SEPULUH

81 31 21
                                    

#10 || 1313 words

"Tuan dan Nona, mari bersulang!"

Ingar bingar suasana pada malam hari di Pusat Aethiopica benar-benar seperti tengah merayakan festival. Sejauh mata memandang, kudapati banyaknya penduduk sipil dengan aktivitas yang seru. Semuanya mengenakan jubah aneka warna. Para perempuan muda meliukkan tubuh, menari dengan gerakan lincah; segelintir lelaki muda tampak sedang memainkan alat musik—berbentuk aneh—sebagai backsound penari. Anak-anak kecil berbondong-bondong mengikuti tarian dengan gembira dan ceria, meski beberapa di antaranya hanya sibuk bercanda—bermain-main sesamanya.

Aku, kakek Loy, Neo dan beberapa pria berjubah ungu gelap duduk di meja kayu—maksudku betul-betul kayu. Bayangkan saja meja panjang ini seperti tumbuh begitu saja di atas permukaan tanah, disertai pelengkapnya seperti kursi-kursi. Retih api warna biru dari beberapa obor yang tertancap di sekitar sebagai penerangan, tak begitu mengusik orang-orang ini. Meski begitu, kurasa tanpa benda itu pun di sini seperti memiliki cahaya kebiruan yang alami. Seperti ketika menuju ke sini tadi, setiap langkah memijak rumput, pendaran cahaya gradasi biru dan putih akan muncul di bawah telapak kaki. Seolah-olah rumput itu bernyawa.

Tubuh kami bertiga telah dibalut jubah yang senada dengan pria dan wanita di atas meja sini—ungu gelap. Terasa hangat, tapi memiliki kesejukan sekaligus yang sulit untuk kuungkapkan. Kendati agak risi, terutama bagi Neo, namun aku oke-oke saja, barangkali ini bagian dari penyabutan—katakanlah begitu.

"Selamat datang di Pusat Aethiopica, Bhumi." Aku tak begitu mengenali pria ini sebelumnya dan dia ini bukan termasuk dari keempat pria-pria berjubah ungu yang membawa kami bertiga kemari. "Aku Neiran, saudara Zartz—pria yang menyambut kalian bertiga di pantai sebelumnya. Zartz tidak datang ke sini karena ada beberapa kepentingan yang tak bisa ia tinggal." Pria berwajah brewok tipis itu kurang lebih seumuran dengan Kakek Loy juga.

Kedua sudut bibirnya terangkat, seulas senyum kecil terpatri. "Kedatangan kalian di sini bertepatan dengan Perayaan Blue Moon yang hanya ada setiap seribu tahun sekali—seperti dalam ramalan pendahulu kami. Dan, ya, aku harap kalian menikmatinya."

Sepertinya, aku betul-betul akan mengalami kerontokan rambut setelah ini semua. Tetapi, aku tetap tersenyum anggun kepada pria maupun wanita yang mengenakan jubah senada di meja ini. Meski berbanding terbalik dengan kakek Loy. Ketika nampan-nampan makanan terletak di depannya, pria itu tak payah repot-repot menyembunyikan rasa lapar.

Aku paham betul perasaan kakek Loy sekarang, tetapi tidakkah pria itu merasa malu? Atau setidaknya, sedikit saja memberi rasa hormat pada orang-orang ini?

"Maaf jika makanan kami di sini tidak serupa dengan tempat kalian berasal. Itu adalah adonan buah berry muda dan daun mint Aethiopica. Makanan itu dibuat oleh alkemis handal yang kami miliki." Neiran tersenyum sambil menjelaskan padaku, ketika ketika dia menyadari bahwa aku tengah memerhatikan apa yang tersaji di depanku dengan ragu.

"Terima kasih," kataku ramah. Dari banyaknya nampan-nampan makanan yang tersaji hingga penuh, yang kuambil adalah buah—yah, buah, kupikir. Aku mengigit, rasa manis dan dingin membaur dalam mulutku."Segar ...."

"Tentu," balasnya.

"Anna." Menoleh ke asal suara, patung berjalan ini tengah menatapku. Menyadari tindakan yang kubuat, Neiran tersenyum ramah, sebelum pada akhirnya mengobrol dengan pria di sebelahnya. Kugunakan kesempatan itu untuk Neo. "Ya?"

"Ya?" balasnya.

Mari jangan emosi.

Aku berusaha tersenyum ketika beberapa pasang mata memerhatikanku. Sebuah senyuman aneh—entah kereflekanku sendiri—membuatku kikuk, sebelum akhirnya menunduk tolol.

#1 The Prophecy: a different world Where stories live. Discover now