SEBELAS

72 34 26
                                    

#11 || 1531 words

Ramalan Pendahulu ini semacam sesuatu yang akan terjadi pada saat waktu yang telah ditentukan di masa mendatang. Ada beberapa hal memang digariskan takdir akan sungguhan terjadi dan segelintirnya lagi tak ayal seperti omong kosong belaka.

Aethiopica kedatangan orang yang asalnya dari Bumi, adalah opsi pertama. Maka, kepercayaan orang-orang perihal ramalan pendahulu ini makin menyebar di penjuru Aethiopica. Semakin mempercayai lafal-lafal ramalan oleh pendahulu negeri di masa lampau—yang entah menggunakan ilmu ghaib macam apa sampai mereka dapat melakukan ramal-ramal ini.

"Sebenarnya, aku awalnya tak begitu percaya pada ramalan pendahulu yang acap kali kupingku dengar dari orang-orang—Para Petinggi, kawan-kawan, Ibu, Ayah, sampai-sampai adikku yang usianya baru sepuluh tahun." Azura mengangkat bahu. "Maksudku, toh, buat apa percaya pada hal mustahil macam itu. Aku lebih percaya kalau manusia bernapas pakai satu lubang hidung ketimbang ramalan pendahulu."

Kala Azura tengah sibuk memberi makan Arrath dengan apa pun itu yang ia katakan sebagai makanan khusus, aku diam-diam menaruh telunjuk di bawah kedua lubang hidung. Lalu mengernyit.

"Tapi kalau persoalan kalian-kalian ini lain lagi," sambungnya. Gadis itu mengelus puncak kepala hewan di dekapannya. "Entahlah. Sampai kalian datang ke sini—aku berbicara denganmu saja rasanya masih seperti mustahil. Macam mimpi, atau benarkah ....?"

Kedua telapak tanganku berangkat memegang bahu gadis yang sama tingginya sepertiku. "Pertama, aku sungguhan mewujud di sini," kataku, "kedua, kalau orang-orang percaya dan sering mengatakan kalau ramalan pendahulu itu nyata, lantas apa yang akan terjadi selanjutnya?"

Kuperhatikan ingar-bingar titik-titik cahaya di bawah sana. Embusan angin di atas bukit sangat dingin malam-malam begini, untungnya jubah yang kukenakan sangat membantu. Tambah lagi, badan besar Neo macam magnet yang terus menempeli seolah tubuhku ini punya daya tarik yang tinggi.

Sekali lagi, angin berembus menelisik samping telingaku, membawa alunan melodi musik yang membaur dengan cakap-cakap penduduk Pusat Aethiopica di bawah sana. Menambah keruwetan pikiranku yang tengah berkecamuk bak dilanda vertigo ganas. Ramalan itu, tidak mungkin mencaplok begitu saja di dahi seseorang tanpa ada lanjutannya. Yah, mungkin.

Azura tak membalas dalam waktu singkat, membuatku menduga pertanyaanku terlalu menganggu—atau tidak perlu jawaban, lebih tepatnya. "Tidak ada," paparnya, "hanya seperti itu. Tidak memiliki kisah lanjutannya."

Misalnya sedang berada dalam kelas, aku sudah menjatuhkan jidatku di atas permukaan meja secara kasar. Ini semua aneh. Terkesan mustahil dan gila. Isi batok kepalaku seperti tengah dipaksa dijejalkan sesuatu yang absurd—batang pohon, sepatu jordan, roda becak.

"Jadi," lanjutku, "dalam ramalan pendahulu tentang kami dan Blue Moon tadi, kau bilang di sana tertulis—tercatat atau apalah namanya, bahwa akan terjadi kedatangan dua orang. Seorang pria tua dan gadis muda." Aku mengembuskan napas berat. "Kenapa tak disebutkan tiga orang, misalnya bersama ... pemuda polos?"

Menyebut Neo dengan kata 'Pemuda Bodoh' sepertinya sebuah kejahatan. Kendati sifatnya sangat menjelaskan seperti demikian.

"Aku juga bingung." Azura menjawab.

Digiring perasaan bingung, mataku memerhatikan pemuda yang memiliki mata biru itu. Wajahnya mulus—semulus kulit telur tanpa bercak tahi-tahinya. Rambut pendek Neo berjoget kecil kala angin berembus di ubun-ubunnya. Seperti biasa, pemuda ini menggunakan ekspresi andalannya: Aku-tidak-tahu-apa-apa.

Sebuah pertanyaan besar menggantung di pikiranku. Tanda tanya yang ini mesti dapat jawaban agar aku bisa tidur dengan tenang. Mencoba menarik benang-benang kusut tentang Neo, aku jadi kepikiran kalau kedatangan kami—terdampar, lebih tepatnya—khususnya Neo, tiada hubungannya dengan ramalan pendahulu. Katakanlah dia ini macam alien tak terdeteksi yang baru saja jatuh di bumi. Namun, pada dasarnya, dari semua yang sudah terjadi—Neo ini macam punya suatu hubungan misterius dengan kakek Loy.

#1 The Prophecy: a different world Where stories live. Discover now