17. Kedai Martabak

25 8 0
                                    

"Maaf, ya, Mey. Sebenarnya Ibu juga gak mau kamu berhenti. Tapi mau gimana lagi? Ibu sudah hampir bangkrut."

Perkataan itu terus terngiang di telinga Meysha seharian ini. Kemarin, dia baru saja dipecat dari tempat kerjanya. Sore ini, dia lontang-lantung menyusuri pinggir jalan. Seragamnya sudah berganti kaus putih pendek bergambar minimouse di depan dan bawahan celana baggy hitam. Meysha berkeliling, berharap segera mendapat pekerjaan baru. Siapa tahu ada yang menempel selebaran di tiang-tiang listrik, atau kaca-kaca toko.

Hari sudah hampir magrib. Perut mulai keroncongan, tetapi itu tidak mengalihkan perhatian Meysha dari kegundahan. Dia terduduk begitu saja di kursi tunggu sebuah kedai. Harum martabak yang menguar menggelitik penciumannya, tetapi masih tidak lebih menggoda dari sebuah pekerjaan baru. Meysha tertunduk lesu menatap ujung sepatunya sendiri.

"Mau pesan martabak, Dek?" tanya seseorang.

Meysha mendongak dan mendapati seorang pria berdiri di hadapannya. Usianya mungkin sekitar lima puluhan. Apa orang itu pemilik kedai ini?
Meysha menggeleng. "Enggak. Saya sedang cari kerja, Pak," katanya dengan jujur.

"Cari kerja, ya? Kenapa tidak masuk ke dalam?"

Meysha termangu-mangu. "Maksudnya?"

"Kamu belum lihat itu?" Bapak itu menunjuk pamflet yang ditempel di kaca etalase.

Kedua bola mata Meysha membulat. "S-saya baru lihat."

Pria itu tergelak. "Saya pikir kamu datang karena itu."

Meysha cengengesan. "Tadinya cuma numpang istirahat."

"Jadi, gimana? Mau kerja di sini?"

Meysha termangu sebentar. Sepertinya orang itu benar pemilik kedai. Meysha buru-buru bangun dari duduknya. "Iya, saya mau, Pak."

Bapak itu memperhatikan penampilan Meysha dari atas sampai bawah. "Apa kamu masih sekolah?"

"I-iya." Meysha menjawab ragu. Takut tidak diterima gara-gara itu.

"Ah, anak-anak zaman sekarang pada mandiri, ya? Cari kerja padahal masih sekolah."

"K-kenapa, Pak? Enggak boleh, ya, kalau masih sekolah?"

"Kedai ini buka dari pukul lima sore, kok. Kamu sudah pulang, kan?"

Meysha mengangguk yakin. "Iya."

"Masalahnya, kami tutup pukul sepuluh malam. Dan kamu perempuan ...."

Mereka terdiam beberapa saat. Meysha menggaruk-garuk dagunya gelisah.

"Apa tidak apa-apa?" tanya pria itu.

Meysha hanya punya waktu berpikir beberapa detik untuk membuat keputusan. Daripada dia kesulitan lebih dari ini, ya sudah terima saja. Konsekuensinya pikirkan nanti saja.

"Enggak apa-apa, kok, Pak," jawab Meysha.

Orang itu tersenyum dan mengajak Meysha masuk ke kedai sambil bertanya, "Nama kamu siapa?"

"Meysha, Pak."

"Saya Lukman. Pemilik kedai ini. Nanti kamu bertugas di depan saja, ya, melayani pembeli."

"Siap, Pak."

Pak Lukman membawa Meysha ke ruang ganti. Di sana bergelantungan apron berlogo Kedai Martabak Barokah. Kaki Meysha terpaku ketika melihat seseorang di ruangan itu. Orang itu juga menoleh padanya sedetik kemudian.

"J-juna?" Meysha menganga.

"Kalian saling kenal?" tanya Pak Lukman.

Meysha menoleh. "O-oh, iya. Kami satu sekolah."

ANONYMOUS CODE [TAMAT]Where stories live. Discover now