LIMA

102 43 25
                                    

#05 || 570 words

Aku lupa menjelaskan seperti apa
perawakan kakek Loy, barangkali kalian berpikir ia adalah seorang pria tua rentan yang berjalan membungkuk sembari memegang tongkat dengan penopang tiga cabang, di tambah gigi ompong sampai-sampai memasang gigi putih palsu, namun tidak seperti itu. Aku yakin pada umurnya yang genap lima empat—atau lima enam—ini memang memunculkan perubahan pada kulit wajahnya, mengendur dan sedikit kusam, tetapi di saat bersamaan, dia kadang mirip papa.

Kakek Loy juga pria berbakat. Aku tidak ingat jelas sejak kapan dia menekuni profesinya sebagai perakit barang elektronik. Profesi itu bukan untuk orang lain. Dia melakukannya semata untuk kesenangan diri sendiri, jika ingin merogoh uang, maka kakek Loy akan menjual barang tersebut.

Terakhir kali, saat umurku masih sepuluh tahun, dia menciptakan sebuah mainan robot yang akan bergerak jika tombol on pada punggungnya ditekan. Kakek Loy memberikan itu sebagai hadiah ulang tahun, yang pada akhirnya, robot rakitan berbentuk anak kucing itu korselting karena Anna 10 tahun salah mengira kalau benda ini bisa hidup dalam kubangan air.

Nah, seperti itulah asal-usul kakek, sekarang kembali pada kenyataan.

Kakek Loy menepis barang-barang rakitannya di atas meja ke pinggir. Kabel, kawat-kawat, serta benda elektronik yang sudah dipereteli itu berjatuhan ke lantai. Dia menaruh gulungan kertas di sana, membuka, kemudian meniup permukaan kertas itu. Debu-debu kecil bergerak ke udara sekitarnya.

Aku beralih pada Neo, di sudut ruangan. Kali ini, pemuda itu kusaksikan sedang bertukar pandang dengan kucing orenku tadi. Meski pun Bubby mengeong keras sekali pun, Neo yang tak ekspresif itu tidak mengubrisnya.

"Siapa nama dia?" Kakek Loy mengembalikan atensiku.

"Marlin," paparku, "maksudku namanya Neo."

Kakek Loy memberiku tatapan datar sejenak, dengan kening mengernyit. "Bisa kau tunggu di luar sebentar? 10 menit."

"5 menit atau tidak sama sekali—"

"Oke, 5 menit."

Aku memasang wajah memelas, sejelek mungkin seraya hengkang dari ruangan. Ternyata, iblis kecil dalam batok kepalaku berkata lain. Sambil terkekeh jahil, aku meraih kenop pintu, lalu membukanya sedikit dan mencondongkan wajahku di selanya.

"Aku tahu kau menguping."

Ah, sial. Memutar bola mata malas, kututup pintu itu kembali. Namun sepertinya, iblis kecil dalam batok kepalaku tak bisa diajak kompromi. Karena rasa penasaran yang tinggi, telinga kananku menempel pada permukaan pintu. Semoga saja kakek Loy tidak menyadarinya.

"Baiklah, Neo, tidak perlu basa-basi lagi atau kupiting ginjalmu," ujarnya, "katakan padaku siapa dirimu sesungguhnya."

Jiwa penasaranku mulai naik level siaga satu.

"Ini benar-benar konyol." Suara kakek Loy samar-samar terdengar. "Jangan bilang kau adalah kiriman mereka," sambungnya. Apa yang dia maksud dengan kiriman mereka?

Mencurigakan. Jiwa penasaranku melonjak ke level siaga sepuluh.

"Hei, Bung? Kau mendengarkanku, eh?" gertaknya. Suara kakek Loy meninggi beberapa oktaf. "Tidak mungkin kalau mereka menyuntikkan sesuatu sebelum mengirimmu kemari, 'kan? Sehingga kau macam ini?

"Tapi, tunggu. Bagaimana caramu melintasi dimensi menggunakan pesawat itu? Apa mungkin mereka sudah menemukan cara membuat paradoks, worm hole atau ... portal dimensi?"

Oah. Aku yakin pendengaranku tajam serta tidak salah tentang semua yang kakek Loy katakan barusan. Aku memejamkan mata, membuat daftar catatan kalimat kakek Loy dalam kepala—

"Apakah mereka—eh, ke mana kau?!"

Keningku refleks mengernyit. Apa yang terjadi di dalam sana?

"Anna."

Aku nyaris terjengkang menghantam permukaan lantai, tetapi keseimbanganku kembali. Nafasku berembus tak normal. Mendengar suara menginterupsi, seperti serak-serak berat di telinga membuatku bergidik. Perlahan kepalaku memutar beberapa derajat ke sumber suara.

Aku sepertinya sudah tidak waras lagi ketika melihat Neo berada di sampingku. Hanya satu kesimpulan yang bisa menjelaskan kejadian ini: Neo baru saja teleportasi.

#1 The Prophecy: a different world Where stories live. Discover now