28. Harus ke Mana?

28 9 0
                                    

Juna lontang-lantung menyusuri trotoar. Tatapannya kosong. Deru kendaraan pun tidak terdengar, karena yang terus bergaung di telinganya adalah perkataan Ibu. Dia masih tidak percaya Ibu mengambil keputusan itu. Rasanya seperti akan dibuang untuk kedua kali. Apakah setelah punya keluarga baru, Ibu juga akan menghilang tanpa kabar seperti Papa sebelumnya? Meski pada akhirnya Papa datang, Juna sudah telanjur terluka. Dan sampai sekarang, luka itu masih menganga.

Perhatian Juna teralihkan ketika melewati minimarket. Ada sekeluarga yang baru keluar. Kedua orang tua dan sepasang anak kembar. Mungkin sekitar lima atau enam tahun. Mereka tampak bahagia. Juna tidak bisa melepaskan pandangannya sampai mereka masuk mobil dan keluar dari parkiran minimarket. Kepala Juna kemudian tertunduk. Air mata jatuh menimpa ujung sepatunya.

Juna menghela napas dan mengangkat kepala. Diusapnya mata yang berlinang, kemudian melanjutkan langkah. Harus ke mana dia sekarang? Kalau nanti Ibu menikah, apakah perasaannya akan seperti ini juga? Tidak ada lagi yang bisa dia jadikan tempat pulang. Haruskah dia berdamai saja dengan takdir? Menerima Raihan dan mamanya, lalu tetap tinggal bersama mereka?

Hari mulai gelap. Ponsel Juna berdering di saku celana. Ketika dia lihat, tampak nama Kak Ari di layar ponselnya. Juna sampai lupa kalau dia sudah telambat masuk kerja.

"Jun, kamu di mana?" Kak Ari bertanya di seberang telepon.

"Aku izin enggak masuk, ya, Kak," kata Juna pada akhirnya.

"Kamu sakit? Kenapa suara kamu lesu begitu?"

Juna terdiam sejenak. "Iya. Sedikit."

"Ya, udah. Cepat sembuh, ya."

Kak Ari menutup sambungan teleponnya. Tangan Juna melemas dan jatuh begitu saja dari telinga. Masih untung ponsel yang dia genggam tidak ikut jatuh juga. Juna terkesiap ketika butiran air tiba-tiba menimpa wajahnya. Hujan. Lama-lama makin deras. Juna ingat dengan sesuatu di dalam tas. Dia harus melindunginya. Buru-buru Juna berlari dan berteduh di depan sebuah toko makanan ringan.
Suara azan terdengar dari masjid samping toko. Juna menoleh, memeriksa jalan menuju ke sana. Halamannya lumayan luas. Meski tidak terlalu deras, kalau Juna pergi di bawah hujan, kertas-kertas di tasnya bisa bahaya. Juna melepas kemeja dan membungkus mapnya. Tidak cukup membantu, tetapi bisa mengulur waktu sampai airnya tembus ke dalam.
Juna berlari dan masuk ke masjid setelah melepas sepatunya. Dia memilih tempat paling pinggir dekat tembok. Juna mengeluarkan mapnya lagi. Masih aman. Kemejanya juga belum basah. Hanya tas bagian luar saja yang basah.

Juna ikut menunaikan salat Magrib berjamaah bersama yang lain. Dia tidak keluar sampai isya tiba. Hitung-hitung sambil menunggu tasnya agak kering. Namun tetap saja, Juna tidak mau mengambil risiko airnya tiba-tiba tembus ke dalam kertas. Pada akhirnya, Juna keluar sambil menenteng mapnya.
Hujan sudah reda sejak beberapa saat yang lalu. Hanya menyisakan gerimis kecil yang terlihat jika tersorot lampu kendaraan. Juna termangu di pinggir jalan depan halaman masjid. Dia beralih memandang map di tangan kanan. Juna menghela napas.

"Aku kenapa, sih?" gumamnya.

Juna tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia harus pulang membawa benda di tangannya. Teman-temannya percaya dia akan membawa sesuatu yang bisa mengungkap kejahatan itu. Akan tetapi, rasanya berat sekali kaki Juna melangkah pulang. Dia ingin pergi ke mana saja. Ke tempat yang dia sendiri tidak tahu di mana.

Getar dan dentingan ponselnya mengalihkan perhatian Juna. Calla mengiriminya pesan.

Aku tahu kamu lagi kerja. Tapi cepat balas kalau kamu baca pesan ini. Kamu berhasil mendapatkan sesuatu dari Pak Daniel?

Helaan napas lolos lagi. Hanya jawaban singkat yang Juna tulis.

Iya.

Setelah itu, Juna memesan taksi online untuk pulang. Pulang? Ya, anggap saja seperti itu. Meskipun selama ini Juna merasa bahwa rumah itu bukanlah tempatnya.

ANONYMOUS CODE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang