ENAM

88 45 19
                                    


#06 || 779 words

Keningku mengernyit, kedua netra mengamati kakek Loy tengah sibuk dengan dunianya. Pria itu mondar-mandir antara ruang otomotif dan kamarnya. Ekspresi kakek Loy seperti cemas dan gelisah.

Aku tak tahu apa yang tengah mengganjal dalam batok kepala kakek Loy, tak sekali dua kali dia membawa alat dan barang lain yang didapatnya di kamar kemari: palu, pisau, obat nyamuk semprot, makanan dan minuman kaleng, senter, lalu yang terakhir dia menenteng satu ransel butut warna coklat. Tiba di meja, dia memasukan makanan dan alat-alat tadi ke dalam ransel.

"Apa yang kau sedang kau pikirkan dan ... lakukan?" Rasa penasaran menggelayuti pikiranku.

"Ini gawat," jawab kakek Loy, tak lepas dari aktifitas memasukkan perkakas dalam ransel. "Mereka mengirim notifikasi padaku. Aku harus segera beranjak ke sana."

Huh? Apa yang dia maksud?

Baiklah, lupakan sejenak. Ada yang lebih buruk dari kalimat kakek Loy. Aku masih berusaha memproses segalanya. Aku masih memikirkan tentang bagaimana Neo melakukan teleportasi seperti tadi? Ini benar-benar gila. Kendati begitu, aku dan kakek Loy tetap melakukan hal yang sia-sia belaka seperti mengikat tubuh Neo di tengah-tengah ruangan dengan kondisi terikat rantai. Berani bertaruh, pemuda ini bisa saja teleportasi seenak dengkulnya.

Kadang aku merasa tak tega melihat Neo dengan kondisi seperti itu, terikat rantai dan kucing oren mengeong padanya. Namun apa boleh buat. Dari sudut mana pun, pemuda ini adalah laki-laki dan tindakannya itu membuatku merasa ngeri ... dan, yah, emosi, tentu saja. Untuk sekarang, bisa dibilang cukup aman untukku. Sementara bagi kakek Loy, Neo ini macam manusia yang bisa berubah monster kapan saja.

Aku melangkah mendekat pada kakek Loy di depan meja. Memastikan rasa penasaranku yang tak kunjung mendapat jawaban. "Kek, aku tidak mengerti apa yang kau katakan barusan. Sebenarnya, siapa mereka yang kau maksud?"

Kepala kakek Loy menengadah menghadapku, matanya menatap lekat pada kedua netraku. "Mereka mengirim Neo sebagai sinyal untuk menangkapku, Anna. Kau harus ikut membantu aku untuk menuju ke sana, sebelum mereka malah membuat kekacauan di sini," jelasnya, satu kening kakek Loy terangkat. "Ada pertanyaan lain?"

Tentu. "Jadi maksudmu—"

"Waktu habis," tukasnya.

"Hei!"

Kakek Loy—tanpa memedulikan aku yang tengah menggerutu—kembali sibuk dengan alat dan ranselnya. Aku tambah kesal dan semoga saja keesokan hari rambut-rambut di kepalaku tidak rontok karena memproses semua kegilaan yang terjadi ini.

Meski begitu, sesekali aku berusaha menarik benang penghubung dari kalimat-kalimat yang terucap oleh kakek Loy, tetapi sekeras aku mencoba, semakin hal itu sulit dilakukan. Intinya, aku tidak sama sekali memahami makna dari penuturan pria itu. Namun dalam beberapa untaian pemikiran, aku menemukan beberapa keganjilan yang sulit untuk dijelaskan.

Kakek Loy menutup risleting ransel, kemudian beralih menatap Neo. Air wajahnya langsung berubah drastis. "Bocah kolot! Bisa-bisanya kau menghilang begitu saja saat orang tua lagi bicara," kesalnya. Kakek Loy menunjuk Neo yang terbaring dengan keadaan terikat rantai. "Sekali lagi kau melakukan itu, akan kupiting ginjalmu."

Sementara bulu di sekujur kulitku berdiri, Neo malah mempertahankan ekspresi datarnya terhadap kalimat yang kakek Loy ucapkan. Meski ketika nada pria itu naik berpuluh-puluh oktaf sekali pun, Neo tak akan mengindahkan hal itu. Raut wajahnya polos, seperti tengah mengatakan 'Aku tidak tahu apa-apa'.

"Ke mana kita akan pergi?" tanyaku kemudian. 

"Kau pernah mendengar tentang dimensi?" tanya kakek Loy. Aku mengangguk singkat. "Nah, itu tujuan kita. Menuju dimensi mereka."

"Wow," takjubku, "kau bercanda?"

Kakek Loy menutup bagian paling depan risleting ransel, kemudian menoleh padaku. "Kau tidak akan mengerti. Untuk sekarang, ikuti saja perintahku, oke?" Dia berkata sambil menggaet ransel ke punggung. "Kau akan menyukainya."

"Aku menyukaimu, Anna."

Aku terhuyung ke belakang, punggungku mendarat pada satu lemari peyot berkaca, yang isinya penuh dengan barang rongsokan elektronik. Jantungku seperti ingin memutuskan diri dalam sana, lalu menggelinding keluar. Sebagai sumber masalah, Neo lagi-lagi bertindak seenak dengkulnya tanpa peduli korbannya. Lengan pemuda yang sekepala lebih tinggi ini mendempet bahuku.

"Jangan berani-berani dekat dengan cucuku, Bung!" Kakek Loy mulai berapi-api. Dia mendekat, memutari meja menuju arahku dan Neo.

"Aku menyukaimu, Anna."

"Ya Tuhan, Neo—" Aku mendorong tubuhnya. "—Menjauhlah dariku!"

Tubuh Neo luar biasa kaku—atau tenagaku yang tidak ada, macam tengah mendorong batu yang beratnya sepuluh ton. Di saat yang sama kakek Loy tiba, namun Neo seolah menyadari itu—dan lagi-lagi—teleportasi ke seberang meja seenak jidatnya.

Aku menggerutu, sementara kakek Loy menangkup wajah gusar. "Hei, jangan bercanda. Kau sepertinya sungguhan ingin bercinta dengan tinjuku, ya."

Kakek Loy melepaskan ransel, lalu dengan ringannya berguling ke atas meja, menggelinding pada Neo. Namun menangkap sesuatu yang bisa lenyap lalu muncul kapan saja bukanlah lawan yang sepadan untuk Kakek Loy. Pemuda itu teleportasi ke sampingku, pancaran sinar putih membekas di sekitarnya.

"Aku menyukaimu, Anna."

"Katakan sekali lagi, aku yang akan meninjumu, Bung," kataku cepat, sebelum Neo lagi-lagi raib saat kakek Loy berusaha menangkapnya.

#1 The Prophecy: a different world Where stories live. Discover now