. Lepas itu, aku dan Neo mesti diam-diam membuntuti mereka—yang tentu saja ketahuan. Pada siangnya, kakek Loy jarang sekali mengobrol denganku. Dan pada paginya, dia selalu tak ada ketika aku bangun dari tempat tidur.

Ini benar-benar aneh. Kakek Loy bukan tipikal manusia yang suka mengabaikan cucunya, apalagi meninggalkanku berduaan dengan Neo. Semenjak berada di sini, intinya aku dan kakek Loy jarang saling bicara lagi. Kami semata berkumpul bersama saat ingin tidur, tetapi ketika aku ingin berteriak kesal dan bertanya kenapakah kiranya dia selalu menyembunyikan rahasia padaku, pria paruh baya itu sudah mendengkur macam banteng. Secepat tubuh besarnya jatuh ke atas tempat tidur.

Misalnya pagi tadi, aku sempat ingin memutuskan tidak tidur semalaman, menunggu sampai matahari muncul di ufuk timur, lalu aku bisa membuntuti ke mana kakek Loy pergi bersama Neiran. Tapi—tentu saja—lagi-lagi gagal. Aku tak bisa menukas tentang tidur matiku yang sempat disinggung kakek Loy hari lalu. Katakanlah misalnya ada gempa bumi, kebakaran atau kejatuhan bom nuklir, aku masih bisa tidur nyaman—yah, nyaman sekali sampai-sampai saat membuka mata berada di alam ghaib.

Pagi ini, aku berusaha berpikir positif—selalu menjauhi hal-hal buruk yang berkaitan dengan kakek Loy. Selama itu, keputusan terakhir yang kubuat adalah: aku harus menemui Azura. Mengingat hanya gadis pengendali elemen angin itu yang kukenali di sini. Semuanya mesti harus dituntaskan: keherananku terhadap kakek Loy, Neiran dan Zartz, sebelum rambutku sungguhan rontok dan menghindari terkena stress di usia dini.

Sementara untuk kasus Neo, aku tidak menemukan satu pun benang-benang kusut lagi darinya, selain hubungan misterius pemuda bermata biru itu dengan kakek Loy. Semenjak berada di sini, selalu bersamaku bagai hidung dan upil, Neo kadang bertindak agak sensitif pada orang-orang Aethiopica. Misalnya ketika kami dalam perjalanan untuk makan, segelintir pria mau pun wanita yang berpapasan kadang menyapa kami untuk keramahan, tetapi Neo sigap ingin menerjang dengan tinju kerasnya, jika saja aku tak menahannya—hanya itu yang bisa kukatakan sebagai kemajuan dari Neo sejauh ini. Yah, meski agak menjengkelkan.

"Kau dan Kakek sama saja," desisku pada Neo. Berani bertaruh, meski aku berteriak sampai mulutku mengeluarkan busa sekali pun, pemuda ini tak bakal memahaminya. Tapi, isi kepalaku benar-benar membawa efek tidak bisa berpikir jernih. Aku harus menumpahkan segalanya pada seseorang. "Kalian tahu sesuatu, tetapi kenapa tidak memberitahuku?! Tentang Size Gun, Mesin Waktu—apa yang kalian berdua sembunyikan dariku?! Dan sekarang—entah apa yang dilakukan kakek dengan orang-orang itu!"

Menyusuri lantai kayu dengan kaki dihentakkan keras-keras membuatku sedikit lega. Pagi itu, aku beberapa kali mengerang dan menyumpahi Neo—karena melakukannya pada kakek Loy bukan ide bagus. Aku betul-betul macam kehilangan akal sehat. Maksudku, kepalaku terasa panas dan menguap, membuatku merasa kesal dengan semua orang. Saking jengkelnya, apa pun yang mataku temukan terasa memuakkan. Ketika memandang pohon raksasa di kejauhan, aku seperti tengah melihat wajah kakek Loy dan Neo sedang mengejekku. Ketika melihat burung-burung kecil berterbangan, aku seperti tengah melihat binatang itu memiliki kepala kakek Loy dan Neo, sambil menjulurkan lidah.

#1 The Prophecy: a different world Where stories live. Discover now